Reminder

"Beri aku pelajaran TERSULIT, aku akan BELAJAR" Maryamah Karpov

Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya, dan yang membuka pendengaran dan penglihatannya

Dengan daya dan kekuatan dari-Nya, maka Maha Suci Allah, Sebaik-baik pencipta

(Tilawah Sajadah)

Thursday, July 16, 2020

Satu Kenangan, di Kota yang Dingin #5

Satu Kenangan, di Kota yang Dingin

Dua ekor burung dara bertengger 
mencari ruang hangat

Ini adalah fajar pertamaku di kota yang dingin ini. Semalaman penuh aku nyaris tidak bisa memejamkan mata. Terbangun berkali-kali karena aroma rumah yang dingin menusuk hingga ke persendian tulang. 

Anne, bahkan mungkin tidak tidur sama sekali hingga fajar menjelang. Aku lihat tubuh ringkihnya yang kokoh itu menggigil gemetaran menahan dingin. Selimut tebal yang dipinjamkan oleh Nine Feride tidak cukup mampu menahan udara musim dingin. Suhu udara yang asing ini dengan angkuhnya telah menembus-nembus dinding rumah. Seperti tiada perduli jika di rumah ini telah berpenghuni. 

Hanya Ayah yang tertidur pulas semalaman, sejak lepas makan malam. Wajahnya yang tegas itu menyiratkan kelelahan yang dalam. Hingga suhu dingin tak mampu mengusik rasa lelahnya yang payah. Aku tahu Ayah lebih letih dariku. Tak hanya tubuh tegapnya yang menahan beban barang bawaan sejak keberangkatan dari Indonesia, namun lebih berat dari itu. Mungkin memikirkan tentang apa yang akan dihadapi oleh dua mata jiwanya ini.

Sementara Anne, aemalaman penuh hanya duduk di kasur di sisi Ayah. Tubuh ringkihnya memeluk tubuh mungilku. Sembari tak berhenti mulutnya merapal doa-doa hingga larut malam. Badannya yang terlihat agak kurus itu berupaya keras melindungi tubuhku agar aku bisa tidur dengan hangat. Barulah menjelang fajar Anne terlelap pulas, sebab letih dan kantuk hebat yang pada akhirnya mengantarnya memejamkan mata.

Dalam suasana seperti itu, aku merindukan terik cahaya matahari yang melimpah ruah di tanah air. Jika saja kami tidak datang ke kota ini, barangkali aku, Anne dan Ayah tak perlu melewati malam dan hari yang menggigil. Entahlah, apa yang sesungguhnya sedang Anne perjuangkan? Aku tidak tahu.

Sejurus mataku menangkap kilatan cahaya yang perlahan masuk melalui ventilasi kamar. Ventilasi itu sebenarnya adalah sebuah jendela kecil yang berada pada bagian dinding atas sudut kamar. Jendela berukuran kecil itu difungsikan agar ada cahaya matahari yang masuk ke dalam kamar. Sebab kamar ini berada pada lantai underground apartemen. 

Melalui kilatan cahaya itu, aku berharap hari ini akan ada matahari yang bersinar hangat. Agar aku tak perlu membuntal tubuhku dengan pakaian yang sangat tebal ini. Juga agar Anne tak perlu lagi mengigil kedinginan.

***

Pagi-pagi sekali Anne telah bangun dan meramaikan apartemen yang sunyi dengan suara perabot dari dapur. Mungkin Anne sedang mencuci piring atau membilas cangkir-cangkir teh. Terdengar pula suara air kran yang mengalir deras. Tak lama kemudian disusul aroma wangi teh daun ihlamur yang singgah kehidungku. 

Aku melihat Ayah sudah berdiri di pintu kamar, menyambutku dengan sepasang senyum pipit yang indah. Aku masih berselimut dengan posisi duduk termangu-mangu di kasur. "Shalihah...Najmacim," suara Ayah menyapa riang. Aku melonjak kegirangan memeluk Ayah. Tubuhnya yang besar dengan cepat membuatku merasa hangat dan aman.

Ayah menggendongku ke dapur. Kami duduk di kursi kayu dapur menemani Anne yang sibuk. Api kompor menyala biru, membuat suhu ruangan dapur terasa lebih hangat. Diatas kompor terjerang dua buah panci. Pada satu panci Anne mengaduk-aduk telur yang dicampur tomat berwarna merah. Sementara di panci yang lain berisi sup yogurt yang dicampur nasi putih. Dari aromanya aku bisa mengenali bahwa Anne sedang memasak emen-emen dan sup yogurt Turki yang khas. Sementara di atas meja telah terhidang satu teko air panas dan dua cangkir kecil teh panas. 

