Peledak Absensi Kelas yang Misterius #2
Oleh: Evi Marlina
Tema : Berqurban, Usia : 7-13 tahun
Hanifa menyerahkan buku yang disampulnya dengan plastik sisa bungkus sabun kompas. Dengan gembira ia serahkan kepada Bapak Zein. Bapak Zein membaca tugasnya dengan seksama. “Bagus tulisan kamu Hanifa,” puji suara Bapak Zein. Lalu meminta Hanifa membacakannya di kelas.
Ya mata pelajaran bahasa Indonesia. Bapak Zein memberikan tugas untuk menulis/mengarang cerita. Hanifa membacakan karangannya di depan kelas.
Saat menerima tugas itu, dengan segera ia tuliskan apa-apa yang ada didalam kepalanya tentang manfaat membaca saat menjaga warung emaknya. Ia juga menggambar satu ilustrasi yang ia letakkan pada bagian tengah tulisan, seorang gadis yang tengah membaca buku.
Lantang suara Hanifa membacakan karangannya di depan kelas. Teman-teman kelasnya menyimak tanpa suara, satu dua saja yang saling berbisik-bisik antar teman sebangkunya. Sedangkan yang lain, tampaknya tersenyum senang sebab dengan begitu artinya cukup Hanifa saja yang maju dan membacakan ceritanya. Terbebaslah murid yang lainnya untuk membacakan tulisannya.
Usai pelajaran Bahasa, Bapak Zain memanggil Hanifa ke mejanya. "Hanifa, ini absensi kelas Bapak percayakan sama kamu ya. Kamu bawa pulang, dan simpan di rumah. Setiap pagi di bawa ke sekolah." Pesan Bapak Zein kepada Hanifa.
Senang dan bangga pulalah Hanifa sebab diberi kepercayaan menjadi sekretaris kelas oleh Bapak Zain, wali kelas 6. Ya, sejak kelas 2 SD ia dipercayai oleh Bapak Zain menjadi sekretaris kelas, pun hingga sekarang sudah kelas 6 tetap saja ia dipercayai oleh wali kelasnya untuk mengurusi absensi kelas.
Hanifa mengangguk mantap menerima pesan dari Bapak Zain. Ia raih absensi berukuran sebesar buku besar akutansi itu dan menyimpannya di laci meja.
***
Langit mendung menjelang pukul 12:00 siang. Sorak-sorai anak-anak penuh kegirangan memenuhi gedung SDN 357. Perlahan awan berubah menjadi gelap, pertanda tak lama lagi akan turun hujan. Pelajaran terakhir di hari Kamis pun dipercepat.
Dengan cepat-cepat pula Hanifa mengemasi buku dan memasukkannya ke dalam tas. Tidak lupa pula ia kemasi sepatu dan kaus kakinya. Ia gulung dan simpan kaus kaki berwarna hitam putih itu ke dalam sepatu. Lebih baik kakinya yang basah dari pada sepatu yang harus terendam air di jalanan merah. Apalagi itu adalah sepatu kulit yang sudah lama ia dambakan, setelah sekian semester kakinya bertahan di sepatu yang sempit.
Hanifa berdiri di emperan kelas bersama teman-temannya. Langit sudah tak tahan lagi menahan air, ditumpahkanlah air hujan itu seperti desing hujan peluru.
Maka berhamburanlah anak-anak murid SDN 357 menyongsong hujan. Tidak dihiraukah suara petir yang menggelegar disana-sini. Yang ada hanya suara tawa yang terbahak-bahak dan cipratan air yang berlompatan disana-sini.
Hanifa masih berdiri mematung di emperan kelas. Agak ragu hatinya untuk menembus hujan. Bukan takut kena marah emaknya, melainkan ia teringat dengan sepatu kulitnya yang masih agak baru itu.
"Hanifa, main ke sungai yuk." Tiba-tiba suara Solih mengajaknya main ke kolam.
"Iyo ayolah, enak juga hujan-hujanan sambil maen di sungai," suara Yanti yang berdiri di sisi Hanifa.
Hmm, agaknya seru juga bermain hujan di kolam tetangga. Apalagi kolam itu lokasinya tak jauh dari rumahnya. Jadi emaknya tak akan cemas bila ia datang dari sekolah agak terlambat.
Maka beramai-ramailah ia bersama Solih, Yanti, dan Srimul menyusuri jalanan basah menembus hujan.
"Tumben baik betul kau ni Mbak, biasanya pelit betul kasih pinjam sepeda pada adikmu ini."
Hanifa tak menghiraukan ledekan adiknya, ia segera berlari menyusuri hujan yang pecah. Tanpa alas sepatu, kakinya menyusuri jalanan becek yang naik turun. Sesekali mampir di tepi jalan dan membuat mainan saluran air di got-got jalanan yang ditumbuhi semak dan ilalang.
Bersama ketiga temannya ia menyusuri jalan merah yang licin. Lalu berhenti di sebuah jembatan yang dibawahnya adalah terowongan air yang dibuat dari semen. Solih memandu teman-teman perempuannya menyusuri terowongan itu. Sebenarnya Hanifa agak takut menyusuri terowongan itu. Ia teringat teman-temannya yang bercerita bahwa terowongan itu terkenal anker. Namun, dilihat ketiga temannya asik saja menyusuri terowongan itu, maka ia tutupi rasa takutnya itu.
Terowongan jembatan itu tidak panjang, ujungnya bertemu dengan saluran air yang bermuara ke sungai dan kolam milik tetangga. Nah, kesanalah Solih teman kelasnya yang kurus kering ini memimpin mereka bermain hujan.
Dengan perasaan agak cemas, Hanifa mengikuti ketiga temannya. Menyusuri saluran air yang jernih itu hingga sampai di sungai dan kolam tetangga. Pfyuh, legalah hatinya setelah sampai. Ia tahu dan mengenal sang pemilik kolam. Sebenarnya itu bukan kolam, melainkan empang ikan yang jumlahnya cukup banyak. Empang-empang yang dibuat di sisi sungai.
Dilemparkanlah tas-tas dan sepatu yang basah di atas tanah liat. Hanifa bermain tanah liat dan membuat mainan saluran air. Entah sudah pukul berapa hari itu. Namun karena dilihatnya langit agak cerah, maka itu pasti belum siang masih panjang. Begitu fikirnya.
Berpuaslah ia bersama ketiga temannya berenang-renang di empang tetangga. Mencabuti rumput teki dan membuatnya menjadi anyaman bunga. Setelah merasa puas, pulanglah mereka berpencar masing-masing menuju rumah.
***
Hanifa merasakan panas tubuhnya malam itu, ia merasa tidak nyaman dengan tenggorokannya. Badannya terasa pegal-pegal. Emak sudah mengomel sejak ia pulang dari bermain hujan. Apalagi setelah tahu bahwa Hanifa juga bermain di empang Mak Salma. Makin geramlah emak dibuatnya.
"Emak kan dah pesan, pulang dari sekolah langsung pulang. Bantuin emak jaga warung. Sebab hari ini ada tetangga yang punya hajatan." Emaknya mengomel malam itu.
Hanifa meringkuk di kamar memeluk kain jarik. Suhu tubuhnya serasa panas malam itu. Ia tidak nyenyak tidur. Emak baru saja memberinya parasetamol yang diperoleh dari Bu Bidan desa.
Untunglah besok tanggal merah. Hanifa menarik nafas lega. Itu artinya ia tak perlu repot memikirkan surat izin tidak masuk sekolah. Sebab hari Jumat tanggal merah. Hari Sabtu pun akhirnya libur pula.
Agak terobati pulalah kecemasan Hanifa. Perlahan ia mulai memejamkan mata dengan perasaan dan fikiran yang lega. Teringat keseruan menyusuri jalanan lempung dibawah hujan, berseluncuran kesana-kemari, membuat permainans saluran air, menyusuri terowongan air yang anker, dan terakhir berenang dan membuat anyaman rumput teki sebagai mahkota. Alagkah serunya ia melewati hari ini. Apalagi 3 hari berturut-turut disambut hari libur. Makin terasa panjanglah ia melewati hari-hari yang libur itu. Tanpa PR sekolah.
***
Jum`at pagi, seperti biasa dengan badan meriang Hanifa duduk di kursi warung emaknya. Sayup-sayup ia dengarkan suara khutbah Jum`at dari masjid yang berada di sebarang jalan warung emaknya. Ia serutup beberapa kali teh panas pahit buatan emaknya.
Emaknya sedang membantu tetangga memasak untuk acara mantenan. Malam ini perkampungan pasti akan ramai sekali. Apalagi hujan sudah usai sejak kemaren malam. Saatnya warga desa menghibur diri dengan mendengarkan karaoke dari acara penganten. Akan ramai pula jalanan dengan warga desa yang menggelar dagangan macam-macam.
Uh, terbayang pulalah oleh Hanifa jajanan desa semacam miso, sate ayam, pecel, sate cecek dst. Tapi apalah daya, kepalanya masih nyut-nyutan. Bilasaja ia tidak mengikuti ajakan temannya bermain hujan seharian, mungkin tidak demam badannya sampai sperti ini. Agak menyesal pula Hanifa, sebab dengan begitu emaknya pasti tak mengizinkan ia untuk menonton karaoke ramai-ramai dengan teman-temannya. Dengan begitu, akan tinggallah ia dirumah sendiri saja menyusuri malam bersama suara jangkrik.
***
Warga desa berduyun-duyun tumpah ruah dijalanan menuju acara mantenan tetangga. Berbaju serba borkat berkilauan dengan gincu merah. Ia lihat pula anak-anak gadis berpakaian indah dan wangi tertawa-tawa membawa kado ditangan. Hmm, itu pasti kado hadiah untuk pengantin. Bisik Hanifa dalam hati. Dilihatnya pula Srimul dan Yanti dengan rambut di kepang dua dan baju bak puteri berjalan di belakang emak mereka.
"Hanifa, kau masih demam ya," teriak Srimul dari jalan. Hanifa mengangguk tak semangat.
"Istirahat di rumah saja, nanti kau tambah demam," timpal Yanti.
Murung pulalah hati Hanifa malam itu. Sayup-sayup terdengar MC Karaoke mulai memenuhi langit desa yang sunyi. Emak, Bapak dan Oki sedang di rumah tetangga mantenan. Emak berpesan bahwa tak akan lama di rumah tetangganya itu. Maka, Hanifa di rumah sendirian sembari menonton televisi.
Karena bosan ia bangkit ke kamar dan membuka tasnya. Bermaksud membaca buku pelajaran, namun tiba-tiba dadanya berdebar kencang. Kepalanya tiba-tiba serasa di tindih batu yang sangat besar.
"Astaghfirullah hal adzim...absensi kelas tertinggal di laci sekolah." " Hanifa bergumam dengan mata yang cemas. "Ya Allah, bagaimana ini?" Hanifa membongkar-bongkar isi tasnya. Membalik-balikkan buku kalau-kalau absensi itu terselip. Namun tidak ia temukan absensi yang dicari.
Ia ingat-ingatlah dimana terakhir kali ia menaruh absensi kelas. Ya, ingatannya tertuju pada satu memori, bahwa ia menyimpan absensi itu di dalam laci mejanya.
Kepala Hanifa bertambah pening, dadanya bergemuruh merasakan kecemasan yang hebat. Absensi itu amanah dari Bapak Zein. Bagaimana kalau absensi itu hilang? Ah, tidak mungkinlah, kan kelas selalu dikunci. Tidak mungkin ada yang bisa masuk kelas. Absensi itu akan aman di dalam laci.
Lalu bagaimana kalau ada yang membobolnya lewat jendela belakang kelas, bukankah jendela yang hanya ditutup jaring itu banyak yang bolong? Hmm, tapi mana mungkinlah ada yang berani mengambil absensi kelas 6. Apalagi semua murid sekolah tahu siapa Bapak Zein ini, guru yang ditakuti oleh semua murid SDN 357. Tapi, siapa yang bisa menjamin bahwa absensi itu akan aman di dalam kelas? Apalagi hari libur masih 1 hari lagi.
"Bagaimana kalau Bapak Zein marah besar?"
"Mengapa aku bisa lupa?"
"Ya Allah, aku teledor sekali."
"Makanya jangan main melulu, itulah akibatnya kalau tidak mendengar pesan orang tua."
Kepala Hanifa, dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan dalam fikirannya yang datang silih berganti.
Malam itu, Hanifa tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kepalanya semakin pusing sebab memikirkan absensi kelas yang tertinggal di kelas. Padahal absensi itu merupakan amah dari Bapak Zein yang harus ia jaga. Semakin merasa bersalahlah Hanifa malam itu.
***
Hanifa bangun pagi dalam keadaan kusut masai. Fikirannya makin ruwet sebab cemas memikirkan absensi kelas. Akhirnya ia ceritakanlah hal itu kepada emaknya yang sedang menyusun dagangan sayur. "Mak, absensi kelas Hanifa ketinggalan di laci sekolah," kata Hanifa mengadukan masalahnya kepada emaknya.
Hmm emaknya hanya berdehem saja menanggapi pengaduannya. Hanifa masih menungguh dengan perasaan semakin cemas.
"Makanya lain kali tu kalo emak pesan pulang sekolah, langsung pulang. Dengarlah pesan emak." Kata Emak menyerahkan segelas wedang jamu pada Hanifa.
Dengan bergidik pula, ia habiskan segelas jamu yang sangat pahit itu. Tak berani pula ia menolak segelas jamu pahit yang diberi emak. Khawatir masalah bertambah runyam.
Hanifa merasa tubuhnya terasa lebih enak, selera makannya pun mulai lahap. Mestinya ia masih punya waktu sehari libur sekolah. Namun perihal absensi yangn tertinggal di kelas itu sangat mengganggu fikirannya. Tak akan mungkin ia akan melewati satu hari libur yang tersisa tanpa memastikan absensi kelas yang tertinggal itu.
Hanifa memikirkan cara bagaimana memastikan bahwa absensi kelasnya tidak hilag disekolah. Aha, ia menemukan cara.
Maka lepas dzuhur, ia bujuk-bujuklah adiknya untuk menemaninya ke sekolah. Oki bersikeras menolak permintaan Hanifa, sebab ia telah berjanjin akan bermain kelereng di lapangan volli. Hanifa membujuk adiknya sekuat tenaga, bahkan berjanji akan mengurangi uang jajannya selama 1 minggu untuk adiknya. Cengengesan pulalah si Oki demi mendengar tawaran Hanifa.
Oke, dibuatlah perjanjian diatas bukuk tulis, bahwa Hanifa akan memberikan setengah dari uang jajannya untuk adiknya selama 1 minggu.
"Aku bisa pakai uang tu buat beli kelereng, hahaha." Tawa Oki menggelegar serasa Harimau di telinga Hanifa. Jika bukan karena terjepit, tak tahan rasa tangannya ingin memelintir telinga adiknya itu.
Namun, ia tahanlah rasa marah yang menggelegak di dalam hatinya. Tak mengapalah ia berkurban separuh uang jajannya untuk si Oki. Ia hanya butuh mengurangi jatah sarapan atau jatah uang yang ia sisihkan masuk ke celengan dan memberikannya untuk Oki. Asal adiknya itu mau mengantarkannya ke sekolah dan mengambil absensi kelas.
Sebab tak berani ia ke sekolah sendiri yang lokasinya berada di ujung desa itu. Sekolah pasti sunyi sekali. Belum lagi kelas-kelas yang dikunci. Satu-satunya cara untuk bisa menerobos masuk ke dalam kelas adalah melalui jendela belakang kelas yang ditutup dengan jaring-jaring.
Nah, pada salah satu jendela jaring-jaringnya sudah jebol. Dari lubang jaring yang jebol itulah Hanifa akan meminta tolong Oki untuk masuk ke dalam kelas dan mengambil absensi kelas yang terdapat di dlaci mejanya.
***
Setelah meminta izin pada emak, selepas shalat dzuhur berangkatlah ia bersama adiknya menggunakan sepeda menyusuri jalanan desa menuju sekolah. Langit perkampungan berwarna biru sempurna. Hanifa megayuh sepedanya dengan perasaan yang agak senang.
Oki berdiri di belakang sambil bersiul-siul. Agaknya ia merasa menang dan pesata besar kali ini. Hanifa tak mempedulikan siulan adiknya, sebab yang terpenting baginya saat ini adalah Oki mau menemaninya ke sekolah mengambil absensi kelas. (Berlanjut)
Evi Marlina
No comments:
Post a Comment