Reminder

"Beri aku pelajaran TERSULIT, aku akan BELAJAR" Maryamah Karpov

Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya, dan yang membuka pendengaran dan penglihatannya

Dengan daya dan kekuatan dari-Nya, maka Maha Suci Allah, Sebaik-baik pencipta

(Tilawah Sajadah)

Thursday, July 9, 2020

Nejmiyye, Hosgeldiniz!

Nejmiyye, Hosgeldiniz!


Ayah menurunkan 2 bagasi besar, 1 kopor kecil dan dua tas ransel dari mobil taksi, lalu menyiapkan kopor-kopor super besar itu untuk dibawa masuk ke dalam calon rumah kami. Anne menyerahkan selembar uang lira kepada sang supir taksi. Kemudian taksi itu meluncur meninggalkan kami bertiga. 

Cuaca sangat dingin pagi itu, keadaan sekeliling terasa sangat asing. Suasana kawasan apartemen, jalanan, gesekan angin, dan warna langit terasa berbeda. Bahkan suasana pagi itu tidak tampak batang hidung manusia pun yang lewat di jalanan. Sementara di ujung sana langit masih saja muram dengan warna kelabunya. Rerumputan merunduk bersembunyi dari dinginnya angin musim dingin.

Tak lama berselang terdengar derit pintu gerbang apartemen terbuka. Berdiri seorang perempuan paruh baya dengan perawakan agak gemuk dengan jilbab kaosnya yang berwarna hijau. Disampingnya berdiri seorang laki-laki dengan wajah dan perawakan khas Turki, tersenyum hangat menyambut kedatangan kami. “Hosgeldiniz, welcome to Ankara” kata suara seorang laki-laki yang berdiri di sisi perempuan itu. 

Anne menyalami perempuang paruh baya dan saling berpelukan. Anne memberi tahu, agar aku memanggilnya dengan panggilan Nine Feride. Ya, seorang perempuan Indonesia yang menikah dengan pria berkebangsaan Turki, bernama Adnan Bey. 

Nine Feride sudah lama menikah dengan Adnan Bey, sudah kurang lebih 12 tahun usia pernikahan. Bahkan Nine Feride telah resmi pula pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Turki, meski lahir dan tumbuh besar di Indonesia.   
             
Ada rasa kelegaan yang menyelimuti hati, saat mengetahui ada yang menyambut kedatanganku, Ayah dan Anne. Adnan Bey membantu Ayah mengangkat kopor-kopor kami ke dalam apartemen. Kami masuk ke dalam gedung apartemen yang beraroma dingin, lalu menuruni anak tangga menuju lantai bawah dimana kami akan menempati salah satu pintu dari apartemen. 

Kami tinggal di lantai paling bawah, underground. Suasana di lantai paling bawah menjadi agak gelap, sebab tidak banyak cahaya yang masuk. Hanya lampu sensor gedung pada tiap lantai dengan cahaya remang berwarna orange menjadi lampu penerang. Di lantai bawah ini terdapat tiga pintu apartemen, satu pintu dimana Nine Feride dan suaminya tinggal di lantai yang sama dengan pintu apartemen yang akan kami tinggali, pintu rumah seorang tetangga dan satu pintu lagi dimana aku dan Anne akan menempati apartemen yang sangat kecil itu. 
Apartemen yang akan kami tinggali ini sebenarnya adalah rumah yang disediakan oleh apartemen sebagai tempat tinggal Kapici, yaitu rumah penjaga kunci apartemen.

Namun kata Nine Faride, sudah hampir 3 bulan ini rumah penjaga apartemen ini kosong, tidak bertuan. Sehingga suami nine selaku kepala apartemen ini berinisiatif agar rumah ini digunakan sebagai rumah sosial yang disewakan secara cuma-cuma untuk membantu mahasiswa. 

Akhirnya sampailah berita itu kepada Anne, maka Anne dengan cepat mengambil kesempatan baik itu. Ya, Anne hanya membayar sewa apartemen yang terdiri dari 1 kamar, 1 ruang tamu, dapur dan kamar mandi senilai 250 lira setiap bulannya, diluar biaya listrik, air dan gas. 

Sebagai mahasiswa yang pemasukannya hanya dari beasiswa, tentu saja Anne merasa sangat bersyukur, sebab Anne betul-betul mengandalkan uang beasiswa dan kiriman dari Ayah untuk memenuhi kebutuhannya, Ayah juga masih berstatus sebagai seorang mahasiswa rantau. Anne dan Ayah hidup dengan sangat sederhana.

Kami bertiga memasuki apartemen kecil itu diliputi perasaan asing dan sepi. Tidak ada apa-apa di dalam apartemen, kecuali 3 kursi lipat kecil milik Nine Feride, satu lemari bufet usang peninggalan penghuni rumah sebelumnya, sepasang kasur yang terdapat di kamar tidur beserta selimut yang dipinjami oleh Nine Feride, kompor yang sudah terpasang dengan saluran gas yang terpusat, dan beberapa perabot dapur yang semuanya adalah perabot yang dipinjamkan oleh Nine Feride. Lantai apartemen belum dilapisi oleh karpet, sehingga Anne tidak melepaskanku dari gendongannya.

Nine Feride menyambut kami bertiga dengan sinar mata yang bercahaya, menyambut hangat serta menyediakan nasi putih, sup ayam dan beberapa potong ayam goreng yang sudah siap disantap di meja dapur. Kami mengobrol sebentar, lalu diberitahunya tentang apa-apa yang ada di dalam rumah, juga dimana tempat kami bisa berbelanja kebutuhan musim dingin dan kebutuhan dapur. 

Nine Feride dan suaminya kemudian pamit meninggalkan kami, dan meminta kami untuk tidak sungkan menelponnya bila membutuhkan bantuan. Tinggallah aku, bersama Ayah dan Anne di rumah baru dengan lantai dan dinding rumah yang sangat menggigil dingin itu. Anne meletakkan tubuh mungilku di atas kasur yang terasa menggigit. Aku duduk meringkuk dilapisi jaket dan selimut disana-sini. Tidak pula bisa bermain-main dilantai sebab lantai belum dilapisi karpet. Lantai yang terbuat dari bahan kayu itu nyaris seperti es.

Dipojok kamar, Ayah sibuk mengeluarkan berbagai kebutuhan musim dingin dari dalam kopor. Selembar selimut wol, jaket, sarung tangan dan kaus kaki yang dibawa Ayah dari Indonesia. Sementara Anne memanaskan masakan di dapur. Perlahan sampai pula dipintu hidungku wangi aroma nasi putih, sup ayam dan ayam goreng yang terasa menggiurkan, juga aroma teh daun ihlamur dari ruang dapur. 

Dapur rumah berada pada bagian tengah, terletak diantara ruang kamar dan ruang utama. Sementara di kamar Ayah mengelap tubuhku dengan air hangat, lalu mengoleskan minyak kayu putih di perut dan punggung. Menambah kaus kaki dan tetap memakaikan topi wol. Usai membersihkan badan, Ayah membawaku ke dapur. Kami bertiga menikmati teh panas di dapur yang kecil dan perlahan mulai terasa hangat.

Didapur tidak banyak perabot, hanya terdapat beberapa perabot utama yang dipinjamkan oleh Nine Feride, setidaknya untuk bertahan pada minggu pertama kami tinggal di kota ini. Dipojok dapur terdapat jendela yang sudah ditutup dengan tirai putih, dari balik jendela itu kami bisa melihat bangunan apartemen tetangga. Cahaya masuk dari jendela dapur. Di sisi jendela terdapat mesin kombi pemanas ruangan. Dengan mesin kombi itu kami bisa mengatur panas suhu ruangan. Namun sayangnya, suhu kombi itu belum kami fungsikan sebagaimana mestinya, sebab kami harus mengisi kombi dengan gas yang cukup terlebih dahulu. Di dapur terdapat lemari buffet kecil yang menempel pada dinding. Di dalam buffet itu terdapat beberapa piring, gelas dan mangkuk. Sementara di sisi tempat mencuci piring terdapat 1 set kompor. Kompor itu Anne peroleh setelah terlebih dahulu meminta tolong kepada Nine Feride untuk membantu membelikannya sebelum Anne tiba dan tinggal di apartemen ini.

Kami duduk bertiga di dapur yang sederhana itu, sebuah meja makan dan dua buah kursi menjadi pelengkap dapur mungil ini. Anne dan ayah duduk di kursi masing-masing, sementara aku duduk dipangkuan ayah yang kekar dan nyaman. Ayah menyuapi teh hangat padaku. Seketika ada aliran udara hangat yang mengalir dan sampai diperut. Tubuhku juga mulai terasa lebih hangat di dapur ini, sebab api yang menyala dari kompor dapur. Anne menjerang air panas untuk membuat susu. Setelah cukup makan dan minum teh hangat kami beristirahat sejenak di kasur kecil. Kasur itu terdiri dari dua kasur kecil yang dipadukan sehingga menjadi lebar. Terdapat selimut tebal yang terasa sangat dingin melapisi kasur, selimut ini akan terasa hangat ketika aku sudah lama berada didalamnya. 

 Sungguh, apartemen ini terasa begitu asing dan dingin, aku lihat Anne sangat sibuk kesana kemari menyusun pakaian-pakaian dan menyapu ruangan. Lalu duduk sejenak dengan mata yang gelisah, entah apa yang tengah difikirkan Anne. Mungkin resah sebab rumah ini terasa begitu dingin, mungkin Anne mengkhawatirkankku. Sementara Ayah sudah tertidur lelap, aku melihat wajah Ayah tampak sangat kelelahan. Sementara aku masih saja bermain di atas kasur kesana kemari, Anne memberiku mainan yang dibawa dari pesawat. Aku menulis-nulis di papan kecil pemberian dari petugas maskapai dalam perjalanan dari Indonesia menuju Istanbul. 

Usai shalat ashar, Anne dan Ayah membawaku keluar apartemen. Kami menyusuri jalanan yang lengang di sore yang dingin. Menuruni jalanan yang curam menuju market. Ya, Ayah dan Anne akan membeli beberapa keperluan pakaian dingin. Ayah menggendongku dengan gendongan kangguru, sementara Anne selalu tidak pernah berhenti sibuk menutup tubuhku dengan selimut tebal. Aku belum memiliki jaket tebal, sehingga Anne terasa demikian berlebihan memastikan keadaanku.

Kami menuruni jalanan yang curam menurun, bertemu dengan orang-orang yang bermata hijau dan berambut jagung. Satu pusat pertokoan berderet ramai di ujung jalan. Rupanya diujung jalan ini merupakan satu kawasan pusat keramaian dari kawasan Cevdat Dalokay yang kami tempati. Selain swalayan, toko kelontong, toko pakaian, kafe, dan restoran kecil juga terdapat sepetak taman dan tempat olah raga terbuka di seberang pertokoan. Tampak di ujung kursi taman terlihat satu dua laki-laki tua yang duduk dengan tangan yang disanggakan pada tongkat. Kami menyusuri trotoar dengan jalan yang tergesa-gesa, hingga akhirnya mampir pada satu toko yang menjual pakaian anak dan perlengkapan musim dingin. Anne membeli beberapa keperluan, mulai dari kaus kaki, sarung tangan, syal leher, topi, dan selimut tebal. Tanpa menunggu sampai ke rumah Anne langsung memindahkan pakaian dingin itu ke tubuhku. Mulai dari mengenakan sarung tangan, syal dan topi. Lengkaplah tubuhku dibalut dengan pakaian tebal yang melindungi tubuh dari kuatnya hembusan angin musim dingin itu.

Usai berbelanja beberapa perlengkapan dingin, Anne dan Ayah membawaku menuju satu toko pusat perbelanjaan, semacam swalayan. Disni kami menyebutnya dengan market. Kami menyebarangi jalan menuju market yang menjajakan kebutuhan pokok. Seorang pria tua berteriak-teriak menawarkan sayur mayur dan sibuk menata buah. Tampaknya ia adalah seorang penjaga market bagian sayur-mayur. Anne membeli beras, minyak sayur, gula, teh, roti, selai, sekotak susu, sayur mayur, dan sedikit lauk. Tanpa basa-basi lagi kami segera meninggalkan market, kembali menyusuri jalanan yang tinggi menanjak menuju apartemen dimana kami akan melewati malam-malam dan hari-hari di sepanjang musim dingin dengan berteduh di rumah itu. 


Ya, inilah rumah tempat dimana aku, Anne dan Ayah bernaung. Rumah yang menyambut kedatangan kami dengan suka cita. Rumah yang menjadi saksi tangis dan perjuangan jatuh bangunnya Anne melewati tiap detik waktu dengan bersusah payah. Rumah yang menjadi istana bagiku mendengarkan Anne bercerita dari satu waktu ke waktu lainnya. Rumah yang menjadi teman dan saksi bisu bagaimana aku menahan rindu perjumpaan pada orang yang selalu aku rindukan peluk dan kisahnya, siang dan malam. Adalah Ayahku. Namaku, Nejmiyye! Di  rumah inilah, aku menjadi saksi perjuangan Anne meraih cita-citanya.


Evi Marlina
Depok, 9 Juli 2020

 
#OWOW
#OneWeekOneWriting 
#IbuProfesional
#IbuProfesionalDepok
#RumbelMenulis
#IPDepok  

No comments: