Reminder

"Beri aku pelajaran TERSULIT, aku akan BELAJAR" Maryamah Karpov

Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya, dan yang membuka pendengaran dan penglihatannya

Dengan daya dan kekuatan dari-Nya, maka Maha Suci Allah, Sebaik-baik pencipta

(Tilawah Sajadah)

Friday, May 29, 2015

Jepara, 06 Juli 1959

Sumber foto: gugel (Foto ini mengingatkan aku dan Roky adıkku) kami selalu berangkat sekolah bersama dengan bersepeda.

Atap-atap kota teduh dalam diam yang tenang. Kembang kota bermekaran seiring dengan musim yang berganti dengan tidak tetap. Menurut kalender seharusnya ini sudah memasuki summer yang padat. Namun musim penghujan menghiasi hari-hari yang panas dan terik. Tidak ada yang memenuhi kepalaku beberapa pekan ini selain ingatan kepada Bapak, Emak dan keluargaku di kampung halaman. 

Adalah ia Bapakku, yang kini tersemat pada nama resmi dalam paspor, dalam transkrip dan semua data akademikku, dalam sertifikat-sertifikat acara. Sebuah nama yang bersyukur ia lekat di belakang namaku. Evi Marlina SAHLI. Kami di rumah biasa memanggilnya Bapak atau Pae. Anak ke dua dari lima bersaudara. Nama Mbah Putri adalah Karsi, seorang perempuan jawa dengan latar belakang seorang pengusaha dan gemar berdagang. Itu kisah yang aku dengar dari Mbah Putri Karsi. Usianya sudah berapa genapnya aku tidak  ingat. Sudah sangat tua sekali, meski tidak bungkuk badannya dan alhamdulillah tidak pula pikun. Mahas besar Allah. Melahirkan 5 orang anak, 4 putra dan 1 putri. Bapak salah satunya, yang diberi nama Sahli. 

Bapak dengan sifat yang sangat keras. Meski pada dasarnya lembut hatinya. Kaku namun hal yang selalu ku ingat adalah kegemarannya mengisahkan kisah Nabi Sulaiman menjelang aku tidur di masa keci begitu lekat di kepalaku. Tentang Ratu Bilqis dengan singgasananya yang begitu mempesona hatiku. Dan tentang Nabi Sulaiman yang bisa memahami bahasa Binatang. 


Bapak (nomor 3 dari kanan) adalah seorang yang pada masa mudanya menggemari kegiatan berdagang dan berbagai seni musik. Pandai memainkan piano. Semasa Tsanawiyah aku suka memperhatikan Bapak memainkan piano meski aku tidak berminat mencobanya. Meski bapak terkenal galak di rumah, ia tetaplah Bapak yang mengantarkan aku mendaftar sekolah di MAN Model jambi. Ibu kota provinsi yang terletak 6 jam dari kampung halamanku. Menemani aku mengisi formulir pendaftaran, menitipkan pada guru di kota Jambi dan berpesan agar belajar yang rajin. Sesekali menjengukku jika sedang pergi ke jambi dengan keperluan berdagang dan urusan dengan rekan-rekannya. Ia lahir pada tanggal 06 Juli 1959 di Jepara. Semasa kecil Bapak gemar sekali megajakku berpetualang, mengunjungi tempat-tempat yang jauh untuk bertamasya, dan selalu rajin menghadiri ketika pembagian rapor kelas tiba. Tidak pernah absen. Meski terkadang aku sering kesal dengan sifat Bapak yang galak sekali. 

Ah..Bapakku. Kini usiamu yang semakin beranjak senja 56 tahun. Bapak yang hanya tamat SMP. Aku tahu jiwamu yang pemberani. Setidaknya itulah yang menurun secara kuat padaku. Dalam tubuhmu yang kini semakin kurus dan ringkih maafkanlah aku jika belum mampu berbakti sebagaimana semestinya. Maafkanlah jıka belum mampu berbakti dengan baik dan benar sebagaimana yang Allah ridha. Ampunilah dosa yang pernah aku lakukan ketika terkadang aku kesal sekali dengan Bapak dengan bersembunyi dan ngambek di dalam kamar.  Walau bagaimana pun, aku selalu berdoa semoga Allah menurunnkan kasih sayang yang hangat padamu. Dan jika kelak Allah memanggilmu, Ridhakanlah dalam keadaan Khusnul Khatimah ya Allah...

Aamiin Allahumma Aamiin...
Sakura Romawi Timur
Ankara, 29 Mei 2015


Saturday, May 23, 2015

Peniti dan Kakek Tua #catatan harian

“Dua nikmat yang sering kali manusia tertipu oleh keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang”. 
(HR. Bukhari no. 6412).

Peniti unik dari pedagang asongan kakek tua, doc. pribadi

“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (al-Ahzab [33]: 21).
Ada hal sederhana dalam kehidupan ini yang sering kali kita lupakan dan barangkali kita sering kita mengabaikannya. Menganggapnya bukan hal yang utama meski kita mengetahui posisi pentingnya bagi kehidupan kita. Ialah nikmat sehat dan kebugaran yang Allah berikan kepada tubuh kita. 

Rasulullah adalah teladan terbaik. Pun bagaimana tentang pola hidup sehat yang Rasul conotohkan semasa hidup beliau. Bagaimana Rasul menjaga makanan, kerja, stirahat dan membagi waktu untuk umat dan keluarganya. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan ketika kita sehat dan kuat. Membuat PR sekolah, pergi ke perpustakaan, mengunjungi teman, bermain ke taman, berpetualang, melakukan penelitian, menulis, bermain dengan anak-anak, berdiskusi dengan remaja dan banyak hal lain. Juga karena nikmat sehat pada diri kita. Memberikan hak untuknya rehat dan memberikan ruang bagi paru-paru untuk menghirup udara segar, meberikan hak pada mata untuk melihat birunya langit atau bercakap dengan burung-burung kota yang perutnya gendut-gendut. Hihi...

Hari ini kami berdua aku dan seorang adik tingkatku (May) memutuskan untuk menikmati pagi dengan berjoging santai di taman komplek apartemen. Kami berlari keliling taman beberapa kali, sembari menggerak-gerakkan tubuh seadanya. Maklum, karena memang sudah lama tidak berolah raga :D. İni adalah minggu kedua aku memulai program joging santai. Pasalnya sedang semangatnya menjaga tubuh dari lemak :p Menikmati keindahan pagi karunia Allah dan tentu saja memanfaatkan fasilitas olah raga yang disediakan secara gratis oleh pemerintah Turki yang terdapat di taman-taman apartemen. 

Kami bertemu Ibu berusia sekitar 30 tahunan lebih yang sedang membawa seekor anjıng yang pincang kakinya. Kurus dan terlihat sakit. Aku duduk memperhatikan sang Ibu. Lalu asyik memberi makan puluhan burung merpati yang berterbangan di taman-taman. Memberinya remasan ekmek (roti) khas Turki yang berukuran besar. Aku suka sekali memberi makan burung-burung kota. Mereka tampak girang dan gembira, badannya gemuk-gemuk dan sangat lucu. Suara lenguh dan ketika ia berjalan dengan menggoyang-goyangkan kepala selalu mampu membuatku tertawa menyaksikan burung-burung tersebut. Terkadang aku suka sekali menggodanya dengan mengagetkan burung-burung hingga ia terbang dengan terkejut. xixi, astaghfirullah maafkan aku teman. Aku sungguh iseng sekali...Kalau Mas Faris ada disini sedang bersamaku,  entah apa reaksi yang akan Mamascim lakukan padaku :p

Puas kami berlari keliling dan berolah raga, kami memutuskan untuk ke pasar tradisional. Memasuki pasar-pasar geleneksel (tradisonal) Turki yang berada tidak jauh dari apartemen tempat kami bermalam. disepanjang perjalanan aku bertemu banyak bunga yang cantik dan aromanya mebuatku ingin menari, girang. Itu warna yang menakjubkan! Lilac Putih, masha Allah aku setengah tidak percaya dengan apa yang aku lihat. ternyata Lilaç tidak hanya berwarna ungu, namun juga ada yang berwarna putih  bersih. Ingin rasanya berteriak dan menyampaikan kegiranganku pada Mas Faris suamiku, kekasihkuu. Cantik sekali, putih bersih seperti kapas. Mas Faris lihatlah ini, beautiful.


Lilac Putih, disisi apartemen tetangga. Doc pribadi

Di pasar kami berbelanja hanya beberapa keperluan yang kami butuhkan. Telur, susu, buah melon, pasta gigi dan daun bawang. Seorang remaja penjual daun bawang menawariku daun bawang yang terikat dengan harga 2 lira, sementara di tanganku hanya tersisa 1 lira. Nasib baik sedang berpihak pada kami sepertinya, remaja itu memberikannya kepada kamı dengan harga 1 lira. Hee, alhamdulıllah. Rupanya wajah asing Asia kami mudah untuk dikenali dan membuat mereka berbesar hati membrikan potongan harga. Iya, aku mencatat bahwa warga Turki gemar sekali memberi. Mereka tidak sungkan mengundang ke rumah dan mengangkat kita sebagai keluarga dari mereka. Seperti Anne Kismet, keluarga yang menganggapku sebagai anak mereka. 

Selain menikmati aroma sayur mayur segar, kami girang sekali melihat ragam buah segar hasil pertanian Turki. Salah satunya adalah buah melon. Buah melon segar adalah buah yang banyak di panen di musim summer tiba. Seorang Bapak tua memberikan melonnya dengan harga 3 lira, setelah sebelumnya memberikan potongan melon kepada kami untuk mencicipinya. Waah...senanglah hati kami berkeliling pasar meski hanya menyaksikannya. Lihatlah betapa hangat dan baiknya mereka. Ya Allah terimakasih, memiliki saudara seiman yang tersebar dimana-mana. Itu sungguh menggembirakan.

Dengan menenteng beberapa kantong plastik kami melewati beberapa pedagang telur, sayur, dan buah. Kami sudah membayangkan akan memasak tumis tempe dengan campurab daun bawang segar. Pasti sedap dan nikmat sekali. 

"abla...ablaa..." 

Langkah kami terhenti! Sebuah suara dari seorang kakek tua yang sedang menggendong keranjang memanggil kami. di sisinya seorang kakek tua menggelar dagangannya. Benda-benda yang terlihat sudah cukup usang. Mulai dari gunting, tisu, pemotong kuku, peniti, jarum dan hal-hal kecil lainnya. Sang Kakek memandangi kami dan menawarkan dagangannya. Aku tahu persis di dalam dompetku sudah tidak ada uang cash sam sekali. Syukurlah adikku si May masih memiliki dua keping logam lira. Meski kami tidak tahu akan membeli apa, akhirnya kami memutuskan membeli peniti dengan kepala lucu-lucu. 

"Wah ini lucu dek. Ayo kita beli ini."

Aku tahu, saat ini peniti ini barag kali belum berguna. Namun suatu saat aku yakin in sha Allah akan ada manfaatnya.

"peniti ini bisa di jadikan bahan kreatifitas untuk buku anak-anak." Dalam hatiku.

Hingga pulang dan sampai di apartemen suara dan wajah dua Kakek tua itu masih lekat di wajah dan hatiku. Hatiku terenyuh. barangkali di rumah kakek tua itu cucu-cucunya telah menantinya, atau istrinya yang juga sudah tua dan tidak mampu berjalan menunggu hasil dagangannya, barangkali... 

Sakura Romawi Timur
Ankara, 23 Mei 2015

Thursday, May 21, 2015

Bani Tamim; seperti aroma bunga

Langit Pagi dari lantai 12 apartemen, doc. pribadi

Pukul berapakah di luar sana? Aku menyibak tirai kamar setelah merampungkan tilawah pagi ini. Sekilas terlihat seperti pukul 06:00 pagi. Menjelang matahari membuka pintu langit dan merekah di penghujung malam yang segera berganti sinar. Dan ini adalah langit pukul 05:13 waktu Turki. Ketika malam menjadi singkat dan menjadi lebih pendek.

Aku duduk menyandarkan kepala di jendela dan beberapa kali mengecek whats upp berulang kali, memastikan apakah Mas Faris sudah bangun. Sejak dari pukul 03:15 aku terbangun dan segera menekan tombol kolling to Mas Faris, tampaknya suamiku kelelahan sekali. Semalam Mas Faris bilang akan ada acara pertemuan dengan orang Arab. Dan meski sudah terlihat onlinne ketika aku memiskoll Mamasku sepertinya terbangun meski masih setengah sadar. Heuheu...LDR in the lope :p

"Mamas mpun bangun dereng?" Aku mengirimkan pesan yang sama untuk kedua kalinya. Sembari membuka gagang jendela kamar apartemen. Semilir, udara dingin pagi masuk menyapa wajah. Assalamu'alaıkum duhai pagiku...

"Masha Allah segarnya." Dalam hatiku. Teringat aroma lilac ungu di taman bawah apartemen. Aromanya yang khas selalu mampu mengundang hasratku untuk menari di atas rerumputan hijau dan memotret aneka Dandelion perdu yang cantik rimbun di tengah rerumputan. Meniupnya hingga menerbangkan mahkota putihnya yang telah mengering. Sementara warna bunga Lilac selalu mengingatkanku pada warna dan aroma Lavender.

Kling...

Handphone ku menyala. Pesan dari yang aku nantikan sejak sefajar sepagian.

"Mpun bangun.." Jawab pesan di seberang sana.

"xixi. Alaaa padahal baru kebangun Maskuu  kaan ..." Jawabku. 

Yang disertai jawaban tawa dari Suamiku. Pukul 05:15 waktu Riyadh. Mas Faris pasti kecapean sekali, pulang larut malam. Fajar saat aku terbangun tadi, aku mengecek handphone disana terakhir dilihat pukul setengah satu dini hari. Entah apa yang tengah diselesaikan oleh separuh nyawaku di ujung negeri itu hijaiyah itu. Kalau tidak membaca buku-buku yang padat dan tebal, pasti juga tengah menyimak para syeikh-syeikh guru besar timur tengah di youtube, atau kalau tidak begitu mendengarkan obrolanku ngalor-ngidul yang sepertinya tidak substantial secara ilmu dan kafaah beliau yang padat pengetahuan dan tentu saja berbobot. Tapi begitulah, sifat Mas Faris yang dengan setia menyimakku dengan tulus membuatku tidak pernah berhenti merindukannya.



foto: oleh dek Ifah (kameranya bagus :p)

***

Mamascim, sebuah ucapan terimakasih ingin aku sampaikan kepada keluarga besar Mas Faris, atau yang  lebih di kenal dengan Bani Tamim. Di ambil dari nama Bapak (mertua) Ust. Mutammimul Ula. Sosok yang tidak banyak bercakap, penuh wibawa dan penyayang jiwanya. Aku belum pernah bertemu dan mengenal sosok Bapak sebelumnya, tapi begitu pertama kali Mas Faris memboyongku ke Jakarta dan memperkenalkan pada keluarga besarnya dengan cepat aku merasa sudah begitu lama mengenal sosok Bapak (mertua). Bicaranya sedikit, seperlunya. Seperti kaum Bapak pada kebanyakan.

Bapak (red. mertua) yang meski tidak banyak bicara, namun selalu rajin dan paling rutin menanyakan dimana keberadaan kami, anak-anak beliau. 

"Basyir, Ahmad di mana? Pulang jam berapa?" 
"Yusuf, Mail sedang dimana? Kalau larut nginap saja di sini dan sini." 
"Mas Faris bagaimana kabar di riyadh?"
"Jay pulang ke GTP malam ini?"

Dan pesan-pesan sejenisnya yang menanyakan kabar kami masing-masing, termasuk diriku yang dalam hal ını sebagai menantu Bapak, Belıau sering menanyakan kabar, memberikan ide-ide yang bisa kami lakukan dan banyak hal laınnya. Sosok karakter Bapak nampaknya turun pada Mas Faris yang juga tidak kalah kuul dan selalu membuatku rindu itu :3. Berbicara sedikit, lebih banyak menjadi pendengar, dan ketika bercanda sedikit saja membuat kami (danjuga adik-adiknya) semua tergelak dalam tawa tanpa perlawanan.

Lilac  Ungu di taman apartemen, dokumen pribadi

Adik-adik Mas Faris sebenarnya yang juga hangat dan berdaya humor tidak kalah tinggi. Namun tetap saja skak ketika satu emot saja klik enter oleh pemilik sosok kul dan telah membuatku jatuh cinta setiap menit itu, hadeuw beginikah ternyata rasanya orang yang dirundung jatuh cinta @-@ xixi :p

Kembali pada topik Bapak. Adalah sosok pemimpin dalam keluarga memberikan peran yang besar dalam keluarga. Bapak, dalam hal ini selalu menekankan agar kami selalu menjadikan Allah sebagai tujuan utama. Ada sebuah hari yang aku pun ikut mesam-mesem ketika Bapak menyentil si nomor 7 (yang biasa kami memanggilnya Ucup).

"Loh la Yusuf juara kategori apa Cup?" Tanya Mas Aaf -ketika Yusuf memposting sebuah panflet ucapan jawara mawapres UI-  anak Bapak yang tertua.

"Yusuf sampe tingkat fakultas Mas, pesertanya hebat-hebat semua." Jawab Yusuf disertai dengan membubuhkan emot nangis alay ala whatss up :D

Sontak saja, emotikon itu mengundang tawa kami. Dan Bapak yang sebelumnya tidak berkomentar pun memberikan komentarnya.

"Yusuf juara 1 imam shalat shubuh di GTP."

Masha Allah...

"İya Pak, itu juara sesungguhnya." Jawab si nomor tujuh ini sekali lagi dengan emotikon whats up yang alay, hoho.

***

Lavender, sumber google searching

Lain sosok Bapak lain pula sosok ibu. Yang tidak kalah tangguh dan tegasnya. Darinya aku belajar banyak hal. Memanajemen waktu dengan sederet penuh aktifitas yang non stop dari sejak pagi-pagi hingga larut malam. Mulai dari membereskan dapur, kantor, menghadiri undangan, mengurus pengajian, menjaga cucu, hingga menyapa kami anak-anaknya yang bertebaran di negara yang berbeda-beda. Juga sifat tegas İbu dalam banyak hal yang sepertinya menurun pada Mas Faris dengan ketegasan yang aku sukai. 

Ah... Mas Faris, ada banyak hal yang ingin aku tulis setiap hari tentang kita sebenanrnya. Kerinduaku yang kian hari kian memuncak dalam fikir dan relung jiwaku.

"lebaran pulang ndak Nduk sama Nak Faris?" Pertanyaan emak tiga hari lalu lewat pesan whats up mılık sepupu, anak paman.

Heu, ternyata keluarga di Singkut semua juga merindukan Mamascim. Mascim Love you every second...Ajarkan aku bagaimana berbakti pada Allah, Tuhan seluruh makhluk dan taat pada mu dalam pengabdianku sebagai istrimu... 

Ya Suamiku, terimakasih telah mencintaiku dan keluargaku di kampung halaman. Kedua orang tuaku di desa yang tidaklah berpendidikan Universitas. Aku mencintaimu, karena ketulusanmu telah mempersuntingku dengan penuh keberanian. Semoga Allah ridha.. 

Teşekkurler Masku, Love you

Bersambung...

Diary, gunaydın Bhosporus
Sakura, Ankara, 21 Mei 2015

Teşekkür ederim herşey için #Evi Marlina in International Congress On Education (ICEFIC 2015)


Teşekkür ederim herşey için
Terimakasih untuk semuanya
====================


Foto : Mbak Evi Marlina yang presentasi tentang suku anak dalam (SAD) 
dalam kongres pendidikan internasional  di Ankara University (14 May 2015)


ANKARA. 13-14 Mei 2015. Alhamdulillah akhirnya berkesempatan memenangkan paper yang aku garap sejak Februari akhir seminggu tepat setelah pulang dari Indonesia. Paper tersebut setelah melalui proses perjuangan dan revisi yang panjang akhirnya lolos menembus meja rieviewer dan berhak untuk di presentasikan di even International Congress Education, yang di selenggarakan di Ankara Univ, kota Ankara. Bersama 300 presenter lainnya yang berasal dari para peneliti berbagai belahan negara. 

Disana hadir dan berkumpul para guru-guru besar. Beberapa diantaranya aku bertemu peserta mulai dari Mesir, Iran, Azerbeijan, Ukraina dan beberapa negara lainnya. Hampir rata-rata peserta conference adalah para doktoral student, peneliti dan berbagai kalangan akademisi dengan gelar Profesor. Segala puji hanya bagi Allah yang telah mengkaruniakan kesempaan ini untuk mempresentasikan paper di hadapan para doktoral dan guru besar.

Paperku membahasa tentang aktifitas yang kami lakukan selama di tanah air. sebuah program pemberdayaan komunıtas terasing Jambi, Suku Anak Dalam. Presentasi berdurasi 20 menit itu ramai mendapat sambutan dari berbagai kalangan. Semua sunyi menyimak setiap slide yang aku jelaskan. Entahlah, aku pun merinding sendiri dengan apa yang aku sampaikan pada kesempatan itu. Mengingat apa yang aku sampaıkan adalah sebuah tanggung jawab, bukan perkara sebar angket dan terima hasil analisis data. Akan tetapi sebuah aktifitas yang lahir dari sebuah proses yang panjang. Bukan jangka hıtungan bulan dan apa lagi hari. 



Terimakasih kepada tim AL-ARDVİCİ yang selalu siap dalam suka dan duka. Menjadi teman perjuangan meski berbeda benua, berbeda waktu dan keadaan. Kepada Bapak dan Emak yang selalu menjadi orang pertama yang selalu mendukung semua cita-citaku. Terimakasih telah menjaga dan memberiku kesempatan untuk mengenyam pendidikan.



Terimakasih Pak Dede Martino, guru kehidupan yang selalu menguatkan dalam detik akhir menjelang presentasi. Beliau yang telah menguatkan "kami doakan dari sini." Pesan pak Dede beberapa menit menjelang presentasi. Persis seperti saat aku lolos memperleh undangan wawancara beasiswa, beliaulah yang membimbing hingga menuju meja wawancara. Terimakasih Pak Dede, yang telah membangun cita-cita tanpa batas dalam jiwaku.

Kepada suamiku, Mas Faris Jihady. Yang menjadi sumber energi nafasku. Cinta dan ketulusanmu yang menjadikan hatiku dipenuhi getar-getar aneh yang ındah aku rasakan. Kasih sayangmu dan ketegasanmu mencintaiku membuatku selalu percaya bahwa aku tidak perlu takut melangkah lebih jauh meski sulit dan tinggi jalan yang harus ditempuh. Nasıhatmu yang membuatku hatiku menjadi tentram dalam perlindungan. Aku mencintaimu...

****


Terimakasih ya buat adik-adik Mbak Al FaridAini PutriDea Audia Kurşunbeserta suami (Mustafa Kursun), sudah hadir menemani Mbak Evi. Terimakasih buat tim AL-ARDVİCİ (Rahmi Mulyasari Al-ardviciAli Al Ardvici,Linda Handayani Al Ardvici,Afjul Yazi Al Ardvici) teman-teman di tanah air dan di tanah rantau (Turki), keluarga di kampung halaman (Endang SusiloningsihRocky Cuk NorisAgus Fanani) dan keluarga di Cibinong - Jakarta (Ibu Wirianingsih dan Bapak), Pak Dede Martino, Sensei Edi Sukur, dan untuk Suamiku Mas Faris Jihady atas dukungan, semangat, doa dan cinta yang senantiasa menghidupkan.

Title of paper presentation: 
Educating for Indigenous Community; Suku Anak Dalam 
through Social Empowerment Based on Local Cultural Skill

****
Juga buat rekan-rekan warrior Flp Turki yang terus berjaga gawang di perbatasan. 
foto was taken by Dea and her husband. — in Ankara, Turkey.

Sunday, May 3, 2015

Yang hitam; Hanyalah warna kulit

Yang hitam; Hanyalah warna kulit
================


Lihatlah langit di ujung lorong sana,

Ternyata masih banyak tempat-tempat baru yang belum kita kunjungi,
masih banyak buku-buku yang belum kita baca,
dan masih banyak teman duduk yang belum kita kenal
(kata bijak)

Daun mapel hijau rimbun memenuhi pokok-pokok batang yang kekar. Aku suka sekali mengumpulkan daunnya yang kering berjatuhan lalu menyelipkan diantara buku-buku kampus. Menuliskan sesuatu pada permukaan daunnya, “Turki, Mei Spring 2015” dan semacanya. Meski sedikit rada kesal setiap kali mengingat daun mapel, pasalnya blog catatanku berubah akibat mengutak-atiknya beberapa pekan lalu, background daun mapel yang aku sukai itu hilang. Berubah template. Hoho… sudahlah.

Dua hari lalu aku menyempatkan sarapan dan ngobrol lebih panjang dengan seorang teman berkebangsaan Somalia, Fatimah namanya. Perawakannya besar dengan jilbab yang sangat besar dan longgar khas muslimah Somalia. Kalau berbicara suaranya tinggi sekali. Gadis yang baik hati dan rajin sekali menyapa setiap kali kami bertemu dipagi hari untuk menggosok gigi. Ia adalah mahasiswi tingkat S1.


Hari itu 1 Mei 2015, kebetulan adalah hari libur nasional, peringatan hari buruh nasional di Turki. Asrama terlihat lebih sepi karena sebagian besar para mahasiswa berangkat piknik. Aku sendiri memilih tetap di asrama, karena beberapa hari sebelumnya telah berkunjung ke Istanbul.

##

"Fatimah apakah kamu tidak berencana pergi kesuatu tempat hari ini?" Tanyaku pada Fatimah saat kami beriringan mengangkat tapsi hendak sarapan pagi.


"No, I will stay here today.” Jawabnya singkat sembari meraih sebungkus peynir, si keju putih berbentuk persegi panjang, mirip tahu warnanya. Dan rasanya sudah tentu asin.



"Oh okay, let's have breakfast together." Aku mengajaknya sarapan di meja yang sama. Menuju tempat duduk di sisi tengah, lebih dekat dengan TV asrama yang ukuran layarnya lebih lebar.

##

Singkat kata, percakapan di sela-sela sarapan kami berdua.

"Fatimah, aku tahu bahwa Somalia adalah negara yang masyarakatnya mayoritas muslim, adakah yang berasal dari agama lain?"


"No, a hundred percent." Jawabnya.


"A hundred percent? Really?" Saya mendongakkan wajah mendekat ke wajahnya.

"Yes, a hundred percent. Maybe there is another religion about 2 or 3 percent only."

"Apakah kamu juga menghafal Al-Qur'an sebagaimana anak-anak Somalia pada umumnya." Aku masih ingat dengan jelas, percakapan dengan seorang teman Tomer Somalia setahun yang lalu. Ngajinya indah, fasih tajwidnya, mirip cara membaca Al-Qur’an masyarakat muslim Indonesia pada umumnya. Dan ternyata benar, masyarakat Somalia pandai membaca Al-Qur’an. Para orang tua mewajibkan anak-anak Somalia untuk menghadiri madrasah-madrasah Qur’an.


"Yes, I memorized it." Jawab Fatimah singkat, membuyarkan lamunan ingatanku.

“Apakah anak-anak Somalia diwajibkan belajar Al-Qur'an sejak kecil?
“Yes. Semua anak-anak Somalia wajib belajar Al-Qur'an sejak kecil. Orang tua kami akan mengajarkan membaca Al-Qur'an sejak dini.“


"Pada usia berapa ibumu mengajarkan Al-Qur'an?" Tanyaku kembali.



"Pada usia 3 tahun, İbu telah mengajarkan Al-Qur'an. Yah, sejak lebih kecil dari itu tepatnya. Namun pada usia 3 tahun Ibuku mulai mengajarkan padaku untuk menyimaknya setiap malam, itu seperti sebuah kelas wajib."

“Bagaimana orang tuamu mengajarkan Al-Qur'an di usia sedini ıtu?” Aku ingin tahu.


"Ibuku menyediakan papan tulis di rumah, meja, buku, serta pena dan pensil. Setiap hari ia mengajariku membaca, meskipun aku belum mengerti apa-apa. Aku hanya melihat, memperhatikan dan mendengarkannya meski aku tidak tahu apa arti yang di ucapkkan oleh ıbu. Aku senang sekali mengingat masa itu. Ibuku melakukannya setiap hari. Hingga aku menjadi hafal sendiri.."



"...masha Allah." Aku teringat kembali dengan teman-teman Somalia semasa Tomer yang juga menceritakan hal yang sama.

"Apakah orang tuamu tidak mengirimkan ke sekolah umum?"


"Kami sekolah umum di pagi hari dan pada sore hari mengikuti kelas madrasah. Di madrasah kami belajar menulis Arab, belajar mengeja dan kemudian mendengarkan guru-guru kami membaca Al-Qur'an. Setelah mampu membaca dengan baik, tugas selanjutnya adalah menghafal Al-Qur'an di rumah untuk kemudian disetorkan pada keesokan harinya. Begıtu setiap hari, hingga kami bisa menyelesaikan hafalan perjuznya. Kau tahu Hanifa, Ibuku tidak akan mengizinkan kami masuk sekolah umum pemerintah sebelum menghafalkan beberapa juz dari Al-Qur’an. Dan semua orang tua kami seperti itu."



"Pada usia berapa kamu menyelesaikan hafalan."

"Pada umumnya anak-anak Somalia akan menyelesaikan hafalan pada usia di bawah 10 tahun. Aku termasuk yang lambat menyelesaikan tepatnya pada usiaku yang ke 11 tahun, haha. Aku senang sekali setiap mengenang masa kecil."


"Tidakkah kamu merasa bosan belajar Al-Qur'an dan menghafalkannya."


"Entahlah, kami para anak-anak selalu merasa bersemangat. Hanifa kau tahu, ketika itu aku merasa seperti sedang mengikuti sebuah kompetisi menghafal Al-Qur'an setiap hari. Aku selalu ingin menjadi nomor satu untuk menyetorkan hafalan pada guru madrasah. Semua anak-anak ingin menjadi yang paling baik di kelas. Setiap hari sebelum memulai belajar, guru-guru madrasah selalu bertanya "siapakah yang akan menjadi orang pertama menyelesaikan hafalan Al-Qur'an di kelas ini?" Haha, aku selalu bersemangat sekali ingin menunjukkan pada guru madrasah bahwa aku akan menyelesaikan lebih dahulu.”

"Haha, itu pasti hal yang menyenangkan sekali.” Aku ikut tergelak gembira menyimaknya mengisahkan masa kecil.


Kami larut dalam percakapan dan tawa. Membayangkan ramainya anak-anak berlomba ingin menjadi yang nomor satu menuntaskan hafalan.



“Bagaimana dengan anak yang tidak mau menghafal Al-Qur’an?” Aku penasaran.



“Semua anak-anak bersemangat untuk pergi ke madrasah. Orang tuaku selalu bilang, bahwa kalau sudah menghafal Al-Qur’an aku bisa menguasai ilmu apa saja yang aku mau. Aku jadi semangat untuk menghafal. Masa ıtu manis sekali.”



“Apakah orang tuamu juga menghafal Al-Qur’an?”



“Iya para orang tua kami juga berjuang menghafal Al-Qur'an. Aku suka sekali pada ayahku. Ia memiliki hafalan yang sangat kuat. Haha, aku tak sekuat ayahku. Hafalanku beberapa banyak yang hilang, karena tak rajin mengulang.”



“Ketika kecil, sehari berapa halaman engkau menghafal?”

“Aku terbiasa menghafal satu setengah halaman. Sekarang aku berusaha untuk menghafal dan mengulangnya kembali 4-5 halaman setiap harinya. Kata ayahku, bila aku tak menghafalnya dengan sangat kuat dalam ingatan, maka hafalanku akan mudah hilang.”


“Fatimah, berapa jumlah anak pada umumnya dalam keluarga Somalia.” Entah topik dari mana tiba-tiba aku menanyakan ini.


“Rata-rata kami memiliki keluarga yang besar. Tetanggaku jumlah anaknya ada yang sepuluh hingga 18. Tetapi aku hanya empat bersaudara.”

“Haa…masha Allah lebih dari sepuluh? Lalu bagaimana dengan keluarga yang memiliki kesulitan ekonomi, apakah mereka juga memiliki banyak anak?” Tanyaku penasaran.
“Iya tentu saja, masyarakat Somalia senang memiliki anak—anak yang banyak.”
“Adakah mereka khawatir dengan keadaan anak-anak mereka oleh sebab keadaan yang miskin?”
“Tidak, mereka yakin pada Allah. Tidak takut dengan keadaan yang miskin, meski anak mereka banyak sekali. Aku memiliki tetangga yang miskin, dan memliki 12 orang anak.”


“Apakah anak-anak mereka juga menghafal Al-Qur’an?”

“Iya, mereka akan sangat bangga anak-anak mereka berangkat ke madrasah dan menghafal Al-Qur’an. Mereka juga bisa belajar dengan gratis di madrasah. Itu menyenangkan sekali.”
"Masha Allah." Aku menggumam dalam tasbih. Sementara dari sisi jendela asrama terlihat bunga lavender berayun tenang menyebarkan harum aromanya.


“Fatimah terimakasih telah berbagi denganku hari ini.” Kataku kemudian, ketika menyadari piring-piring sarapan kami telah kosong.

“Oh no Hanifa, aku yang harus berterima kasih, hari ini kau telah mengajakku bertamasya mengenang masa kecil yang sungguh manis. Hatiku gembira bisa menceritakannya padamu.”


Somalia! Bangsa yang berkulit hitam namun hatinya penuh cahaya-cahaya.


Sakura RT, Çankaya, 3 Mei 2015 
Keterangan foto: sumber foto gugel.

Friday, May 1, 2015

Status on the diary



Sejak pagi pagi mengendap di depan leptop. Setiap hari selasa, adalah agenda rutin bimbingan mata kuliah seminar untuk tesis planning. Bersyukur memiliki profesor yang tidak hanya mahir berbahasa Inggris (ini sangat penting), namun juga menyukai tantangan untuk riset yang lama plus jam terbang yang kadang harus menunggu berjam~jam "hanya" untuk diskusi 15 menit. 15 menit adalah waktu yang sangat berharga!!! Mengejarnya harus resah menanti naik bis, turun dan lalu nyambung naik kereta, dan melanjutkan lari menanjak 15 menit (kalau mau cepat). ‪#‎Khawatir‬ tidak ketemu hoca. ‪#‎do‬ your research in your country ‪#‎anehnya‬ almost profesor menginginkan supaya do it in Indonesia. interesting country! — feeling thoughtful at Ankara Üniversitesi Cebeci Kampüsü 665

Summer tiba. Berapa derajat di luar sana? Menurut prakiraan cuaca di layar handphone 21°C untuk Ankara dan 39°C untuk Riyadh. Matahari sore dibalik jendela kelas tampak meranggaskan genting gedung bangunan di seberang sana. Sepi. Tidak terlihat ada gerak percakapan para profesor yang plontos kepalanya atau berjas rapi dengan sapka khas Turki yang necis, atau kesibukan para students yang mondar~mandir menanti kelas sore. Semua tenang, sunyi...pukul 16:00 waktu Turki. ‪#‎kelas‬ riset di siang yang terik ‪#‎ketika‬ siang lebih panjang dari malam at Ankara Universitesi Egitim Bilimleri Fakultesi402