Namun sebagian besar lainnya warga perkampungan telah bergegas meninggalkan rumah, bahkan sejak sebelum tiba waktu shalat subuh. Dengan mengendarai sepeda warga berduyun-duyun menuju ladang karet. Sebagain besar warga desa bekerja dengan menderas pohon
Hanifa dengan baju seragam merah putihnya sudah tampak rapi. Gadis berparas putih, agak kurus dengan alis tebal dan hidung mancung itu tengah berdiri di depan cermin. Ia mengenakan jilbab putih persegi empat yang dilipat menjadi bentuk persegi tiga. Dengan seksama dan penuh hati-hati ia kenakan jilbab yang bagian tepinya dihiasi sulaman bunga itu. Memastikan tidak ada bagian yang mencong.
Usai bersiap, Hanifa menuju warung emaknya yang letaknya di samping rumah. Warung emaknya juga masih tertutup rapat. Hanya bagian pintunya saja yang sedikit terbuka. Pertanda emaklah yang membukanya di pagi hari. Mungkin, ada tetangga yang berbelanja gula dan kopi sebelum berangkat ke ladang.
Hanifa mengambil sepeda dan mengeluarkannya dari dalam warung. Sepeda berwarna kuning dengan model terbaru. Itu adalah sepeda hadiah dari Bapak saat ia mendapat rangking 1 di kelas. Meski ia harus menggunakan sepeda itu secara bergantian dengan adiknya yang masih duduk di kelas 3 SD.
Alangkah gembira dan semangatnya Hanifa menjemput hari-harinya untuk berangkat ke sekolah dengan sepeda baru. Sepeda bertuliskan bicycle pada bagian tube tengahnya itu tampak sangat keren.
Hanifa mendorongnya dan bersiap berangkat ke sekolah. Pagi ini ia akan berangkat ke sekolah lebih pagi, karena ia bertugas piket kelas. Ia tidak ingin terlambat datang ke sekolah karena harus menunggu si Oki yang sangat lambat untuk bangun pagi.
Sejak semalaman dia sudah membuat pengumuman pada seluruh isi rumah bahwa besok ia harus bangun pagi-pagi sekali, karena ada jadwal piket kelas. Oleh sebab itu, ia tidak mau menunggu adik bungsunya yang dipanggil Oki itu, untuk berangkat sekolah bersama. Karena pasti akan terlambat masuk.
“Pokoknya, besok Hanifa berangkat sekolah duluan,” suaranya berteriak sengit saat Oki kekeuh harus berangkat sekolah dengan bersepeda bersama.
“Tapi, kan itu sepeda kata Bapak buat kita pakai berdua Mbak,” suara Oki tak kalah sengit.
“Ya udah, pokoknya kalo besok nggak bangun pagi-pagi Mbak berangkat duluan,” Hanifa memberi ultimatum pada adik bungsunya.
Akhirnya Oki hanya bisa bersungut-sungut meninggalkan ruang tengah. Lalu pergi keluar rumah saat seorang temannya datang memanggil. Huft, akhirnya Hanifa menghembuskan nafas lega. Setidaknya berakhir sementara perdebatan malam itu dengan adik laki-lakinya yang keras kepala itu.
***
Hanifa pamit berangkat ke sekolah setelah berpamitan dengan emak yang masih sibuk mencuci piring. Ia terbiasa berangkat ke sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu. Emak memberinya uang saku Rp. 500. Dengan uang itu ia biasanya menggunakan sebagiannya untuk membeli sarapan di kedai sekolah. Serta menabung sebagian lainnya untuk membeli keperluan atau mainan yang dia inginkan.
Dengan mengayuh sepeda Hanifa berangkat ke sekolah. Menyusuri jalanan berkerikil yang naik turun. Melewati rumah-rumah penduduk yang perlahan mulai ramai menyetel suara dengan volume tinggi dari tape recorder.
Hanifa megayuh sepedanya dengan semangat. Satu dua ia mulai bertemu anak-anak desa yang berjalan kaki menuju sekolah. Beberapa kali ia melemparkan senyum kepada anak-anak yang dia kenal.
Warung-warung desa sudah mulai terbuka, pertanda malam yang gelap sudah betul-betul pulang. Sesekali Hanifa melambatkan sepedanya dan menyapa tetangga yang tengah membuka warung. “Mari Budeee,” sapa Hanifa dari atas sepeda, meluncur meninggalkan jalanan yang belum diaspal.
“Oh ya, mau ke sekolah ya Hanifaa,” jawab ibu paruh baya yang disapanya.
***
Setibanya di sekolah, Hanifa segera bergegas menuju ruang kelas. Pintu kelas sudah terbuka. Namun, belum terlihat batang hidung teman-temannya yang mendapat giliran piket kelas. Hanya ada salah seorang temannya yang baru saja datang dan menjatuhkan badannya di kursi. “Kau piket hari ini Hanifa?” tanyanya sejurus kemudian.
Hanifa yang disapa tak menjawab. Matanya sibuk mengecek nama-nama temannya di jadwal piket kelas. “Kasihan betul lah kau ni, kenapa pula datang pagi-pagi, hahaha,” ledek teman kelasnya, seorang anak laki-laki dengan kulit pekat dan berambut kribo.
“Terserahlah, aku nak berangkat pagi.” Galak suara Hanifa menimpali teman kelasnya itu.
“Galak nian kau ni Hanifa,” timpal suara temannya.
Hanifa mengambil sapu yang ada di lemari kelas, lalu mengeluarkan ember, dan beberapa peralatan piket lainnya.
Kemudian ia mengangkat kursi-kursi di deretan barisan paling ujung. Mengangkatnya ke atas meja. Hal ini dilakukan agar memudahkan ketika menyapu lantai sekolah. Sekolah Hanifa adalah sebuah sekolah negeri dengan bangunan gedung yang terdiri dari 6 kelas, 1 ruang kantor guru, 3 kamar toilet sekolah yang letaknya terpisah.
Bangunan gedung sekolah itu sudah tampak lusuh dan tua. Sebagian besar warna catnya sudah memudar. Ditambah kaca-kaca jendela bagian depan yang telah banyak lepas, sehingga hanya menyisakan kerangka besi. Sementara jendela bagian sisi belakang hanya di tutup dengan jaring besi. Kemudian setengah dari jendelanya di tutup dengan kain hording.
Belum lagi lantai kelas, hampir sebagian besar lantai yang di lapisi semen itu berlubang disana-sini. Sehingga menghasilkan debu-debu ringan yang berterbangan. Maka untuk mengurangi debu di dalam kelas, setiap petugas piket setiap pagi sebelum jam pelajaran di mulai, atau saat jam istirahat ke-2 petugas piket kelas berkewajiban pula menyiram bagian lubang agar tanah menjadi basah.
Saat sedang mengangkat kursi-kursi itu seorang diri, datanglah teman-teman yang bertugas piket satu persatu.
“Hanifa, maaf ya. Aku bangun kesiangan pagi ini,” kata seorang anak perempuan yang rambutnya di kuncir tengah.
Hanifa melayangkan senyum pada teman kelasnya. Mereka membersihkan kelas dengan penuh semangat pagi itu.
Usai membersihkan kelas dan cuci tangan, Hanifa menuju kantin sekolah. Masih menyisakan 15 menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi.
Hanifa menuju kedai Mbah Goprak bersama Sri, teman piket kelasnya. Mbah Goprak adalah seorang nenek tua yang sangat cerewet namun baik hati. Mbah Goprak menjual lontong dengan sayur nangkanya yang sangat lezat. Apalagi jika disantap dengan bakwan goreng dan segelas bubur kacang hijau.
Sebenarnya kedai yang digunakan Mbah Goprak untuk jualan bukanlah kedai miliknya. Melainkan sebuah gardu pos kamling RT yang dibuat dari papan. Setiap pagi, Mbah Goprak memanfaatkan gardu itu untuk menggelar dagangan lontong sayur.
Ya, itulah sarapan Hanifa setiap pagi. Emak memang tidak menyiapkan sarapan pagi khusus di rumah. jadi Hanifa memutuskan untuk sarapan di sekolah setiap pagi.
Maka dengan uang saku pemberian emak itulah, pada setiap pagi ia bisa menikmati sepiring kecil lontong sayur, lengkap dengan sepotong bakwan dan bubur kacang hijau.
Terisilah perutnya yang keroncongan sejak pagi. Lontong racikan Mbah Goprak memang sangat lezat.
Tak lama kemudian terdengar suara lonceng berbunyi 3 kali. Bergegas pulalah ia dan Sri menuju kelas setelah membayar dengan beberapa lembar ratusan.
Hanifa menuju ruang kelas. Bersiap menyambut pelajaran pertama di hari Selasa, yaitu pelajaran Bahasa Indonesia favoritnya.
***
Hanifa menyerahkan buku yang disampulnya dengan plastic sisa bungkus sabun kompas. Dengan gembira ia serahkan pada Bapak Zein. Bapak Zein membaca tugasnya dengan seksama. “Bagus tulisan kamu Hanifa,” puji suara Bapak Zein. Lalu meminta Hanifa membacakannya di kelas.
Ya mata pelajaran bahasa Indonesia. Bapak Zein memberikan tugas untuk menulis/mengarang cerita. Hanifa membacakan karangannya di depan kelas. Ini merupakan karangan terpanjangnya untuk yang pertama kali. Ia menulis karangan berjudul “Manfaat Membaca.” (berlanjut)
Evi Marlina
#Pekan6 #berqurban
No comments:
Post a Comment