Dear Bintang...
Aku sampai dirumah pukul 20.00 WIB malam ini,
baru saja sampai bersama adik-adikku. Aku gembira sekali melihat mereka riang dan tulus melakukan perjuangan yang terjal itu!
Aku benar-benar tak tahan melihat kondisi Wak Samin. Masya Allah. Hatiku terenyuh melihat kondisi beliau.
Sudah hampir 2 tahun aku tidak menjenguk rumah beliau. Setiap kali mengadakan kegiatan aku hanya menjenguk beberapa rumah dikawasan borenam, hal ini karena kondisi jalan dikawasan rumah Wak Samin yang membuatku benar-benar trauma, setelah tragedi kecelakaan saat aku pernah memboncengkan Nek Yam. Setelah kejadian itu aku tidak berani kesana. Dan kami memutuskan untuk memusatkan kegiatan pembinaan di rumah Nek Yam, kawasan borenam.
Pagi ini, kami terbang dari Mendalo pukul 07.30 WIB. Aku membersamai adik-adik kampusku, meski aku sudah lulus dari kampus. Sungguh, deim Rabb, tidak ada hal yang membuatku bertanya mengapa aku harus melakukan ini, selain aku ingin mereka, para generasi penggantiku kelak akan lebih kuat dan jauh lebih besar dari diriku ya Allah. Aku ingin mereka melihat, merasakan, apa yang seharusnya mereka ketahui tentang kehidupan ini yang sesungguhnya.
Ini adalah perjalanan yang pertama bagi mereka (Turino, Wasril, Widodo, Evin, Nursanty, dan Muhayatun), aku membiarkan mereka untuk belajar memahami bagaimana kondisi masyarakat pedalaman kawasan III Senami, membiarkan mereka melihat, bercerita dan mengambil foto dan berpotret ria. Dan hanya sesekali mengarahkan dan mengajak berceloteh A dan B. Sementara Cici, Linda dan Ali membantu bertanya ini dan itu.
Ya Rabb, aku tahu ini tidak mudah. Namun mengunjungi Nek Yam kali ini membuatku gembira. Ia begitu merindukanku. Hampir 3 bulan karena berbagai kesibukan aku tidak bisa mengunjungi beliau. Jalan-jalan menuju kawasan Senami mulai membaik, aku senang menyaksikan jalan itu. Aku bisa mengayuh motor dengan kecepatan yang tinggi. Dan tentu saja bisa sampai di rumah Nek Yam lebih cepat dan lebih pagi.
Lama kami bercengkerama di rumah Nek Yam. Bocah-bocah bersibuk ria bertanya ini dan itu. Sementara aku juga sibuk bermain-main dengan anak-anak pedalaman di bawah pohon rambutan. Di rumah Nek Yam, berderet kerajinan tangan anyaman sudah siap untuk di bawa ke Jambi. Nek Yam juga memberi kami rambutan manis, disana lagi musim rambutan. Ah, aku senang sekali mengunyah rambutan itu, bahkan kami berebut rambutan hutan yang rasanya masam dan tidak mengelotok itu.
Kami juga kerumah Bu kadus, shalat dan melanjutkan perjalanan ke Rumah Bang Dul. Wah, subhanAllah, sudah banyak perubahan di sana. Aku senang sekali melihat pondok Bang Dul yang baru. Tinggi dan sejuk sekali. Atapnya dari daun nipah. Panjang-panjang dan indah dipandang. Namun sayangnya, jalanan lumayan becek dan dalam, sehingga beberapa kali kami harus rela terperosok dan menggeret-geret motor dengan terbahak-bahak. Ah, hal-hal seperti ini selalu membuatku merindukannya suatu saat kelak.
Aku menikmati teriknya hutan yang mengundul itu. Pohon tebu bergontai-gontai indah di tengah tanah yang meranggas, warga SAD baru saja membakar lahan untuk berladang, mereka bermaksud menanam pohon karet di lahan itu. Sungai kecil dibawah pohon ringkih juga tidak sebening dulu. Aku merasa telah banyak yang hilang dan berubah saat ini. Meski dalam beberapa hal kehidupan mereka mulai membaik.
Rampung dari sana kami bergegas menuju rumah Wak Samin, sang ketua adat. Kami menyusuri jalan kecil yang dibangun oleh pemerintah dengan cor asapal yang lumayan kuat. Jalan itu merupakan jalan pintas menuju kawasan Borlapan, perkampungan Suku Anak Dalam. Menyenangkan jalan ini. Tapi aku merasa ada yang aneh dan hilang dari apa yang tengah aku lihat. Jalan-jalan menuju rumah Ketua Adat lebar dan luas, lumayan kering dan tidak begitu terjal. Cukup baik untuk membawa motor dengan kondisi terik dan membakar. Aneh sekali, padahal kami berada di tengah kawasan hutan lindung Hutan Raya.
Yang membuatku merasa kehilangan adalah sungai kecil, yang aku bahas habis dan penuh majas dalam novelku, kini tak berbekas sama sekali. Kering kerontang. Tak berjejak. Diganti dengan jembatan cor-coran semen yang ditambah dengan tanah diatasnya. Bahkan pohon bambu yang dulu aku ceritakan dengan penuh cinta dan keindahannya pun tidak ada jejaknya sama sekali. Bersih dan keringa total. Ohh, padahal aku sangat meridukan sungai dan jembata kayu panjang itu. Yang bentuknya berjelujur panjang dan bulat-bulat. Yang selalu membuat kakiku ngilu-ngilu setiap kali melewati jembatan itu.
Kami sampai didepan rumah wak Samin. Aku melihat ada pondok kecil didekat jalan. Cantik sekali. Rumah Pak Samin juga sudah berubah. Sudah besar dan lebih membaik. Tapi aku sungguh menggigil melihat Wak Samin. "Ya Allah..." beliau semakin kurus dan kecil sekali. Meski masih dengan semangat berceritanya seperti dulu, tidak ada yang berubah. bersemangat ketika bercerita, memberi penjelsan panjang lebar ketika ditanya. Meski semakin kurus tubuhnya. Terlihat semua tulang rusuk dan semua tulang tubuhnya.
Ya Allah...Aku sungguh sedih melihat kondisi ini. Bukankah yang kami perjuangkan adalah membuat mereka sejahtera. Berupaya agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. berupaya agar hal yang kecil yang kami lakukan ini bisa menambah penghasilan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tapi melihat kenyataan yang tengah aku saksiakn dengan mata kepalaku sendiri seperti ini aku sungguh terenyuh ya Allah. Rasanya apa yang telah kami lakukan ini masih sangat jauh sekali dari berarti untuk kehidupan mereka.
Yah, aku tahu. Aku tak harus selalu menyalahkan diriku sendiri. Sekecil apapun yang kami lakukan biarlah Allah saja yang menilai. Aku tidak tahan sebenarnya sore tadi untuk menahan perih hatiku. Menyakikan tubuh kurus Wak Samin. Pipinya yang semakin kempot dan kecil sekali. Beliau bilang sudah berhenti merokok. Aku sungguh iba melihat semua itu. Tapi apa yang bisa kami lakukan, kami baru bisa lakukan sejauh dan semampu apa yang kami bisa sejauh ini.
Ya Allah, kalau saja dunia tahu, dengan segenap indah dan keasliannya. Mungkin semua akan menjadi semakin berwarna dengan saling memberi. Kalau saja semua tahu apa arti dan definisi mengabdi, mungkin tak ada lagi pemandangan seperti yang aku saksiakan sore tadi. Tapi ini lah dunia, aku terkadang begitu negeri menyaksikan semua ini. Paradoks sekali. Ah entahlah...semua akan baik-baik saja insya Allah...
Apa pun yang kami lakukan, semoga ini baik insya Allah...
No comments:
Post a Comment