Handphoneku berdering. Aku tengah duduk di depan skype mendengarkan pengajian online yang diadakan oleh teman-teman akhwat (muslimah) Indonesia di Turki. “Oh…kismet” Jerit batinku. Nama itu muncul lagi setelah sekitar 10 hari yang lalu juga berdering menelponku. “Angkat gak ya…?” aku bergumam kecil. Meski ragu dan ada titik ketakutan akhirnya aku mengangkat dering telepon itu.
Kismet…???
Nama itu singkat sekali. Singkat dan aneh. seperti nama-nama gadis Turki pada kebanyakan. Nama kali ini adalah nama milik dari seorang Ibu yang usianya sekitar 50 tahun. Istri dari seorang kakek yang baik hati, yang usianya juga tidak kalah lebih lanjut, meski garis wajahnya masih tampak berbinar. Pertemuan singkat sekitar 15 hari yang lalu, siang saat matahari naik ke puncak ubun-ubun , saat aku tengah menunggu otobus di sisi Jembatan Penyeberangan di belakang ASTI Terminal, Ankara. Hampir 20 menit aku menunggu sambil berkomat-kamit memurajaah surat-surat pendek. Otobus banyak berseliweran, akan tetapi otobus dengan nomor 132 jurusan Yuzuncu Yil belum juga menunjukkan batang hidungnya. Aku masih bertahan berdiri di sisi jembatan sembari menikmati panas yang hangat pada pukul 11:00 waktu Turki. Matahari musim semi…
Mungkin karena melihatku mulai bosan dan garis wajahku yang terlihat mulai malas menunggu otobus, Ibu tua berjilbab itu memanggilku. Tangannya menggapai-gapai memintaku duduk di sampingnya. Awalnya aku menolak. berharap beberapa menit lagi Otobus tiba. Tapi melihat ia memaksaku dengan tatapan kasih sayang, aku tidak bisa menolak. Aku duduk di depan Ibu berusia sekitar 50 tahun itu dengan tas gendong yang kubopong. ia tersenyum bulat-bulat menatapku, senyum seorang nenek dan kakek pada cucunya.
Hampir 20 menit penuh kami bercerita ini itu, termasuk kekagumannya pada orang ndonesia yang tidak bisa ia sembunyikan. berulang kali ia sampaikan betapa ia mencintai orang Indonesia. Aku tersenyum gembira mendengarnya. Sepertinya pertemuannya dengan salah satu warga Indonesia yang baik hati beberapatahun yang lalu itu begitu berkesan. Aku semakin terlibat asik dalam perbincangan, hingga Otobus datang dan meyadarkan bahwa aku sedang menunggu otobus. Aku segera pamit. Kakek berusia 50 tahun lebih itu, mencatat alamat rumahnya pada sebuah kertas kecil, dan memberikan nomer telponnya. “Evime size bekelerim canim” kami akan terus menunggumu bermain ke rumah kami sayang.” begitu pesannnya. Aku pamit naik otobus dengan hati riang. ”Ah…betapa beruntungnya aku, bertemu orang-orang yang mencintaiku seperti keluarga sendri.” Gumamku..
***
Drererer…drerererr…Handphoneku bergetar-getar di atas meja.
Dengan penuh hati-hati aku mengangkat telpon itu. Takut! Untuk yang kesekian kalinya aku takut untuk berjanji. “Assalamu’alikum Anne (panggilan ibu dalam Bahasa Turki) ” sapaku membuka telpon genggamku.
“Kusuuum, (gadis perempuanku.” begitu jawaban suara dari telpon di sebarang. Hatiku bergetar. Itu suara kerinduan. “Oh….” aku semakin merasa berdosa.
“Nasilsiniz anne…?” Aku berpura-pura menahan diri. “apa kabar ibu..” Jawabku.
“Istanbuldan yeni geldim..” aku baru pulang dari istanbul. “Uzun tatil Istanbuldaydim.” Libur panjang saya di istanbul anne.” Belum sempat beliau bertanya aku segera menghujani dengan sejuta informasi. Aku takut beliau bertanya, mengapa libur ini aku tidak menepati janji untuk bermain ke rumahnya. Yah, aku sungguh merasa bersalah. Ku kira libur 10 hari itu waktu yang cukup untuk banyak melakukan hal-hal penting. Tapi 10 hari itu sangat singkat. Bahkan sudah habis masa libur sebelum aku menyadarinya. Aku betul-betul dipadati dan dihujani dengan ratusan agenda yang membuatku benar-benar ambruk di penghujung waktu. Meski ada catatan kecil yang tidak bisa aku hapus, semangat Sejarah Pelayaran BHOSPORUS beberapa hari lalu, yang tidak akan bisa aku bayar dengan kelelahan ini.
***
“Cok sukur kusum, ne yapiyorsun kusum. kendini iyi bak..” Jawab Anne di sebarang sana. “Alhmdulillah gadis perempuanku, kamu sedang apa. Jaga diri bak-baik.” begitu ia membuka percakapan, manyapa.
“Her zaman size beklerim…” Saya akan menunggumu bermain ke rumahku kapan saja. ia melanjutkan lagi. Bertanya kabarku, memastikanku apakah aku baik-baik saja, apakah aku tidak sakit, dan untuk kesekian kalinya ia menjelaskan betapa ia mencintaiku karena aku berkebangsaan Indonesia. Masih ingat ketika ia pertama kali berjumpa di seberang Jembatan saat aku menunggu otobus. Mengapa ia begitu mencintai Indonesa?
“Endonezyanin Insanlari cok iyi bir insan.” Orang-orang Indonesia itu sangat baik dan ramah. “Hacida bulustuk.” Kami bertemu di Mekah saat menunaikan Ibadah haji. Begitu ia menjelaskan mengapa Ia begitu mencintai Indonesia.
Tidak lama kami berbicang dalam telepon. Selain karena aku tengah mengikuti kajian Islam Online juga karena keterbatasan bahasa turkiku yang masih sederhana. Kami menutup perbincangan yang kurang dari 2 menit itu. Perbincangan singkat yang penuh dengan kerinduan. cinta dan kasih sayang yang tulus dari seorang Anne, bernama singkat “Kismet.”
Tesekkur ederim anne. Insya Allah, semoga Allah lapangkan waktu untuk segera bertemu dan bersilaturahim ke rumahmu. insya Allah. Tesekkur ederim anne. Terimaksih banyak Ibu..Ben seni seviyorum. Aku mencintaimu Ibu..
Yah…aku faham, banyak cinta yang aku temukan selama di turki ini. pun cinta dari seorang anne bernama singkat “kismet.” Ibu maafkan aku, yang belum mampu untuk segera memenuhi janjiku. Terimkash untuk cinta pemberian yang engkau semaikan untukku di Bumi TURKI ini, di kota Ankara…
Ankara, 1 May 2013
Tulisan ini bisa dinikmati di http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/05/02/kisah-cinta-dari-turki-kismet-suara-telpon-anne-part-1-556541.html
No comments:
Post a Comment