Reminder

"Beri aku pelajaran TERSULIT, aku akan BELAJAR" Maryamah Karpov

Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya, dan yang membuka pendengaran dan penglihatannya

Dengan daya dan kekuatan dari-Nya, maka Maha Suci Allah, Sebaik-baik pencipta

(Tilawah Sajadah)

Sunday, December 8, 2013

a Novel **the Haramain -Oh Dear my teacher-

Oh Dear my teacher...

Dan salju telah turun di Kotaku...
Sebenarnya telah aku kisahkan indahnya bahasa salju kepadamu, Meski itu sangat singkat, tidak cukup untuk aku gambarkan keajaibannya. Dan pagi ini serampung subuh aku tidak tahan untuk tidak melukiskan indahnya kotaku padamu.
Dari balik jendela ini aku akan kisahkan dengan riang gembira
Meski tidak ada PR menerjemahkan kalimat khusus darimu, 
tapi akan aku tulis catatan khusus ini untukmu. 
*** 

Kemaren sore Sabtu, 7 Desember 2013 sekitar pukul 15:00 waktu Turki, langit di kotaku gelap dalam gerak awan yang tenang. Anginnya tidak membunuh. Aku bahkan sudah berkali-kali bolak balik berdiri di depan jendela di sisi pintu kamar, membuka gagang pembukanya dan mengulurkan wajahku ke luar jendela. Memastikan bahwa salju belum akan turun. Dan memang yang tumpah dari langit adalah air hujan yang sempurna. Dingin. "Hemm, belum juga bersalju rupanya." Meski firasatku mengatakan tampaknya tanda-tanda langit menunjukkan bahwa malam ini akan turun salju. Langit Ankara belum pernah segelap ini sebelumnya. Aku mengenal dengan sangat baik perak dan jingga langit di kotaku ini. Karena hampir setiap fajar pada pukul 03:00 dini hari sebelum berangkat ke musola asrama, selalu aku sempatkan menyimak langit dari sisi jendela yang berada tepat di samping pintu kamar asramaku. Dan begitu seterusnya, pun serampung shalat subuh, setiap pagi menjelang berangkat ke kampus, setiap malam sebelum menuju ke kamar belajar, sepulang dari makan malam di kantin dan seterusnya. Khususnya di sore hari saat matahari perlahan tenggelam dan berjalan dengan tekun, bersembunyi di balik gedung rektorat kampus Gazi University yang berada di ujung jendela asramaku ini. Itulah sebabnya aku begitu mencintai langit kota tempatku belajar ini, sampai pada akhirnya engkau mampu membuatku jatuh cinta dengan cahaya langit pada sebuah benua di ujung langit sana. Kau kisahkan aku tentang air yang mengalir dari sebuah telaga yang jernih itu dengan segala payung-payung mahkotanya. Ah...sudahlah, jangan buat aku menjadi begitu sangat pencemburu.


Oh Dear my teacher
Hujan turun lebat kemaren sore, saat engkau memberiku nilai 120 dan 110 untukmu. Aku baru saja merampungkan shalat magrib dan menghabiskan setengah juz 26 dari tilawahku. Lalu memutuskan kembali ke kamar untuk merampungkan ketikan paper yang belum aku tuntaskan beberapa halaman. Aku menuruni anak tangga musola dengan menahan gelak tawa yang selalu tidak bisa aku sembunyikan, mengingat betapa menyebalkannya sifatmu itu. Dan seperti biasa aku akan dengan riang selalu menyempatkan membuka gagang pintu jendela, memastikan kembali bahwa langit masih setia menumpahkan hujannya. Tapi ternyata tidak untuk kali ini. Langit berhenti menumpahkan hujan, ia memerah keorangen, seperti sebuah warna cahaya ketika engkau menikmati matahari terbenam di sisi laut pantai pada sore hari. Mekar merah keorange-an. Sungguh betapa sempurna penciptaan-Nya. Sungguh warna yang sulit aku cari bagaimana mendeskripsikannya. Emmm, begini...jika engkau pernah duduk di sisi lereng gunung pada sebuah sore yang perdu, nah saat matahari tenggelam perlahan di seberang gunung yang tinggi menjulang itu, maka kau akan mampu melihat langit di atas gunung yang bersinar orange kemerahan. Arhghgh semoga kau faham maksudku. Punjika belum faham juga, maka aku yakin betapa orangenya langit pada sebuah negeri yang pernah kau kisahkan padaku itu. **maksaa. Sungguh warna langit yang tidak bisa aku definisikan hanya dengan jumlah 26 huruf saja. **grrrh

Perubahan warna dari awan gelap sebelum akhirnya turun hujan dan kemudian berhenti itu berlangsung sekitar kurang dari 1 jam. Aku bahkan dengan sangat kesalnya ingin sekali menumpahkan semua "kekesalanku" padamu, karena tidak berhasil menangkap sepasang mesjid di ujung sana pada kotak lensa kameraku secara fokus. Padahal aku sudah memotretnya belasan kali dari jendela di depan musola. Meski aku sudah berpindah-pindah berulang kali mencari posisi yang tepat, mulai dari jendela di dalam kamar, lalu jendela di sisi pintu kamar, pun terakhir jendela di depan musola. Aku sungguh sangat kesal tadi malam. Kau tahu sendiri memotret adalah kegemaranku yang tidak pernah habis setelah menulis dan belajar memainkan alat musik, maka aku ingin mencatat bila takdir Nya membawa bahwa pada suatu saat engkau bersamaku aku berdo'a semoga engkau menjadi orang yang paling bersabar menemaniku sampai aku menyelesaikan dengan hasil yang sempurna dan dengan perasaan yang puas menurut versiku. **uhuk uhuk uhuk takdir yang mana Neng, yah yang mana-mana aja dah. **namanya juga nopel, campur-campur dah imajinasinya, apa pun semoga baik in sha Allah. Sekali lagi menulis dan memotret adalah dua hal yang kebutuhannya nyaris seperti udara. Semoga engkau maklum dan mafhum dengan kegemaranku ini. Sama halnya seperti kegemaran-kegeramaranku lainnya, pun memperhatikan perubahan warna langit yang menjadi merah keorangean tadi malam. Yang pada akhirnya, langit di ujung sana dengan penuh suka cita mengganti air hujan dengan salju yang turun perlahan, berterbangan nyaris seperti kapas. Menyentuh sempurna di ujung hidungku. Nyesss, dingin sekali.

Oh Dear my teacher...
Semalam penuh salju turun dikotaku. Meski begitu, teman-teman kamar asrama tetap dengan riangnya berdandan. Memoles wajahnya, mendandani rambutnya. Memakai jaket, mengenakan sepatu boot, memasang syal leher, topi wool dan perlengkapan pakaian dingin lainnya. Saat aku tanyakan "Büşra ama dışarıda hava çok şoğuk, şimdi kar yağıyor değıl mı? Büsra di luar sana udara sangat dıngın, bukankah sekarang sedang turun salju dengan lebat?" Busra menjawab bahwa ia akan bertemu dengan temannya pada libur pekan malam minggu tadi malam. Aku tersenyum dengan pemahaman yang sangat utuh tentu saja. Karena memang setiap libur akhir pekan asrama akan menjadi sepi. Khususnya kamarku, teman-teman Turkiku terbiasa menikmati akhir pekan dengan berlibur atau jika tidak mereka akan menghabiskan waktu di pusat kota Ankara, Kizilay. Akhirnya sempurnalah aku menghabiskan malamku dengan menikmati meteor-meteor salju yang turun dari langit seorang diri dengan duduk di sisi jendela kamar lantai 8, kamarku. Dan sekali lagi tentu saja engkau selalu menjadi teman terbaik yang mau mendengarkan aku mengisahkan keajaiban-keajaiban bagaimana indahnya perubahan warna langit yang berubah dengan begitu cepat. Juga bagaimana aku berulang kali mengatakan padamu bahwa sedang turun salju di kotaku. Meski sebenarnya aku sudah mengatakan "di kotaku sedang turun salju" sekali saja. Tapi rasanya tidak puas hanya dengan mengatakan dan mengabarkannya hanya dengan cukup sekali saja padamu. Maka aku katakan berulang kali bahwa di kotaku sedang turun salju berkali-kali. Dan sekali lagi engkau selalu dengan tenang menjadi pendengar yang baik. "memangnya kenapa jika hujan salju?" Menanggapi dengan tenang semua kegembiraan dan luapan riangnya hatiku menikmati  hujan salju di luar sana. *engkau siapa sih, yah maksudnya si haramain, buku harian gitu dah, xixi. namanya aja catatan harian.

Oh Dear my teacher...
Pagi ini aku tidak tahu berapa derajat dinginnya suhu di balik kaca jendela sana. Yang pasti saat aku terbangun pada pukul 04:00 fajar dan mengambil wudhu untuk lail, serampung berwudhu aku menggigil hebat. Seperti saat aku menggigil karena lupa memakai jaket beberapa tempo hari yang lalu. Tapi kali ini lebih hebat. Astaghfirullah, sungguh mengerikan! Entah berapa derajat sebenarnya di luar sana. Masya Allah dinginnya benar-benar membunuh dan memasung tulang-tulang sum-sumku. Aku berlari menyusuri dua anak tangga musola dan segera meraih rok shalat dan sajadah. Berdiri berpindah-pindah bermaksud shalat di sisi kalori musola. Sayang sekali kalori musola tidak dinyalakan. Sementara kakiku sudah menggigil hebat. Akhirnya tetap aku paksakan shalat dengan berdiri di atas sajadah tepat di bawah lampu. Aku berharap lampu musola akan mampu membantu menghangatkan tubuhku. Sampai akhirnya aku merampungkan beberapa rakaat dan pada rakaat salam yang kedua aku sungguh betul-betul tidak sanggup lagi berdiri. Dinginnya luar biasa. It's killed me. Membunuh!!! Aku tuntaskan beberapa rakaat tersisa dengan duduk. Meski akhirnya aku tutup kembali dengan berdiri dan lalu berlari menuju kamar, segera bersembunyi di bawah selimut.

Serampung menghabiskan subuh, aku kembali berdiri di depan jendela di sisi pintu kamar. Memastikan warna langit di ujung sana, masya Allah, masya Allah, subhanallah. Hujan deras salju semalam menyisakan kapas yang di atas atap-atap kota Ankara memantul putih bersih. Sempurna. Semua tenang dalam selimut dzikir sisa hujan salju semalam. Kota Ankara menekuri basah dzikir langit. Belum bergeliat pada pukul 06:30 pagi ini. Pepohonan rimbun duduk dengan tenang menekuni suhu yang tidak aku ketahui minusnya. Ia tidak terlihat menggigil sepertiku tadi fajar. Aku memastikan bahwa suasana masih tenang dan sepi. Asrama juga sepi sekali. Bahkan tidak ada satu pun suara gaduh, meski itu hanya suara gemericik air dari kran labova [kamar khusus mencuci tangan dan tempat biasa berwudhu]. Semua tenang seperti tengah menikmati rimbunnya sisa-sisa dzikir salju semalam. Kau tahu indahnya kota Ankara pagi ini? Dan tentu saja aku tidak akan membiarkannya berlalu begitu saja tanpa membuat catatan khusus pada buku harianku -the haramain

Dan yang sangat menarik hatiku adalah meski semua berada dalam sunyi tapi bendera dengan warna merah dan berlogo bulan dan bintang di atas puncak menara rektorat kampus Universitas Gazy tetap berkibar dengan gagahnya. Ini pertanda bahwa di luar sana langit bertiup kencang. Pasti dingin sekali. Aku menyempatkan bebepara kali memotret dari berbagai sisi. Subhanallah, jika ada kata yang mampu mewakili kata "indah" aku sungguh ingin menggantinya dengan bahasa yang lain. Hemm mungkin aku boleh meminjam kata "Ghaliy" milikmu itu untuk mewakili betapa "mahal" nya perasaanku ini. Aku jadi berfikir mengapa Allah memberikan pemandangan perubahan musim yang sangat menarik dan ber-miracle-an di hati ini? Mengapa tidak diciptakannya dingin sepanjang tahun di seluruh dunia, mengapa tidak diciptakannya panas sepanjang tahun atau cukup musim semi saja di sepanjan tahun, mengapa ada perubahan musim yang setiap perubahannya selalu mampu membuatku jatuh cinta pada-Nya. Entahlah, semoga engkau mampu membantuku mendefinisikan penciptaan yang tidak terbantahkan ini. Memahami ayat-ayatNya dengan baik dan tentu saja aku tidak perlu khawatir lagi keliru karena persepsi dan penafsiranku yang aneh dan selalu membuatku senyum-senyum sendiri. Menertawakan betapa dangkalnya ilmuku ini. Sungguh sangat menggelikan. Oh Dear my teacher...sekali lagi, lekaslah engkau pulang dan segera membuka jendela di seberang benua sana. kasihan si Van Kedisi **pulang kemana neng? #kemana aja dah. Geje :D. Wallahu'alam bishowab.

***
Sakura Romawi Timur, 
Ankara, 08 Desember 2013
Salju selalu menyisakan kisah khusus di hatiku

**Notes CUPLIKAN -the Haramain- Semua kisah dalam catatan ini adalah hak dari penulis. Pun juga foto-foto yang ada di dalamnya adalah hasil karya dari penulis. Do'akan aku dalam sujudmu, agar dimudahkan dan istiqomah merampungkannya dengan ketekunan. in sha Allah.**uhuks uhuk uhuk Sekali lagi sedang GEJE di musim salju.






2 comments:

Anonymous said...

Bagus cuy, cuma entah kenapa saya skip baca-nya. Mungkin ada yang perlu sedikit dikoreksi.

# gpp ya sadis dikit koemntarnya biar novelnya jadi bagus :)

Evi Marlina said...

banyak2in kasih koreksinyaa dunk cuuy, cuuy whats upp ya cuuy...mmuaah chayank ukhti. loph is u cuy :D