“Amah kenapa sih pengen kuliah di Turki, nanti nggak ada yang
ngomelin Fauzan lagi.” Suara cempreng fauzan mematuk daun telingaku.
“iya miss, nanti
Rahman gak bisa belajar bahasa Inggris lagi sama miss.”
***
Di bawah putih bersihnya langit yang putihnya seperti kembang
melati, tepatnya di belakang gedung bangunan baru bercat biru langit, pada
sebuah lapangan golf itu aku terbiasa menghabiskan waktuku serampung mengajar homoschooling atau terkadang memberi les
Bahasa Inggris. Berbaring bersama 4 murid-murid kecilku di atas rumput hijau
yang perdu. Menanti matahari keemasan terbenam, sembari mendengarkan celoteh 4 matahari
kecil yang selalu membuatku “takut.”
“Amah nanti kalo uda di Turki pulangnya lama ya mah.” Suara
Hasan yang cempreng itu menyegak batukku. Aku tersenyum memandang ujung
rambutnya. Berdiri kaku, Jabrik dan matanya bulat indah. Usianya 10 tahun.
“Emang di Turki ada apa sih mah?” Suara Arif yang polos dalam
sayup usia 6 tahunnya turut menyikut sudut hatiku.
“Miss, Rahman mau juga miss kuliah di Luar negeri.”
Aku tak bisa menahan senyum melihat 4 wajah lugu mereka.
Rahman yang paling besar, kelas 2 SLTP. Dia murid les bahasa Inggrisku. Yang selalu
datang tepat waktu sebelum sempat aku merampungkan shalat asharku. Aku pastikan
dia sudah duduk manis di depan koridor RCQ. Menantiku dengan setia. Dia yang selalu
memanggilku Miss evi, seperti murid-muridku pada umumnya. Tidak terkecuali
murid-murid kecilku di RCQ, yang hampir sebagian besar terbiasa memanggilku kakak
atau amah (dalam bahasa arab).
“Lihat itu...” Aku menunjuk sebuah awan. Teringat novel Ahmad
Fuadi, Lima menara. Bulat-bulat mata mereka mengekor arah ujung jari telunjuk
tanganku, memandang langit.
“Awan yang biru di sebelah sana itu peta Turki, ada bulan dan
bintang. Nah ammah, besok akan belajar di sana insha Allah.” Jelasku. Meski aku
sendiri bergoyang-goyang dengan ucapan sendiri. Pasalnya daftar saja belum.
Bola mata yang bulat dan indah-indah itu mengikuti gerak tanganku.
Melukis awan di pintu langit. Binar-binar sinar mata kecil mereka saling
berdesakan, ujung bibirnya menkerucut berpendapat riuh bahwa itu bukan bentuk awan
peta Turki, melainkan gambar Ka’bah, Kota madinah, Mekah, Australia, pesawat
terbang, gajah, bahkan dinosaurus. Entahlah. Sementara fikiranku terbang jauh. Membentuk
sekantung bayangan yang tengah duduk di depan masjid Sultan Mahmed,
membayangkan menikmati pucuk ujung menara Sultan Mahmed yang gambarnya aku
koleksi dari hasil mendownlod di gugel. Membayangkan sedang menikmati tenangnya
suara adzan magrib di Masjid Biru.
“Kalian rajin-rajin ya belajar dan menghafalnya.” Aku menutup
perbincangan sore itu. Hari semakin gelap. Adzan sayup naik di pucuk daun perdu
di sisi danau lapangan golf.
Maret, 2012
***
Sudah beberapa hari ini aku tidak di depan notebook.
Alasannya sederhana. Apalagi jika tidak karena kelas Bahasa Turki yang selalu
mampu mengalihkan semua kosentrasiku tertuju padanya. Setiap hari kami di
tuntut harus mengerjakan PR dengan jumlah tugas yang seablek. Grammar, reading
dan terlebih tugas mengarang. Dan malam ini aku benar-benar sedang dalam
keadaan yang sesak. Teman-teman asrama kamarku sedang berselisih sesama mereka,
alasannya sederhana. Meski aku tidak pernah ikut terlibat didalamnya. Aku
tinggalkan kamar menuju ruang belajar. memutar murattal Ahmad Saud. Suara
pemuda hafidz cilik itu memenuhi rongga telingaku. Dan tidak ada yang bisa
kulakukan selain teringat 4 wajah murid kecil hebatku. Pun pada 9 murid putri
kesayanganku di RCQ.
***
Rumah Cerdas Qur’ani, 5 Oktober 2012
Tidak terlihat tanda-tanda akan turun hujan. Langit bergerak
tenang dalam rimah-rimah edarnya. Kota kecil Jambi sedang menikmati malam
tampaknya. Sebuah gedung sederhana yang menyempil di sisi hutan pinus kecil
teduh-teduh dalam selimut jangkrik dan suara burung but-but. Aku sendiri
kelelahan setelah seharian mondar-mandir dari galeri dan mengajar kelas sore
mahasiswa Putri ma’had.
Malam itu aku duduk resah. Melingkar bersama 9 murid putri
matahari. Di dalam kamar asrama RCQ. Kami baru saja merampungkan shalat magrib
berjamaah. Seperti biasa Ustadzah selalu memberikan wejangan singkat tentang
keharusan mencintai Al-Qur’an. Dan tidak ada hal lain yang bisa kami lakukan
selain menyimak dengan setia. Tidak pernah protes. Semua tunduk dan
mendengarkan dengan tekun. Sementara aku duduk semakin resah di samping Sundari.
Memandang nanar setiap jengkal jendela kamar, pintu, lemari, ranjang, bahkan
rak sepatu disisi pintu. Menahan hatiku. Kulirik jam di dinding asrama. Pukul
20:18 WIB. Hingga ustadzah mengakhiri nasehatnya.
“Insha Allah besok pagi Kak Evi akan berangkat ke Turki.”
Suara Ustadzah memecah hening. Semua memandang kaget padaku. Aku gagap dalam
bimbangku.
“Terimakasih kita untuk semua yang sudah Kak Evi lakukan
untuk RCQ.” Lanjut ustadzah. Dan aku semakin tertahan sedu.
“Kita berdoa agar Allah berikan kekuatan iman dan keteguhan
hati untuk terus beristiqomah. Berangkatlah...” Ustadzah mengangguk. Tidak
meneruskan.
Tak ada suara. Mataku menyembab. Membawa terbang pada episode
duduk di belakang lapangan golf beberapa bulan yang lalu bersama 4 murid
hebatku. Dan tangis kamipun pecah. Aku tergugu nanar. Itulah pertama kali aku
menangis di depan Ustadzah. Di depan 9 murid hebatku. Itu adalah malam
terakhirku di RCQ. Tempatku belajar untuk yang ke ribuan kalinya tentang sebuah
definisi “pengabdian.”
“Di mana pun kakak berada, tetaplah menghafal Al-Qur’an...”
Suara Sundari di tengah sesenggukan
tangisnya. Benar-benar pecah. Tanpa terkecuali Ustdazah. Dan malam pun menata
gelap. Turun semakin sempurna.
“Ustdzah afwan. Ana pamit...” Itu terakhir kalinya aku
menatap pintu kamar asrama RCQ tempat aku menghabiskan ramadhan terakhirku di
Indonesia. Aku melanjutkan tangisku di atas motor sembari membonceng Cici.
Menyusuri gelapnya lorong jalan raya kota Jambi yang sunyi. Hatiku bergemuruh.
Memikirkan tiket penerbangan pesawat Indonesia Turki, yang hingga detik malam
itu belum dikirim oleh Panitia pemberi beasiswa. Sementara besok pagi aku harus
sudah berangkat ke jakarta. Dan uangku hanya cukup untuk kebutuhan sementara
beberapa bulan awal di Turki...
Semua gelap. Lampu depan motorku tiba-tiba mati. Terpaksa ku
susuri jalan raya Jambi pada pukul 21:30 itu tanpa lampu motor.
***
Gedung bangunan baru bercat biru dengan 4 murid putra dan 9
murid putri penghafal Qur’an. Adalah alasan yang sering membuatku ketakutan
menghadapi mereka, pun pada sebuah pesan matahari. Melebihi rasa takutku
menanti “tidak kunjung datangnya TIKET PENERBANGAN INDONESIA TURKI.”
“Berangkatlah...” Suara ustadzah dan ketegasannya mengangguk berputar
menabuh-nabuh hatiku.
“Berangkatlah...”
No comments:
Post a Comment