Alangkah indahnya hidup ini, andai dapat ku tatap wajahmu.
Kan pasti mengalir air mataku, kerena pancaran ketenanganmu.
Alangkah indahnya hidup ini, andai dapat kudakap dirimu
Tiada kata yang dapat aku ucapkan, Hanya Tuhan saja yang tahu
[Alangkah indahnya hidup ini, Raihan]
Dear Rasulullah, shalawat dan salam atasmu dan
keluargamu ya Rasulullah...
Allahumma salli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali
sayyidina Muhammad.
Bismillah...
***
Dear Ya Rasulullah
Pagi ini aku memutuskan tidur beberapa menit
serampung lail dan shalat fajar, membaca beberapa halaman An-Nahl serta
beberapa lembar buku pelajaran. Aku sungguh mengantuk sekali karena semalam yang
padat. Baru sekitar satu jam aku tidur di balik selimut. Saat aku memejamkan mata aku
seperti tengah melewati sebuah masjid yang menaranya tinggi menjulang dan
bercahaya kemilauan. “Oh mesjid apakah ini.” Seperti bisik sebuah tanya hatiku. Aku
ingin menyempatkan masuk ke sana, tapi entahlah sepertinya aku sedang sangat
terburu-buru. Sehingga pergilah aku meninggalkan masjid yang menaranya bersinar
berkemilau kehijauan itu. Aku meninggalkan dengan tanya yang tidak berputus. “Masjid
apakah itu gerangan.”
***
"Bukankah itu masjidin Nabawi."
Jelas seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa pemilik suara yang menjelaskan itu. Seketika
hatiku merintih, diam dan kelu. Seperti seseorang penumpang yang ketinggalan kereta beberapa
detik ketika sampai dan akhirnya kereta itu pergi meninggalkannya.
Dear Rasulullah...
Aku sungguh menyesal, mengapa aku tidak
menyempatkan diri untuk masuk ke sana. Aku betul-betul merintih dan kelu. Hingga
akhirnya sebuah cahaya menembus dan memercik mataku. Aku merasa kesilauan dan
segera membuka mata. "oh...hari sudah siang." Ya Rasulullah, ternyata
itu hanya mimpi. Sungguhkah aku bermimpi yang hanya sekedar melewati sebuah
masjid dan membuatku menyesal setelah menyadari bahwa itu masjidmu, Masjidin Nabawi.
Lalu siapakah pemilik suara di seberang sana itu?
Oh, bila saja sejak awal aku tahu tentang
masjid itu, izinkanlah minimal aku sempat berucap shalawat meski itu hanya diterasnya
saja ya Rasul. Izinkanlah aku mengucapkan shalawat atasmu meski itu hanya memandang dari
gerbang pintunya ya Rasul. Dear Rasulullah...Mungkinkah karena aku muslimah yang
bukan ahli ibadah dan bukan pula siapa-siapa ini, hingga yang hanya dalam
mimpiku yang singkat itu pun aku tidak berkesempatan singgah di masjidmu. Ya
Rasulullah, bolehkah aku cemburu dengan mereka yang lahir di bumi sucimu hingga
setiap nafasnya bisa merasakan getar-getar kecintaan padamu. Bolehkah aku
cemburu dengan mereka yang hatinya dipenuhi dengan taman-taman kecintaan padamu. Hingga ia
layak untuk berkunjung ke rumahmu.
Dear Rasulullah...
aku cemburu...meski aku malu bahwa seseungguhnya aku seperti tidak layak untuk cemburu. Tapi... Aku betul-betul cemburu ya Rasulullah.
aku cemburu...meski aku malu bahwa seseungguhnya aku seperti tidak layak untuk cemburu. Tapi... Aku betul-betul cemburu ya Rasulullah.
Dear Rasulullah...
Aku tulis suratku ini untukmu ya Rasul. Aku yang
sering seolah-olah paling mencintaimu tapi...”ah aku malu ya Rasul.” Aku tidak
berani mengatakan bahwa aku benar-benar mencintaimu. Sebab bukti apa yang bisa
aku berikan padamu Ya Rasulullah...Aku seperti seorang yang sedang menjelaskan
sebuah teory dan tidak mampu membuktikan teori "kecintaan" itu padamu. Aku takut saat
engkau bertanya padaku “adakah bukti yang bisa membuatku percaya bahwa engkau
betul-betul mencintaiku?”
Ya Rasulullah...
Aku tulis catatanku ini, aku khawatir esok
hari jika aku berkesempatan bermimpi yang sama sungguh izinkan aku ya Rasul
untuk masuk ke mesjid mu ya Rasul, bolehkah aku pegang dinding pintunya. Aku ingin shalat berjamaah bersama para imam besar dan ahli ilmu dan ibadah di
sana. Aku ingin membaca surat kesayanganku, Al-Baqarah di masjidmu. Sungguh! Izinkan aku
sampai di sana. Menjejaki bumi Haramain.
Ya Rasulullah,
izinkan aku membawa sang Bapak, beliau yang
sudah tua. Aku tahu beliau bukan ahli ibadah. Mungkin terlebih beliau juga akan merasa
tidak layak bertemu di rumahmu. Tapi izinkan aku untuk mengenalkan Bapak, bahwa
ia layak mengenalmu lebih dekat. Izinkan aku memberikan hadiah terbaik untuknya
ya Rasul, aku ingin Bapak ketika menutup mata di akhir waktunya tersenyum karena
sudah berkunjung ke rumahmu. Aamiin in sha Allah.
Ya Rasulullah...
Suratku ini bolehkah aku tujukan pula untuk
seseorang di sana ya Rasul,
seseorang yang sedang berdiri di bawah
menara masjidmu. Pemilik jendela sebuah negeri.
Shalawat atas mu, sahabat dan keluargamu ya
Rasulullah...
Allahumma salli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali
sayyidina Muhammad.
Sakura RT Ankara, 9 November 2013
[aku tidak tahu apakah ini mimpi atau hanya perasaanku saja]
entahlah...Semoga baik in sha Allah
[aku tidak tahu apakah ini mimpi atau hanya perasaanku saja]
entahlah...Semoga baik in sha Allah
=====
Keterangan foto : Kubah Hijau yang dibawahnya adalah rumah Rasulullah dimana nabi dan 2 sahabat beliau [Abu Bakr dan Umar] dimakamkan. Sumber dari sebuah foto.
No comments:
Post a Comment