Matahari pada 23 April ‘13 itu hangat. Kota Ankara telah bergeliat penuh pada pukul 09:00 pagi. Memang sedikit berbeda dengan Indonesia, yang manusia akan lekas bergeliat pada pukul subuh bahkan pada Fajar di pukul 03:00 nan gelap. Sekilas aku cukup berbangga terlahir di tanah hijaunya Indonesia. Bahkan aku teringat ketika salah saorang temanku mempresentasikan Indonesia di depan teman-teman TOMER (kelas Bahasa turki) 2 pekan lalu, dan pada keesokan harinya, tidak satu pun teman-teman internasional kelasku yang tidak menyatakan kekagumannya pada Indonesia. Ah, Indonesia…
***
Ruangan penuh. Itu adalah hari yang penuh dengah lukis-lukis mekar bunga tulip. Kota Ankara sedang berwarna sempurna setelah musim Pembe Cicegi (sakura turki) berguguran 2 pekan yang lalu. Tumbuhlah tulip dengan warna-warna sempurna seiring dengan sempurnanya hangat udara pada 23 April itu. Jalan-jalan dan apartemen ramai dengan bendera berlogo bintang bulan dengan latar merah menyala. Sekolah-sekolah Ana Okulu (SD) di penuhi dengan bayrak-bayrak (bendera) yang lengkap dengan panggung-panggung kecil. Cocuk Bayram. Itu adalah hari penting negeri Al-Fatih. Peringatan Hari anak Nasional Turki.
Di tengah tawa riuh anak-anak kota Ankara, dan aku pastikan semua anak di negeri Para Penakluk Romawi Timur itu tengah bermerdeka_ tidak disibukkan dengan PR sekolah_ pada sebuah rumah tepatnya di sebuah jalan Sokak No.8 Cankaya terlukis sebuah sejarah. Perumahan yang tenang. Dari dalam terdengar dipenuhi kesibukan. Sang pemilik rumah terlihat dalam kelelahannya, duduk dengan senyum menghadap meja bundar dapur. Aku datang lebih awal bersama 3 orang adik tingkatku. Menuju rumah nan teduh di ujung kota Ankara itu. Cankaya, Oran Sitesi. Dalam halaman yang tertata rapi ada baris-baris tulip-tulip 3 warna dalam pot yang mulai gugur satu persatu. Meski di sisi dan depan rumah rumput masih hijau dan berkembang kuning mekar sempurna.
Kami berempat dengan wajah khas mahasiswa Indo saling duduk dengan tangan yang bergerak-gerak membersamai sang pemilik rumah. Yang lebih banyak memilih sibuk di dekat kompor dari memilih duduk di sofa. Sementara tangan-tangan kecil kami berirama mengangkat asoy, mengiris buah, menuang air, mengaduk sayur, dan beberapa diantara menyusun kursi-kursi.
Dalam kesibukan itu aku menyaksikan ada mata yang lelah di sana, lelah yang tidak terlihat. Meski suara riang dan penuh kesungguhan dari sang pemilik mata yang terlihat lelah itu bergerak lincah di tengah kesibukan menyiapkan hidangan. Akupun merasa teduh duduk bersama dengan bahasa yang sama, paras dan garis wajah Asia indo yang sangat khas. Di rumah Umi Desy, begitu kami biasa memanggilnya. Istri dari Atase Pertahanan Indonesia, Bapak Syachrial Siregar. Yah…dari rumah inilah aku melihat ada semangat dan kesungguhan untuk belajar mengaji yang seruakannya melebih ratusan semangat tunas pepohonan cemara kota Ankara yang menutupi dataran di sepanjang Golbase.
***
Pukul 14:00 WIB. Ruangan dengan ukuran kurang lebih 50 m2 dengan sekat pembatas antara laki-laki dan perempuan, duduklah dengan tertib peserta dari berbagai kota-kota kecil Ankara. Padat dengan jumlah peserta laki-laki dan perempuan mencapai kurang lebih 85 orang. Datang dari berbagai Bolge (daerah) Golbase, Sincan, Yuzuncuyil, Besevler, Cankaya, Kecioren, Dikmen, Attakoy, Yenimahalle, Asti, Bahcelievler, Aktepe, Oran Sitesi, Altindag, kurtulus dan masih banyak bolge kecil Ankara lainnya, pun beberapa dari mereka berasal dari kota yang berbeda, Istanbul dan Izmir. Itu bukan jarak yang dekat. membutuhkan 6-7 Jam perjalanan untuk sampai di Ankara. Bahkan untuk peserta dari Ankara sendiri harus menempuh waktu 1-2 Jam untuk sampai dan dapat duduk bersama seperti pada pukul 14:15 tepat siang itu. Siang saat matahari bergerak naik pada tengah hangatnya udara Ankara.
Yang menarik adalah ketika dalam ruangan yang teduh dan tenang itu kami duduk bersama dilantai dengan karpet hangat khas Turki. Duduk bersama dengan aroma Indonesia. Yang mungkin sulit aku temukan duduk model seperti itu pada acara-acara besar dan mewah seperti pada layaknya perubahan model tempat duduk yang ada di tanah airku saat ini. Tapi kali ini kami (peserta pengajian) duduk dalam santun-santun Indonesia, yang laki-laki bersila di baris depan, dan yang perempuan duduk bersila model shalat perempuan pada baris shaf belakang. Ada sekat pembatas diantar kami. Ada hawa yang berbeda. Teduh, tenang dan khidmat.
Satu hal yang menjadi catatan penting yang dengannya satu titik pun tak ada yang boleh untuk tidak di catat adalah kami duduk pada lantai karpet Turki bersama pejabat atase pertahanan dari negara yang berbeda, beberapa diantaranya Athan Syiria, Bosnia, Afganistan, Irak dan Turki. Kami bisa duduk berjajar rapi dengan rasa kekeluargaan Indonesia. Tidak saling membedakan.
Yang kucatat. Di sana ada binar semangat matahari pagi menyongsong semangat belajar dan menuntut ilmu agama Islam yang sama. Semangat mengaji dalam geliat yang mirip tarian ilalang. Yang bergerak-gerak dalam hening yang khidmat. Dalam desir daunnya yang tenang. Setenang semangat suara “bertema ukhuwah” yang disampaikan oleh ustd. Asep_mahasiswa program Doktor Istanbul University_ sebesar semangat yang beliau bawa dari kota Konstantinopel, dengan semangat Inspirasi Al-Fatih yang dialirkan pada ruangan yang teduh itu. Aku sendiri sulit menerjemahkan, semangat yang di bawa dan disematkan oleh Ustd Asep pada 6 jam perjalanan Istanbul-Ankara.
Seperti sebuah semangat yang di gali dari kedalaman birunya Laut Marmara Istanbul. Semangat yang membagi teduh pada kaki-kaki semangat jiwa Indonesia. Yang duduk dalam ukhuwah yang teduhnya seperti aku tengah tengah duduk di pinggir sungai batanghari Jambi di pagi hari, tepat pada saat matahari bergerak naik perlahan tenang dengan hangat yang tak terbantah.
Ah…aku duduk termenung bersama matahari yang menyore, yang sinarnya menerobos perlahan dari kaca dinding balkon. Mendengarkan dengan imajinasi yang bergerak-gerak naik menyusuri gerak kecepatan matahari. Akankah kejayaan semangat Cahaya Islam Indonesia itu di mulai dari sini. Yang ketika pulang ke tanah air akan lari berbondong membawa semangat Bhosporus seperti pada tentara Al-Fatih pada penaklukan Konstantinopel?
Semangat yang lahir membawa kekuatan kekohonan mahameru, yang tajamnya bak air hujan hutan tropis, yang airnya menyebar merata, menyuburkan, menumbuhkan “semangat kejayaan Islam Indonesia?Semangat yang mampu membentuk keindahan akhlak dan semangat berukhuwah islam? Yang kelak menjadi mesin penggerak inspirasi bagi muslim di dunia? ” Oh…teduhnya. Semoga insya Allah.
Ankara, 25 April 13
(**) Tulisan ini bisa dinikmati pula di kolom kompasiana.com melalui web link ini, selamat berselancar http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/04/25/geliat-ngaji-inspirasi-dari-turki-part-1-554865.html
No comments:
Post a Comment