Reminder

"Beri aku pelajaran TERSULIT, aku akan BELAJAR" Maryamah Karpov

Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya, dan yang membuka pendengaran dan penglihatannya

Dengan daya dan kekuatan dari-Nya, maka Maha Suci Allah, Sebaik-baik pencipta

(Tilawah Sajadah)

Thursday, July 2, 2020

Melukis Cahaya di Langit Kota Ankara

Melukis Cahaya di Langit Kota Ankara

Foto: Langit Kota Ankara pada satu musim dingin

“Ankara'ya hoşgeldiniz.” Suara dari kondektur bis terdengar setengah berteriak memberikan pengumuman berulangkali kepada penumpang bis, bahwa bis yang kami tumpangi telah tiba di terminal ASTI. Sebuah terminal dengan warna gedung keperakan, gaya bangunan khas Eropa. Semburat cahaya langit abu perlahan menyeruak menerbitkan hari. Merekahlah pagi dimusim dingin yang misteri itu. Aku setengah memicingkan kedua mata, memandang setengah kuyu pada orang-orang dan keadaan sekeliling, dengan tatapan yang tidak aku mengerti. Hanya tubuhku saja yang bisa menerjemahkan bahwa perjalanan ini terasa begitu penat, lebih tepatnya membosankan. Hampir kurang lebih 7 jam perjalanan aku bersama Anne dan Ayah menghabiskan waktu hanya dengan duduk di dalam otobus, sebuah bis besar bertuliskan Pamukkale, pada badan bis. Orang-orang disini menyebut bis dengan sebutan otobus.

Otobus besar yang kami tumpangi perlahan bergerak melambat, mengambil posisi di jalur parkir sesuai dengan urutan no peron gedung terminal. Ramai hiruk-pikuk suara orang-orang di terminal, berteriak-teriak dan melambai-lambaikan tangan kesana kemari dengan wajah setengah cemas, setengah letih dan setengah bercahaya. Mungkin keluarga dari para penumpang otobus yang datang menyambut, atau juga mungkin musafir yang tengah singgah untuk kemudian meneruskan perjalanan. Ditambah lagi suara lantang dari para pedagang roti simit dan pedagang teh panas keliling, suasana pagi yang dingin itu semakin terasa sangat berisik.

Anne duduk mememelukku erat, wajahnya terlihat setengah tegang sebentar-sebentar menatap ke jendela, entah apa yang sedang diperhatikannya. Dibuntalnya badan dan kepalaku dengan topi dan selimut berbahan wol. Dibungkus pulalah hidungku dengan melilitkan syal tebal pada leher. Sekuat tenaga tangan kecilku mencoba berontak, menolak untuk menutup hidung. Namun dengan cekatan pula Anne kembali membetulkan posisi selimut yang membuntal tubuh serta syal yang menutup hidung gadis kecilnya. Sementara tanganku masih saja terus bergerak, menarik-narik syal yang menutup hidung. Akhirnya Anne membiarkan hidungku terbuka begitu saja. Barangkali Anne kasihan pula melihatku tidak nyaman dengan kain-kain yang melilit itu.

Anne menggendongku didadanya, seperti seekor Ibu kangguru yang menggendong bayi kanggru dikantungnya yang hangat. Tangan kanannya mencengkeram kuat sebuah buntalan tas ransel, sementara tangan kirinya menjinjing kopor kecil. Anne berdiri mengambil antrian dibarisan para penumpang otobus. Sementara Ayah masih sibuk menurunkan tas ransel dari dalam kabin. Perlahan kami berjalan menuju pintu luar. Penumpang turun satu persatu meninggalkan otobus. Hufft, aku menghembuskan nafas lega, akhirnya terbebas dari ruang dan perjalanan panjang yang membosankan ini.

Anne baru saja menginjakkan langkah pertamanya dari pintu otobus, tiba-tiba udara dari luar otobus sekonyong-konyong memberondong hidung kecilku. Lalu, tumpang tindih berkelindan disana-sini menyelinap masuk ke sela-sela daun telinga, menerobos sekuat tenaga menyumpal rongga hidung. Hidungku terasa dihimpit oleh ribuan es serut yang dingin. Kepalaku terasa pusing, berputar-putar seperti gasing. Dan sayangnya aku tetap tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya memandang keramaian dan situasi yang tidak aku mengerti pagi itu.

Dalam suasana hidung yang terasa aneh, tiba-tiba mataku menangkap sekawanan awan tengah menari-nari di ujung langit. Mula-mula ia hanya segumpalan awan yang bentuknya mirip bunga matahari, lalu berputar-putar dan terbang kesana-kemari dan mejelma menjadi seekor beruang kutub raksasa berwarna putih. Beruang berbadan besar itu tengah bermain gembira, berayun-ayun diantara tiang-tiang langit yang tinggi besar. Beruang raksasa itu bergerak mendekat, lalu dengan lembut hidungnya yang berwarna hitam menyentuh permukaan hidungku. Perlahan aku merasakan sentuhan hangat dari hembusan nafas yang keluar dari hidung beruang. Aku tersenyum girang merasakan hangat hidungnya, berharap bisa bermain bersama beruang raksasa lalu aku bisa melompat-lompat ditubuhnya yang hangat di ujung langit sana. Dalam suasana senang memperhatikan beruang di langit, sayup-sayup terdengar suara lembut berbisik ditelingaku, “alhamdulillah, kita sudah sampai di kota Ankara, Nak.” Suara itu tiba-tiba menyibak tubuh beruang di langit sana. "Oh itu suara Anne." Aku kembali memandang sekeliling dengan mata yang sayu.

Kami bergegas menepi ke dalam gedung terminal. Ayah dan Anne berjalan cepat-cepat dibuntuti seorang pria bertubuh tinggi menjulang. Sorot matanya tajam dan besar, ditambah pula rahang wajahnya yang lebar, serta hidungnya seperti paruh burung elang, lancip dan melengkung. Entah apa yang diteriak-teriakkannya kepada Anne dan Ayah berulangkali, seperti tengah memaksakan sesuatu. Anne dan Ayah tidak bergeming sedikit pun menanggapi ocehan pria jangkung itu. Hanya suara Anne yang sesekali menjawab galak disela-sela matanya yang sibuk kesana-kemari “hayııır yaaa, istemiyorum,” begitu jawab Anne berulang kali. Akhirnya pria bertubuh tinggi dan besar itu meninggalkan kami bertiga dengan suara yang mengomel kesana-kemari.

Anne dan Ayah membawaku ke dalam sebuah kafé yang terletak di dalam gedung terminal. Kafe itu berwarna orange cerah, didepan kafe bertuliskan merk Et Lokantasi. Anne memesan dua cangkir teh panas dan semangkuk sup kentang. Setelah teh dan sup yang dipesannya tiba, dengan terburu-buru pula Anne menyendoki teh panas yang wangi itu, mengipas-ngipasnya sejenak dengan selembar kertas menu, lalu meminumkannya kepadaku. Dengan cepat teh hangat dengan harum aroma bunga Papatya menghangatkan perutku, kedua pipi dan hidungku pun terasa mulai hangat, dengan cepat pula pipiku kembali berwarna kemerahan. Ayah dengan cepat menyeruput teh hangat dan menghabiskan semangkuk bubur kentang yang dicolek-colek dengan beberapa potongan roti gandum. Berulangkali pula ayah menyuapiku sobekan roti yang telah dicelupkan kedalam bubur kentang. Usai menikmati sarapan hangat yang singkat, kami kembali bergegas meninggalkan kafé, menjauhi gedung menuju area parkir mobil taksi.

Taksi berwarna kuning itu melesat secepat kilat. Membawa kami bertiga meninggalkan terminal ASTI yang berisik di pagi dingin. Menembus perkasanya jalanan raya yang masih lengang sepi. Daun-daun pepohonan disepanjang jalanan terlihat merunduk kedinginan. Tidak tampak satu pun bunga yang mekar. Jalanan terasa sunyi, burung-burung kota menggigil diantara pepohonan sunyi. Hanya deru suara angin yang berbisik kencang dari balik kaca mobil. Naik turun mobil taksi yang kami tumpangi menyusuri jalanan raya pagi. Berdesir-desir pulalah dadaku sebab kencangnya laju taksi. Anne memberiku sebotol susu hangat yang tadi diisinya saat di kafe terminal. Aku sesap-sesap air susu dari botol itu dengan perasaan yang cemas. Namun pelukan Anne segera mengusir rasa takutku. Aku merasa tenang dan aman berada dalam pangkuan Anne, meski tanpa sepatah suara pun yang keluar dari bibir Anne dan Ayah di dalam mobil taksi. Entah apa yang tengah difikirkan keduanya. Aku tidak tahu. 

Kami melewati jalan-jalan besar tanpa suara, naik turun melewati jalanan yang curam. Hingga, selang beberapa menit kemudian sampailah kami disebuah gedung apartemen bercat orange batu bata dengan ornament keramik berwarna biru tua. Keramik itu bergambar kembang tulip yang dilukis seperti hasil seni ebru, yaitu ketrampilan seni melukis di atas permukaan air. "Alhamdulillah," akhirnya aku mendengar suara Anne dan Ayah bergumam mengucapkan tahmid dan takbir berulangkali. Ada cahaya yang merona bersemburat dimata Anne. Aku menghembuskan nafas lega, senang tak karuan melihat cahaya matanya. Inikah kota spesial yang seringkali diceritakan Anne kepadaku berulangkali itu? Inikah kota dimana aku akan menemani Anne melukis cahaya di kanvas langit kota itu? Ya selamat datang di rumahku yang baru, Ankara.

Evi Marlina
Depok, 2 Juli 2020


#OWOW
#OneWeekOneWriting
#IbuProfesional
#IbuProfesionalDepok
#RumbelMenulis
#IPDepok

No comments: