Dear pembaca blog setiaku. Aku
ingin engkau mengenalku lebih dekat. SAKURA. It my pen name. Aku terlahir di Sumatera. Orang
menyebutnya Puja Kesuma. Putri Jawa Kelahiran Sumatera, dan itulah
diriku. Pada sebuah tanggal yang orang sering bilang tanggal keramat.
Tanggal ganjil. Meski aku tak pernah berfikir demikian.
Tepat pada angka 3 aku
menyaksikan dunia. Pada Bulan ke-10 Masehi. Kadang aku
sempat berfikir, mengapa tidak sekalian bulan Januari ya? “Nanggung,” begitu
fikirku. Namun saat itulah aku belajar tentang “Takdir” sebagai suatu
ketetapan-Nya. Dan salah satu ketetapan itu adalah aku terlahir dalam keadaan
sungsang. Kata emakku. Kakiku terlebih dahulu melihat dunia sebelum sempat
kedua bola mataku yang menyaksikannya.
Aku berada pada posisi tengah
dalam keluargaku. Anak ke dua dari tiga bersaudara. Kakakku perempuan dengan
nama kejawen yang kental “Endang Setya Ningsih” nama yang sangat indah sekali
maknanya. Usiaku kami berjarak 5 tahun. Beliau adalah tipe Mbak yang sangat
penyayang. Kini sudah berkeluarga dengan 2 mujahidnya yang lucu. Sementara itu
adikku yang berperawakan tinggi, hitam dan besar merampungkan studinya di negeri Palembang. Usia kami juga berjarak 4 tahun. Keras dan penyanyang, kini ia pun sudah berkeluarga, iallah akan segera memiliki mujahid.
Aku tumbuh dan besar di sebuah
lingkungan yang agamis. “Lingkungan.” Rumahku berada di kompleks “Agamis.”
Tepat di depan rumah berdiri sebuah masjid Besar. Tempatku belajar mengepel
lantai saat musim lebaran Idul Fitri dan Adha. Dua hari sebelum hari yang besar
itu. Mengepel lantai masjid. Dan itu selalu menjadi momen yang menyenangkan.
Lalu hanya berjarak 2 rumah
pamanku yang berada di sebelah kanan rumah, juga berdiri Mushola yang bernama
“Langgar Muslimat.” Kata Ibu Kaswati, guruku mengaji di sana, itu berarti bahwa
muslimat ini di didirikan untuk tempat Ibu-ibu atau kaum muslimah melakukan
aktifitas ibadah keislaman. Di sinilah aku mengaji, meski pun sebelumnya aku
selalu tidak konsisten. Mengaji berpindah-pindah tempat. Mengikuti anak-anak
kebanyakan. Mencari tempat mengaji yang paling populer dan paling ramai
dikunjungi anak-anak. Dan di situlah aku bersandar menempelkan lidahku pada
huruf-huruf hijaiyah.
Namun sejak aku mengenal
wanita bernama Kaswati itu, aku jatuh cinta padanya. Dan itulah terakhir kalinya
aku berpindah tempat mengaji. Ibu Kaswati. Yang mengajarkan dan menuntunku
mengkhatamkan Al-Qur’an untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku. Tepat saat
aku duduk di kelas V SD. Aku selalu mengingat nama itu. Hingga saat ini. Ibu
Kaswati dan Mbah Yam.
Di samping Masjid At-Taqwa,
berjarak 3 rumah juga berdiri sebuah madrasah. Fathul Huda. Aku juga belajar di
sana. Setelah pulang belajar dari SD aku banyak menghabiskan waktuku dengan
bermain di rumah. Bermain BP-BP an, membuat baju-baju boneka berbie, menyulam
sapu tangan, atau lebih banyak juga menanam bunga dan membuat taman-taman
sederhana di samping kanan rumahku. Dan aku suka sekali bermain pasar-pasaran
di belakang rumah. Membuat gubuk-gubukan.
Jika tiba pukul 13.00 biasanya
tanpa diperintah aku langsung bersiap diri, untuk sekolah di sore hari. Mulai
dari pukul 13.00-16.00 WIB aku menghabiskan hampir sebagian waktuku di musim
usia kecil itu dengan aktifitas belajar ini dan itu. Di madrasah aku mengenal
Fiqih, Tajwid, shorof, Bahasa Arab, Nahwu, Sejarah Islam, pun juga Ilmu Alam.
Dan itulah pertama kali aku mengenal ayat yang menjelaskan tentang air. “Almaau
minassamaaa.” Air itu berasal dari langit.
Rampung belajar di Madrasah
biasanya aku langsung ke Masjid yang berada di depan rumahku. Aku belajar
mengaji Qira’ati disana. Metode cara cepat dan tepat membaca Al-Qur’an. Orang
menyebutnya TPQ. Di sana aku pertama kali mengenal Ustad Imam. Masih sangat
muda. Usianya sekitar 23 tahun. Aku suka sekali dengan beliau. Enak sekali
mendengarkan suara beliau ketika mengajari menyebutkan huruf-huruf yang harus
begini dan begitu.
Aku belajar di TPQ hingga
pukul 17.30 WIB. Rampung TPQ an biasanya aku hanya sempat berbenah diri
sejenak. Bersih-bersih diri, karena magrib hingga pukul 20.00 aku akan
menghabiskan waktuku di Mushola Muslimat. Belajar mengaji dan mengajar mengaji
di sana. Hampir sebagian besar waktuku saat usia era 7-12 tahun adalah dengan
aktifitas itu. Dan aku tampak sangat menikmatinya. Tidak terasa usiaku semakin
bertambah.
Di belakang rumahku yang hanya
berjarak dengan bekas lapangan voly dan 3 buah Rumah, berdiri sebuah Pesantren
sederhana. “Nurul Jadid.” Sebuah tempat yang juga turut berperan dalam
membentuk segala macam perangaiku. Aku banyak menghabiskan waktuku dengan
mengkaji ini itu di sana, saat aku telah merampungkan statusku sebagai siwa SD
dan Madrasah.
Serampung belajar di
Tsanawiyah. Sore harinya aku belajar di Ma’had. Dimulai pukul 14.00 hingga
pukul 17.00 aku belajar disana. Pelajarannya lebih complicated. Ada muntahobat,
pelajaran favoritku. Yang berisi kata-kata mutiara, pepatah arab. Ada
At-Tarikh, kisah tentang sejarah Islam. Adabul Mar’ah, adab-adab wanita
—panduan menjadi istri shalikhah-, nahwu dan banyak lagi lainnya. Dan semuanya
menggunakan kitab berbahasa Arab.
Aku sangat menikmati belajar
di Ma’had. Terutama saat bulan Ramadhan. Ma’had Nurul Jadid selalu asyik untuk
belajar dan memaknai Kitab-kitab kuning yang gundul tanpa baris itu. Ustadz
Imam itu sangat menyenangkan. Dan aku tahu, terkadang aku merasa menjadi santri
kesayangan diantara teman-temanku. Itu karena aku suka sekali membaca kitab-kitab
yang kata teman-temanku selalu membuat kepala pusing.
Malam harinya masih dengan
aktifitas yang sama. Aku masih saja belajar dan mengajar mengaji di langgar
Muslimat. Namun pada subuh harinya aku harus bangun pagi-pagi betul, karena
pukul 05.30 aku harus belajar Tahsin di Ma’had. Itulah yang mempengaruhi 3
oktoberku dengan nama resmi Evi Marlina.
Evi Marlina. Tidak ada arti
yang istimewa dalam nama itu. Aku juga tidak tahu mengapa emakku memberikan
nama itu padaku. Saat itu aku pernah bertanya pada emak, tentang siapakah yang
memberikan hadiah nama itu padaku, tapi emak selalu bilang “Emak sudah lupa
evi.” Dan sejak saat itu aku tak pernah lagi bertanya. Namun yang pasti aku
bahagia dengan nama itu. Walau pun terkadang aku juga cemburu dengan nama-nama indah
milik teman-temanku. Ada Choirotin Na’immah, Puji Astuti, Annisa, Fitriyanti,
Maria Ulfa dan lain-lain. Nama-nama yang diambil dari Al-Qur’an, nama-nama
istri-istri rasul, juga nama-nama syahidah.
Evi Marlina. Yang terdiri dari 10 Huruf. “Paduan yang cantik dan enak di baca.”
Begitu fikirku. Aku pernah bertanya pada Ustadz Imam yang merupakan guruku
mengaji Qira’ati, Tilawah indah, belajar ilmu-ilmu ma’had sekaligus pimpinan
Ma’had Nurul Jadid, tentang nama itu. “Ustadz, nama ana itu apa ya artinya
Ustadz?” Pertanyaann yang muncul saat kami tengah belajar B. Arab. Saat kelas
dua Tsanawiyah. Aku melihat raut wajah Ustadz Imam yang tampak diam berfikir
sejenak, dan aku menanti. Sangat berharap namaku memiliki arti yang istimewa.
Atau minimal bagus maknanya. Atau minimal ada dalam bahasa Arab. Setelah itu
Ustadz Imam menjawab, sepeti ini beliau menjelaskannya
“Evi itu berasal dari kata
Alfun, yang berarti seribu, seribu ini bisa di terjemahkan, seribu kebaikan,
kebenaran, keutamaan, seribu kemuliaan dan seribu lainnya.” Begitu ustadz Imam
menjelaskan sembari menuliskan nama evi dalam tulisan Melayu Arab di papan
tulis. Walau aku sempat berfikir, dari mana Ustadz Imam menarik kata Evi
menjadi alfun? Atau mungkin saja beliau ingin menyenangkanku. Entahlah! Yang
pasti…Sejak saat itu aku merasa mendapat pencerahan atas nama itu. Dan
diam-diam aku meyakini dan mengamini atas nama yang kumiliki.
Saat aku sampai di rumah aku
masih saja menyibukkan diri untuk ku peroleh makna seutuhnya dari namaku. Lalu aku
pun mencari-cari definisi nama itu menurut versiku. Jika evi berasal dari kata
al-fun yang berarti seribu, seribu kebaikan, kemuliaan, keutamaan, emm..,
Lalu, -mar- aku mengutak atik,
mulai dari kata bahasa Arab, lalu mengaitkannya. Hingga akhirnya aku peroleh
dan mengaitkannya dalam bahasa Inggris mar –smart- J yang berarti kecerdasan,
dan –Li- adalah bahasa Arab yang berarti milikku dan –na- adalah jamak
dari nahnu, yang berarti kita/kami. Dengan demikian saat aku menyatukan nama
itu menjadi seribu keutamaan yang aku miliki adalah untuk kebaikan kita
bersama.
Dan sejak aku memperoleh
definisi dan makna dari namaku. Saat itu pula aku lega sekali. Karena aku tahu
kemana namaku akan ku bawa. “Hee…entah iyo entah idak” Namun begitulah, karena
saat ini aku merasakan bahwa nama itu begitu istimewa. Di dalam hatiku.
Terimakasih emak. Itulah namaku. Evi Marlina. Sakura
Romawi Timur. Tidak ada
resep yang istimewa atas nama itu. Selain keistimewaan karena aku menganggapnya
sangat spesial dan istimewa.
Turkey, 18 November 2013 [Notes: catatan tentang pencarian nama ini, sudah lama saya tulis. Saat aku masih di semester 7 di kampus Universitas Jambi dulu] #iseng aku posting di sini. Buat kenang-kenangan. :D
Turkey, 18 November 2013 [Notes: catatan tentang pencarian nama ini, sudah lama saya tulis. Saat aku masih di semester 7 di kampus Universitas Jambi dulu] #iseng aku posting di sini. Buat kenang-kenangan. :D
No comments:
Post a Comment