Petikan kisah sakura lalu...
Kamu tahu hari Sabtu? Iya hari Sabtu, hari yang biasa kita
olah raga setiap pagi di lapangan sekolah. Hari yang biasanya semua murid
menggunakan baju training olah raga. Atau kadang juga ada cangkul dan parang di
lengan tangan kanan, lalu ember di lengan tangan kiri. Terus apa istimewanya?
Itu hari Sabtu saat aku Tsanawiyah dulu. Sabtu kali ini
adalah sabtu yang tidak berhenti membuat kedua bibirku berbantah-bantahan. Aku
tidak percaya jika sabtu ini adalah milik mekarnya bunga Sakura. Kau pernah
dengar bunga Sakura. Yang bunganya kecil mekar seperti bunga melati lebarnya. Warnanya
ada yang putih dan merah jambu. Kecil-kecil yang ayu merona.
Ah...Tapi ini bukan tentang bunga Sakura negeri matahari
terbit, atau negeri Samurai. Sabtu kali ini adalah tentang Sakura kepak-kepak negeri
bunga Tulip. Sulit dipercaya memang, bahkan teman-temanku pun tidak ada yang
mempercayainya. Bahwa di negeri tulip ada Sakura.
Iya tapi ia bermekaran cantik sekali, memeluk-meluk kelopak
mataku dari jauh. Membiarkan senyum di bibirku mengembang sepanjang hari sabtu
itu. Apa benar itu bunga Sakura. Entahlah, tapi aku mau bilang itu Sakura.
Ankara, Turkey 17 Maret ‘13
***
Hijau daun pohon karet yang basah pada pukul 07:00 pagi buta.
Aku duduk di bawahnya dengan 3 orang temanku. Mengabaikan basah rok seragam
putih biru. Hari Rabu, bukan hari Sabtu. Ini hari yang menegangkan bagiku. Aku
tidak suka hari Rabu. Semalam aku bergadang, untuk yang kesekian belasan
kalinya. Ah memang aku ini, selalu begitu. Tapi daya tahan jam bergadang untuk
malam Rabu porsinya 5 kali lipat lebih besar. Mataku bisa bengkak di buatnya,
tidak tidur semalaman. Badanku bisa panas jadi demam, demi menyambut hari Rabu.
Ini hari berbahaya. Dan bukan hari penting. Ingat.
***
Teeeng...teeeng...teeeng...
Kami berempat melompat dari duduk di atas tumpukan kayu pohon
karet. Mulut Astuti yang berwajah
lonjong hitam manis itu semakin komat-kamit. Suaranya yang besar
menggaung-gaung di antara pohon karet. Aku tidak kosentrasi. Imel yang badannya 3 kali lipat lebih berisi dariku
menjerit-jerit, memekik melengking sembari menutup telinga. Sementara si Nisa yang alis mata sebelah kanan atau
kirinya itu terpotong karena luka tidak berekspresi. Dan tentu bukan karena
sudah menguasai pelajaran sejarah, tapi karena memang aku yakin kalau ia baru
buka buku pagi itu juga.
Foto : Dokumen Pribadi
Aku melenggang mengabaikan jeritan dan lengkingan ketiga
temannku. Lumayan, meski aku juga ingin menjerit sebenarnya tapi lumayan lebih
banyak hafalanku dari ke tiga temanku itu. Hihi...ini bukan karena aku rajin.
Tapi lebih karena aku takut berdiri dengan kaki satu di depan kelas, atau lebih
tepatnya berkeliling lapangan bola voli 10 kali. Atau yang lebih mengerikan ada
angka 7 di raporku. Aku tidak mau. Aku tidak mau angka 10, tidak pula angka 8,
atau angka 6, aku mau angka 9 itu ada di raporku. Untuk pelajaran dan mata
ujian hari Rabu. Sejarah Kebudayaan Islam.
***
MADRASAH TSANAWIYAH SINGKUT I
Tidak ada yang berkutik. Benar-benar seperti sedang berada di
gudang madrasah dekat rumah. Menyeramkan. Kali ini kami harus menghabiskan 2
lembar soal ujian catur wulan kenaikan kelas. Dan ini adalah ujian yang paling
menakutkan untukku. Sejarah Kebudayaan Islam.
Meski sudah lembur semalaman menghafal buku setebal 2 kali
majalah Annida itu tetap saja ada yang menyangkut di otakku. Susah sekali
mengingatnya. 2 Jam kami berkutit dalam ujian. Aku sudah tidak sabar ingin
segera keluar dan berlari-lari di lapangan. Melompat-lompat mengacaukan kebun
jagung di samping kelas.
“Waktunya habis...SEMUA HARUS DI KUMPUL, TIDAK ADA LAGI YANG
MENULIS.” Suara garang pak Albajuri membentur daun telingaku. Panas sekali
rasanya. Dari 60 soal, satu buah soal tidak mampu aku jawab. Selebihnya aku
juga tidak yakin 97 persen akan seperti jalan perempatan depan rumahku yang
lurus dan sedikit berkerikil. Ah aku benar-benar lupa siapa nama sultan yang
berhasil menaklukan kota Konstantinopel itu.
***
Kantin sudah ramai. Dan kami sudah lupa dengan ujian Sejarah tentunya. Sepiring kecil Pecel mbah Yam memang tak ada duanya, mampu melupakan pertanyaan penting yang justeru tidak bisa aku jawab. Aneh sekali. Itukan pertanyaan paling mudah yang harusnya paling aku ingat. “Iya, tapi mana mungkin aku ingat semua. Pelajaran Sejarah kebudayaan Islam yang harus aku hafal kan bukan cuma nama Sultan yang telah menaklukkan Kota konstantinopel itu saja.” Aku membela diri.
Foto : kebun ini dahulu di penuhi dengan tanaman Jagung.
Aku makan sepiring pecel dengan bakwan gurih sepotong, di
sisi piring plastik berwarna biru itu ada syrup rasa pandan. Di pojok Astuti
berdiam diri tanpa menyentuh piring plastik biru yang berisi pecal dan sepotong
bakwan goreng dengan 5 buah cabe rawit hijau. Matanya menerawang memandang
jalan yang mulai mengering. Aku juga memilih melupakan bakwan gorengku. Beringsut
duduk mendekat di samping kirinya. Seolah ingin meringankan apa yang tengah
difikirkannnya.
“Sudahlah, tidak usah difikirkan ujian Sejarah kita, kan uda
selesai.” Aku mengatakan seolah aku tidak berbeban.
“Paling jelek nanti
pak Albajuri paling kasih angka 6.” Lanjutku.
“Tenang saja, nggak
mungkin pak Albajuri kasih angka 4.” Aku tidak berani menyebut angka 5, karena
angka 5 bisa muncul kapan saja. Tidak demikian dengan angka 4. Itu angka aman. Tidak
mungkin pak guru meletakkan angka 4 di rapor. Fikirku.
Aku menepuk-nepuk bahu kirinya. Menyodorkan bakwan di piring,
berharap dia menolak dan menyuruhku menggantikannya makan. Seratus persen aku
tidak akan berpura-pura menolak. Perkiraanku meleset, kedua tangannya yang
panjang itu meraih piring pecel lebih cepat dari yang aku fikirkan.
Menghabiskan sepiring pecel, sepotong bakwan gurih dan 5 buah cabe rawit hijau.
Dan menutupnya dengan meringis manis.
***
Ini hari terakhir ujian. Ujian sudah berlangsung sejak
seminggu yang lalu. Selalu di tutup dengan ujian Sejarah kebudayaan Islam.
“Kenapa sih, sejarah Islam itu selalu membuatku takut, banyak hafalan, gurunya
galak, dan nyatat terus.” Aku menggerutu di dalam hati menyusuri jalan tanah
menuju halaman sekolah. Gotong royong serampung ujian semester.
Astuti menenteng parang di tangan kanan. Imel menata
batu-batu kecil membentuk lingkaran di antara pohon beringin yang tingginya
masih sebahuku. Nisa duduk di bangku sembari bernyanyi pop zaman Nike Ardila.
Aku sibuk menggaruk tanah membuat lubang dengan cangkul butut yang berkarat.
“Aku sebel ujian sejarah Islam.” Suara Astuti menyeruak di
antara tanah yang hitam gembur.
“Mana bapaknya galaknya gak ketulungan.” Masih menggerutu.
Aku masih menggali dengan cangkul, sambil menebak-nebak nilai
yang bakal aku peroleh, berkisar angka 8 atau angka 6 terbalik. Jika beruntung.
Yah, meski menggunakan sistem kebut semalam dan tidak tidur hingga subuh
menjelang tapi itu cukup membantu menjebolkan 60 pertanyaan. Dan mengapa aku
justeru tersandung pada soal nomer 49, siapa Sultan yang berhasil menaklukkan
Konstantinopel, Turkey itu.
Matahari merangkak berang. Murid-murid Tsanawiyah satu persatu
meninggalkan gedung sekolah. Tinggal aku dan Astuti yang masih menanam
bibit-bibit beringin hampir di semua depan kelas.
Sekolah sudah sepi. “Besok kalo aku sudah lulus dan pergi
melanjutkan sekolah jauh meninggalkan kampung kita, pas pulang aku mau lihat
sejauh mana tinggi dan rindangnya.” Aku bercakap di depan Astuti. Sementara ia
masih sibuk mengangkut bibit-bibit beringin di tangannya. Suasana hening.
Sekolah sunyi. Semua murid sudah pulang. Aku dan Astuti masih terus menanam bibit-bibit
beringin di depan kelas-kelas sekolah kami.
“Besok kalo aku sudah lulus dan pergi melanjutkan sekolah
jauh meninggalkan kampung kita, pas pulang aku mau lihat sejauh mana tinggi dan
rindangnya.” Aku mengulangi ucapanku. Lebih tinggi. Sedikit kesal karena merasa
Astuti mengacuhkanku.
“Kemana emangnya.” Astuti berhenti mengayunkan cangkulnya.
Menyodorkan bibit beringin yang baru saja ia pisahkan dari kantong kolibet.
Aku berhenti menggaruk tanah. Mengambil bibit beringin dari
tangannya dan menancapkannya berang ke dalam tanah “Ke bumi Sultan PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL.”
Jawabku dengan kesal. Sementara angin mengibarkan jilbab putihku. Berayun-ayun.
Foto : Bunga mangkok di sepan kelas itu, kini masih subur...
@Bersambung pada catatan harianku...
No comments:
Post a Comment