Terampil tangan Anne mengaduk masakan, juga menyobeki roti gandum yang besarnya selebar lengan ayah. Dengan cepat pula Anne lalu menaruhnya dipiring putih. Ayah menyuapiku roti gandum itu dengan terlebih dahulu mengoleskannya pada emen-emen yang hangat. Pagi itu kami melewatinya dengan secercah senyum dan mata yang bercahaya.

***
Siang ini rumah kami kedatangan tamu. Ada rasa kelegaan yang singgah di dalam hati sebab ternyata kami menjadi musafir tak sendiri. Tamu itu adalah seorang mahasiswa Indonesia, rekan satu almamater yang sama dengan Anne. Aku memanggilnya dengan panggilan paman Imam. 

Ya, paman Imam datang ke rumah atas permintaan Anne untuk menemani Ayah berbelanja perabot rumah di sebuah pasar loak Ulus; mulai dari mesin cuci, kasur, kulkas, dan karpet. Mahasiswa seperti Ayah dan Anne tentu saja hanya cukup dengan membeli barang bekas layak pakai untuk kemudian digunakan sebagai perabot rumah.

Kebetulan, Ulus merupakan salah satu kecamatan tua kota Ankara yang terkenal dengan pusat pasar loak. Pasar loak ini menjual beragam pilihan perabot bekas dengan harga miring. Kesanalah Paman Iman akan membawa Ayah mendapatkan perabot rumah yang dibutuhkan.

Musim dingin adalah musim yang berat. Mesin cuci adalah perabot pokok yang harus ada di dalam rumah, sebab aku akan mendapati air yang dinginnya seperti es di sepanjang bulan-bulan yang panjang. Maka keberadaan mesin cuci akan sangat menolong, tak hanya meringankan pekerjaan, namun lebih jauh dari itu adalah menyelamatkan telapak tangan dari gigitan air.

Siang itu Ayah berangkat ke pasar loak menuju pasar Ulus bersama Paman Imam. Ayah sangat sibuk menyiapkan segala kebutuhan rumah, memastikan agar rumah hangat dan cukup layak untuk ditempati. Tinggallah aku dan Anne berdua saja di rumah itu, menunggu kedatangan Ayah dengan penuh harapan. Berharap Ayah akan pulang dengan membawa perabot yang dibutuhkan. 

Anne sangat sibuk memindahkan pakaian dari kopor ke dalam lemari kecil, sisa peninggalan pemilik sebelumnya. Dibersihkannya lemari yang sudah pecah bagian gagangnya itu. Aku duduk di sisi Anne, menemaninya mengeluarkan pakaian dari kopor. Melipat-lipat dan kemudian membongkarnya lagi.

Ayah kembali ke rumah pada pukul 17.00 petang waktu Turki. Dengan cepat pula langit kota Ankara berubah menjadi gelap. Musim dingin membuat siang hari menjadi pendek dan malam hari menjadi lebih panjang. Semestinya ini adalah waktu yang indah untuk menghabiskannya dengan berbaring dibawah hangatnya selimut. Namun, agaknya tidak demikian denganku. Malam-malam musim dingin akan menjadi malam penantian yang sangat panjang demi menyambut matahari.

Ayah datang dengan sebuah mobil pick up berwarna putih. Mobil itu mengangkut barang-barang perabot yang dibeli oleh Ayah. Alangkah girang hati Anne saat mendapati Ayah kembali dengan perabot yang diharapkan. Dengan cepat-cepat diangkatlah kasur, kulkas, dan karpet ke dalam rumah oleh Ayah dan bantuan paman Imam. Masing-masing disusun menurut tempatnya. Anne merapikan kasur dan menutupnya dengan seprei. Hanya saja terdapat satu barang berupa mesin cuci yang tidak mampu diangkat oleh Ayah dan paman Imam sebab beratnya mesin cuci. 

Akhirnya paman Imam memohon izin pergi keluar mencari pertolongan. Perhatiannya tertuju pada seorang pemilik toko kelontong yang berada di sebelah gedung apartemen. Datanglah dua pria Turki ke rumah. Keduanya membantu mengangkat dan memasangkan perangkat mesin cuci yang sangat berat.

Usai semua urusan perabot, Anne menyajikan makan malam berupa orek telur brokoli, spageti kuah, dan nasi putih. Kami makan malam dengan lahap dan hati yang lapang malam itu. Lantai rumah kami sudah berkarpet, kamar yang aku pakai untuk tidur pun sudah berlapis karpet. Alangkah senang hatiku, sebab akhirnya Anne melepaskanku merangkak kesana-kemari.

(Cerita masih bersambung)

Evi Marlina
Depok, 16 Juli 2020


#OWOW 
#Pekan5 #kenangan
#OneWeekOneWriting 
#IbuProfesional
#IbuProfesionalDepok
#RumbelMenulis
#IPDepok  


  


No comments: