TERIK!
“Hari sudah jelang pukul 11.00 WIB. Tapi mentari panas menyengat. Seperti sudah jelang pukul 12.00 tepat. Sudah beberapa kali aku mondar-mandir ke rumah Ustdzah, ke karya dan berulang begitu beberapa kali. Hingga akhirnya memutuskan untuk kembali ke Bazar pameran di Gubernuran. Aku tidak bias tenang duduk disana. Lalu pamit dan menitipkannya dengan pihak Balitbangda. Aku harus bertemu dengan ustdzah hari itu.”
Dear Bintang, 2 hari ini aku merasa lebih baik fikiran dan hatiku. meski masih ada beberapa amanah yang belum aku rampungkan. Masih menggunung. Tak perlu menyalahkan siapa-siapa. Aku tahu ini karena salah dan kelalaianku. 2 hari yang bermakna. Hari kamis lalu, aku berkunjung ke sebuah tempat. Yang membuat damai hatiku. Awalnya aku hanya bermaksud mengantar Ustadzah ke rumah itu, dan ternyata itu adalah sebuah tempat yang hatiku merasa adem disana. Sebuah rumah sosial, milik Direktur RS MMC Jambi, yang diamanahkan kepada Ustadzah untuk mengelolanya. Aku bertemu 5 bocah wanita ayu. Usianya sekitar 12-13 tahun. Mereka membuatku menjadi lebih baik dengan berbagi. 5 gadis kecil tiada berayah dan ada yang tiada beribu. 5 gadis nan santun dan lembut sekali sifatnya. Aku sangat terkesan sekali.
Awalnya setelah berkenalan dan bercerita aku duduk di teras kamar Rumah Sosial, awalnya Pak Direktur menamakannya sebagai Panti Asuhan, dan aku tidak suka dengan sebutan itu, maka aku usulkan dengan nama Rumah Cerdas Qur'ani pada Ustadzah tentang rumah itu. Ustdzah mengangguk, pertanda tengah mempertimbangkan usulanku. Aku duduk di lantai sambil memotret langit. Disampingku duduk bersila si Rahman. Aku mengajaknya berceloteh, siswa SMPIT Nurul Ilmi yang ikut berkunjung kesana, aku mengajaknya bercakap dengan bahasa Inggris. Dia bilang dia ingin sekali pandai berbahasa Inggris. Aku bercerita banyak hal dengan Rahman, dia merespon dan mendengarkan dengan sangat baik dan bersemangat. Tertawa kala mungkin ia menemukan kisah lucu dari suaraku. Aku juga tidak tahu mengapa ia sampai terkikik saat aku bilang, “kakak juga dulu gak jago-jago amat lho..hoho...” Rahman terkikik tertahan. Terlihat senyumnya mengembang. Aku senang sekali melihatnya. Itu senyum tanpa beban, aku ingin sekali punya senyum seperti milik Rahman.
Ustadzah datang dan membawa 5 gadis itu, mengajak mereka berkumpul dan berkeliling disekitarku. Aku memandang mata mereka satu persatu. Kalau aku berada dalam posisi mereka entahlah. Tidak sanggup aku memikirkan hal sedemikian itu. Aku mulai melibatkan mereka dalam pembicaraan dan cerita yang panjang. Sesekali mereka tersenyum dalam sembunyi wajahnya. Menyembunyikannya dari tatapanku. Masih sangat malu. Aku maklum. Mereka semua berasal dari daerah perkampungan yang "mungkin pelosok" bahasa kasarku. Aku memulainya dengan pertanyaan sederhana, "DREAM" itulah yang aku munculkan pertama kali. Aku ingin tahu seperti dan bagaimana mereka memandang masa depan. Dan ini adalah jawaban dari 5 gadis itu.
"Kalau siti besok pengennya jadi da'iyah, supaya bisa membagikan ilmu agama ke masyakarat di kampung Kak, soalnya banyak yang belum faham tentang agama"
Dugh..dugh...hatiku berdugh, dugh..
"Kalau Ni'mah pengen jadi guru, supaya bisa membagikan ilmu pada orang yang belum tahu."
Bamm, hatiku berdebam.
"Kalau Fuji mau jadi Ustadzah, biar bisa ngasih ilmu agama sama orang lain"
Aku hening.
"Kalau Wati mau jadi guru, biar bisa kasih ilmu sama yang belum tahu."
Aku semakin diam.
"Kalau Sundari pengen jadi pengacara, biar bisa bela orang yang benar."
Aku kelu. Benar-benar kelu.
Ini sungguh ucapan yang tulus ya Allah. Aku tidak tahu, dan takut untuk menebak. Apakah impian yang mereka ucapkan itu karena mereka tidak tahu harus bermimpi menjadi apa. Apakah impian itu muncul karena semua impian itu adalah hal yang paling dekat dan paling sering mereka dengar atau memang itulah yang pernah meraka lihat. Ataukah karena minimnya pengetahuan mereka tentang mimpi yang jauh lebih besar dan terdengar lebih ELEGAN dan HEBAT? Ya Allah, aku tidak mau terjebak dengan pemikiran kolotku sendiri. Sungguh bukan ini yang kumaksud. Tapi aku sulit untuk menuliskannya seperti isi hatiku.
PLAK! Rasanya aku ingin menampar wajahku sendiri, mengapa aku berani bilang kalau menjadi guru dan dai'yah itu bukan kategori mimpi yang besar. Padahal aku sendiri dididik selama bertahun-tahun di kampus untuk menjadi seorang pendidik. Oh,,,ya Allah, bukan itu maksudku. Apa pun itu jika hanya karena-Mu maka sungguh itu jauh lebih baik dan mulia disisi-Mu. Namun, bolehkah aku mengatakan dengan jujur, aku ingin mereka kelak akan lebih banyak tahu, bahwa dunia ini begitu indah, masih banyak aneka warna yang harus mereka ketahui ya Allah, masih banyak aneka bunga yang harus mereka petik dan cium wangi baunya, ada yang harum, ada yang tak berbau, ada juga yang bau pahit, kaya bunga tembelek.
Sungguh aku tidak bermaksud mengatakan bahwa mimpi mereka bukan mimpi yang besar, "ini fikiran yang jahat sekali ya Allah." Ya Allah ampuni aku, tolong jangan Engkau hukum aku dengan sifat sombong dan besar kepalaku ini ya Allah. Dengan pemikiran yang tidak Pas ini ya Allah. Tolong ingatkan hamba ketika lupa ya Allah. Tuntun hamba kala ujub ya Allah. Sungguh bukan itu maksudku ya Allah. Sungguh Engkau Maha Tahu maksudku.
Ya Allah, sungguh aku hanya ingin mereka berani untuk bermimpi jauh lebih BESAR. Dan bukan maksudku mengatakan bahwa menjadi guru dan daiyah itu bukan mimpi yang besar. Bukan itu maksduku ya Allah. Semoga siapa pun yang membaca tulisan ini tahu apa maksudku ini. Kalau pun tidak maka hanya kepada Allah saja aku bergantung dengan semua maksudku ini.
Karena siapa pun kita, apa pun posisi kita, dimana pun level kita karena sejatinya kita semua adalah dai’yah. Aku bilang sama mereka, “kalau kita mau mendesain rumah dan gedung untuk belajar yang bagus dan tinggi menjulang kita bisa jadi arsitektur, arsitektur yang dai’yah, mendesain gedung yang banyak memberikan mafaat dan mendatangkan berkah bagi kebaikan umat dan agama, kalau kita mau jadi perancang busana yang keren, kita bisa jadi desainer, desainer yang daiyah, yang mendesain baju muslimah yang rapi dan syar’iyah, atau kalau kita mau jadi pengusaha, kita bias jadi pengusaha yang dai’yah yang menggunakan hartanya untuk kepentingan da’wah Islam, atau kalau kita mau jadi guru, maka jadi guru yang dai’yah, yang akan memberi banyak ilmu yang bermanfaat untuk murud-muidnya.” Aku hanya bilang begitu saja ya Allah.
Sebenarnya lewat bahasa yang entah sederhana atau tidak itu, aku hanya ingin sampaikan bahwa di muka bumi ini ada banyak begitu cita-cita yang bisa mereka impiakan dan mereka ciptakan, dengan kerja keras dan ksungguhan. Hanya itu saja maksduku ya Allah. Ah susahnya berbahsa lugas, aku hanya ingin membuka wawasan berfikir mereka saja maksudku. Yah…mungkin itu tepatnya, tanpa bermaksud menyudutkan hal tertentu.
Dear bintang, apa pun mimpi yang mereka ungkapkan kala sore itu. Aku sungguh tidak berani untuk berfikir macam-macam tentang mereka. Karena yang aku tahu, mereka mengucapkan kalimat dan jawaban dari pertanyaan singkatku itu dengan "Bibir yang bergetar." Aku sungguh kelu. Terimaksih untuk 2 hari itu ya Allah. Aku sungguh terobok-obok hatiku. Bahwa berbagi itu tak harus berbentuk "rupiah."
No comments:
Post a Comment