Reminder

"Beri aku pelajaran TERSULIT, aku akan BELAJAR" Maryamah Karpov

Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya, dan yang membuka pendengaran dan penglihatannya

Dengan daya dan kekuatan dari-Nya, maka Maha Suci Allah, Sebaik-baik pencipta

(Tilawah Sajadah)

Friday, June 12, 2020

Karakter Moral Ibu Profesional; Misi belum lagi usai

Karakter Moral Ibu Profesional


Aku punya tantangan selama berproses dan menjalani peran kehidupan yaitu: Melepaskan diri dari "semacam" rasa trauma kecemasan saat menjalani masa LDR dengan suami.

Tapi ternyata, dalam diriku terdapat karakter moral Ibu Profesional yang menjadi kekuatanku. Ini kisah dan caraku untuk mengatasi tantangan tersebut.

Allah yang dengan kekuasaan-Nya Maha berkuasa menaburkan rasa cinta dan kasih sayang kepada tiap makhluk-Nya. Tiada satu makhluk pun didunia ini yang luput dari pengawasan dan rizki atas-Nya. Makhluk kecil yang kasat mata seperti tiada yang menjaga, namun Allah pun taburkan rizki baginya meski ia hidup di dalam tanah yang pekat gulita-cacing atau binatang-binatang yang hidup di dalam tanah.

Namun demikian, makhluk kecil itu tetap menjalani kehidupannya dengan penuh suka cita. Agaknya berbeda dengan makhluk bernama manusia, selalu saja ada keluh kesah datang silih berganti, hingga seperti tak berbekas barang sececap pun akan kisah-kisah hebat yang ditelan dalam lisannya.

Ada karakter utama yang semestinya tidak boleh lenyap atau bahkan meski sekedar menjadi berwarna abu-abu, pada tiap jiwa "perempuan" muslimah. Karakter yang akan mampu membentuk pribadi dan jiwanya tetap tegak berdiri dengan keyakinan yang utuh. Karakter yang membuatnya tidak diliputi rasa gelisah, pun meski di tengah kota Mekkah yang tiada bertuan dengan segelintir manusia pun. Bahkan lebih pahit dari itu, tiada air sebagai sebentuk harapan akan adanya pertolongan.

Namun, karakter yang menghunjam kuat dalam jiwa inilah yang kiranya telah menyatu pada sosok Ibu yang mendekap bayi merah di lembah nan gersang. Dimana keduanya ditinggalkan Ibrahim di sisi Al-Bait di Makkah Al-Mukarramah, di tanah yang tanpa manusia, tanpa air. Tanpa meratap-ratap, tanpa meronta, hanya sebaris tanya penuh keteguhanlah yang hadir di lisan perempuan nan agung itu.

“Allahkah yang menyuruh engkau berbuat seperti ini wahai Ibrahim?”

“Benar,” jawab Ibrahim.

“Kalau begitu Dia tidak akan menyia-nyiakan kami,’ Jawab Hajar penuh keridhaan, disertai keyakinan akan datangnya kabar gembira dan perlindungan.

(Ali Al-Hasyimi, hal. 7)


Semestinya, kisah ini telah fasih betul saya mengulang dan mengingatnya berkali-kali. Dalam situasi saat rasa lemah itu singgah, segera menuju Allah, memohon pertolongan. Ya, pertolongan Allah itu pasti, penjagaan Allah itu dekat, pengawasan Allah adalah suatu keniscayaan.

Namun, demikian tidaklah ringan nyatanya dalam menjalankan misi yang terasa bak pil pahit dan bahkan "sangat" getir ini. Ya, kala saya menghadapi kenyataan bahwa harus kembali melanjutkan tugas belajar dengan memboyong seorang bayi, tanpa ditemani suami pun juga keluarga. 

Mulanya, tekad itu telah terpancang kuat, bahwa 1) Amanah belajar ini harus tuntas dan usai, bahwa 2) Pengasuhan pertama bayi ini harus ditangan Ibunya, ada air susu yang menjadi haknya di dua tahun usianya. Meski dengan demikian saya menyadari bahwa tantangan dan konsekuensi yang harus dihadapi pasti sangat besar. Saya rasakan ia menjulang tinggi melebihi gunung uhud. Sebab diwaktu yang sama pula, suami pun harus melanjutkan studinya. Kami berdua harus sama-sama kembali melanjutkan belajar di dua negara yang jaraknya berjauhan bermil-mil, Saudi Arabia - Turki.

Jam, hari, minggu, bulan dan tahun yang panjang saya lewati berdua dengan bayi yang masih merah itu. Di tanah asing, tiada saudara yang menemani, tiada teman tinggal serumah. Tiada suami, apakah lagi keluarga besar. Saya tempuh hari-hari yang sunyi, pahit dan penuh suka cita itu berdua dengan bayi ini. 

Saya lewati hari-hari perjalanan jauh meraih kampus demi bimbingan thesis, menghadiri satu seminar ke seminar lain, menemui para hoca, ke perpustakaan, ke kantor pos, membayar listrik, memenuhi kebutuhan dapur, mencari perabot rumah dengan ditemani seorang bayi yang baru bisa tersenyum dan tertawa itu. Saya lewati malam-malam yang tanpa pejaman mata dan istirahat yang cukup itu dengan bayi yang kadang menangis, kadang tertawa, kadang pula demam badannya, kadang terbatuk karena pilek, dan kadang pula tertidur lelap dalam buaian dengan tugas laporan thesis ditangan. 

Bayi ini yang telah menyunggingkan sebait tawa, sebaris puisi cinta, selangit doa dan harapan. Bayi yang harus berpisah dengan ayahnya sebab tugas belajar ini. Inilah jalan yang saya harus tempuh dan selesaikan.

Dalam situasi tiada pilihan yang enak ini, maka berkali-kali pula saya ingat kembali kisah Hajar. Barangkali dengan membaca kisah keteguhan dan kekohona keyakinan-Nya pada Rabb, Allah akan mendatangkan pertolongan agar diri ini berteguh hati, bersabar melewati fase yang pahit ini. Sungguh, hanya dengan menyandarkan keyakinan akan pertolongan Allah sajalah yang mengisi menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, minggu dan tahun. Setiap lewat satu malam ke malam lainnya dan harapan itu selalu terbit pada tiap paginya, bahwa Allah akan terus menolong perjalanan panjang yang terjal ini. 

Nyatanya memang pertolongan Allah selalu hadir bak air hujan yang turun dengan deras silih berganti, bahkan pertolongan Allah hadir dalam tiap tarikan dan hembusan nafas. Sungguh ajaib rasanya, bagaimana menyaksikan pertolongan Allah yang bahkan seperti tiada berujung, sambung menyambung. Tidak bertitik. 

3 Januari 2017- 27 Mei 2018 saya lewati bulan-bulan yang panjang itu dengan berbagai rasa; kesedihan, kerinduan, keletihan, kelemahan, keteguhan, kegembiraan bercampur aduk jadi satu. Sesaat saya memejamkan mata, lalu memberi tepuk tangan kepada diri sendiri saat menyadari bahwa diri ini telah lulus melewati ujian yang getir ini. Bayi kecil itu telah tumbuh dengan jiwanya yang mandiri. Tiada pula berbekas rasa kesedihan dan duka cita ratusan malam sunyi yang telah kami lewati. Toga kelulusan dan baju kebesaran sudah dikenakan. Ya Rabb…kami telah tiba pada titik dari perjalanan panjang ini. Jika bukan karena pertolongan-Mu tiadalah kami sampai pada titik ini. 

Perjalanan ini masih sangat panjang dan berliku. kami masih harus terus melanjutkan perjalanan ini. Misi sesungguhnya dari perjalanan ini belum lagi usai. Masih banyak tantangan yang menjadi bagian dari rahasia dan sunnatullah. Maka hanya ridha-Mu, ikhtiar, memohon pertolongan, tawakkal dan pasrah seutuh-Nya terhadap ketentuan-Mulah kami berharap agar mampu menyelesaikan misi ini dengan utuh, hingga Engkau kumpulkan kami semua kelak di Jannah-Mu. Aamiin…

Evi Marlina
Depok, 12 Juni 2020

#navigasidanberaksi
#matrikulasibatch8
#institutibuprofesional
#belajardarirumah

Sumber foto : google

No comments: