Reminder

"Beri aku pelajaran TERSULIT, aku akan BELAJAR" Maryamah Karpov

Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya, dan yang membuka pendengaran dan penglihatannya

Dengan daya dan kekuatan dari-Nya, maka Maha Suci Allah, Sebaik-baik pencipta

(Tilawah Sajadah)

Friday, April 5, 2013

#Part 2. Sakura untuk Sultan KONSTANTINOPEL

Petikan kisah sakura lalu...

Kamu tahu hari Sabtu? Iya hari Sabtu, hari yang biasa kita olah raga setiap pagi di lapangan sekolah. Hari yang biasanya semua murid menggunakan baju training olah raga. Atau kadang juga ada cangkul dan parang di lengan tangan kanan, lalu ember di lengan tangan kiri. Terus apa istimewanya?

Itu hari Sabtu saat aku Tsanawiyah dulu. Sabtu kali ini adalah sabtu yang tidak berhenti membuat kedua bibirku berbantah-bantahan. Aku tidak percaya jika sabtu ini adalah milik mekarnya bunga Sakura. Kau pernah dengar bunga Sakura. Yang bunganya kecil mekar seperti bunga melati lebarnya. Warnanya ada yang putih dan merah jambu. Kecil-kecil yang ayu merona.
Ah...Tapi ini bukan tentang bunga Sakura negeri matahari terbit, atau negeri Samurai. Sabtu kali ini adalah tentang Sakura kepak-kepak negeri bunga Tulip. Sulit dipercaya memang, bahkan teman-temanku pun tidak ada yang mempercayainya. Bahwa di negeri tulip ada Sakura.

Iya tapi ia bermekaran cantik sekali, memeluk-meluk kelopak mataku dari jauh. Membiarkan senyum di bibirku mengembang sepanjang hari sabtu itu. Apa benar itu bunga Sakura. Entahlah, tapi aku mau bilang itu Sakura.

Ankara, Turkey 17 Maret ‘13
***
Hijau daun pohon karet yang basah pada pukul 07:00 pagi buta. Aku duduk di bawahnya dengan 3 orang temanku. Mengabaikan basah rok seragam putih biru. Hari Rabu, bukan hari Sabtu. Ini hari yang menegangkan bagiku. Aku tidak suka hari Rabu. Semalam aku bergadang, untuk yang kesekian belasan kalinya. Ah memang aku ini, selalu begitu. Tapi daya tahan jam bergadang untuk malam Rabu porsinya 5 kali lipat lebih besar. Mataku bisa bengkak di buatnya, tidak tidur semalaman. Badanku bisa panas jadi demam, demi menyambut hari Rabu. Ini hari berbahaya. Dan bukan hari penting. Ingat.

***
Teeeng...teeeng...teeeng...
Kami berempat melompat dari duduk di atas tumpukan kayu pohon karet. Mulut Astuti yang berwajah lonjong hitam manis itu semakin komat-kamit. Suaranya yang besar menggaung-gaung di antara pohon karet. Aku tidak kosentrasi. Imel yang badannya 3 kali lipat lebih berisi dariku menjerit-jerit, memekik melengking sembari menutup telinga. Sementara si Nisa yang alis mata sebelah kanan atau kirinya itu terpotong karena luka tidak berekspresi. Dan tentu bukan karena sudah menguasai pelajaran sejarah, tapi karena memang aku yakin kalau ia baru buka buku pagi itu juga.
Foto : Dokumen Pribadi

Aku melenggang mengabaikan jeritan dan lengkingan ketiga temannku. Lumayan, meski aku juga ingin menjerit sebenarnya tapi lumayan lebih banyak hafalanku dari ke tiga temanku itu. Hihi...ini bukan karena aku rajin. Tapi lebih karena aku takut berdiri dengan kaki satu di depan kelas, atau lebih tepatnya berkeliling lapangan bola voli 10 kali. Atau yang lebih mengerikan ada angka 7 di raporku. Aku tidak mau. Aku tidak mau angka 10, tidak pula angka 8, atau angka 6, aku mau angka 9 itu ada di raporku. Untuk pelajaran dan mata ujian hari Rabu. Sejarah Kebudayaan Islam.
***

MADRASAH TSANAWIYAH SINGKUT I

Kelas hening. Hanya ada suara burung but-but di ladang karet. Sekolahku memang di tengah ladang karet.

Tidak ada yang berkutik. Benar-benar seperti sedang berada di gudang madrasah dekat rumah. Menyeramkan. Kali ini kami harus menghabiskan 2 lembar soal ujian catur wulan kenaikan kelas. Dan ini adalah ujian yang paling menakutkan untukku. Sejarah Kebudayaan Islam.

Meski sudah lembur semalaman menghafal buku setebal 2 kali majalah Annida itu tetap saja ada yang menyangkut di otakku. Susah sekali mengingatnya. 2 Jam kami berkutit dalam ujian. Aku sudah tidak sabar ingin segera keluar dan berlari-lari di lapangan. Melompat-lompat mengacaukan kebun jagung di samping kelas.

“Waktunya habis...SEMUA HARUS DI KUMPUL, TIDAK ADA LAGI YANG MENULIS.” Suara garang pak Albajuri membentur daun telingaku. Panas sekali rasanya. Dari 60 soal, satu buah soal tidak mampu aku jawab. Selebihnya aku juga tidak yakin 97 persen akan seperti jalan perempatan depan rumahku yang lurus dan sedikit berkerikil. Ah aku benar-benar lupa siapa nama sultan yang berhasil menaklukan kota Konstantinopel itu.
***

Kantin sudah ramai. Dan kami sudah lupa dengan ujian Sejarah tentunya. Sepiring kecil Pecel mbah Yam memang tak ada duanya, mampu melupakan pertanyaan penting yang justeru tidak bisa aku jawab. Aneh sekali. Itukan pertanyaan paling mudah yang harusnya paling aku ingat. “Iya, tapi mana mungkin aku ingat semua. Pelajaran Sejarah kebudayaan Islam yang harus aku hafal kan bukan cuma nama Sultan yang telah menaklukkan Kota konstantinopel itu saja.” Aku membela diri.

Foto : kebun ini dahulu di penuhi dengan tanaman Jagung.

Aku makan sepiring pecel dengan bakwan gurih sepotong, di sisi piring plastik berwarna biru itu ada syrup rasa pandan. Di pojok Astuti berdiam diri tanpa menyentuh piring plastik biru yang berisi pecal dan sepotong bakwan goreng dengan 5 buah cabe rawit hijau. Matanya menerawang memandang jalan yang mulai mengering. Aku juga memilih melupakan bakwan gorengku. Beringsut duduk mendekat di samping kirinya. Seolah ingin meringankan apa yang tengah difikirkannnya.

“Sudahlah, tidak usah difikirkan ujian Sejarah kita, kan uda selesai.” Aku mengatakan seolah aku tidak berbeban.

“Paling jelek nanti pak Albajuri paling kasih angka 6.” Lanjutku.

“Tenang saja, nggak mungkin pak Albajuri kasih angka 4.” Aku tidak berani menyebut angka 5, karena angka 5 bisa muncul kapan saja. Tidak demikian dengan angka 4. Itu angka aman. Tidak mungkin pak guru meletakkan angka 4 di rapor. Fikirku.

Aku menepuk-nepuk bahu kirinya. Menyodorkan bakwan di piring, berharap dia menolak dan menyuruhku menggantikannya makan. Seratus persen aku tidak akan berpura-pura menolak. Perkiraanku meleset, kedua tangannya yang panjang itu meraih piring pecel lebih cepat dari yang aku fikirkan. Menghabiskan sepiring pecel, sepotong bakwan gurih dan 5 buah cabe rawit hijau. Dan menutupnya dengan meringis manis.
***
Ini hari terakhir ujian. Ujian sudah berlangsung sejak seminggu yang lalu. Selalu di tutup dengan ujian Sejarah kebudayaan Islam. “Kenapa sih, sejarah Islam itu selalu membuatku takut, banyak hafalan, gurunya galak, dan nyatat terus.” Aku menggerutu di dalam hati menyusuri jalan tanah menuju halaman sekolah. Gotong royong serampung ujian semester.

Astuti menenteng parang di tangan kanan. Imel menata batu-batu kecil membentuk lingkaran di antara pohon beringin yang tingginya masih sebahuku. Nisa duduk di bangku sembari bernyanyi pop zaman Nike Ardila. Aku sibuk menggaruk tanah membuat lubang dengan cangkul butut yang berkarat.

“Aku sebel ujian sejarah Islam.” Suara Astuti menyeruak di antara tanah yang hitam gembur.

“Mana bapaknya galaknya gak ketulungan.” Masih menggerutu.

Aku masih menggali dengan cangkul, sambil menebak-nebak nilai yang bakal aku peroleh, berkisar angka 8 atau angka 6 terbalik. Jika beruntung. Yah, meski menggunakan sistem kebut semalam dan tidak tidur hingga subuh menjelang tapi itu cukup membantu menjebolkan 60 pertanyaan. Dan mengapa aku justeru tersandung pada soal nomer 49, siapa Sultan yang berhasil menaklukkan Konstantinopel, Turkey itu.

Matahari merangkak berang. Murid-murid Tsanawiyah satu persatu meninggalkan gedung sekolah. Tinggal aku dan Astuti yang masih menanam bibit-bibit beringin hampir di semua depan kelas.

Sekolah sudah sepi. “Besok kalo aku sudah lulus dan pergi melanjutkan sekolah jauh meninggalkan kampung kita, pas pulang aku mau lihat sejauh mana tinggi dan rindangnya.” Aku bercakap di depan Astuti. Sementara ia masih sibuk mengangkut bibit-bibit beringin di tangannya. Suasana hening. Sekolah sunyi. Semua murid sudah pulang. Aku dan Astuti masih terus menanam bibit-bibit beringin di depan kelas-kelas sekolah kami.

“Besok kalo aku sudah lulus dan pergi melanjutkan sekolah jauh meninggalkan kampung kita, pas pulang aku mau lihat sejauh mana tinggi dan rindangnya.” Aku mengulangi ucapanku. Lebih tinggi. Sedikit kesal karena merasa Astuti mengacuhkanku.

“Kemana emangnya.” Astuti berhenti mengayunkan cangkulnya. Menyodorkan bibit beringin yang baru saja ia pisahkan dari kantong kolibet.

Aku berhenti menggaruk tanah. Mengambil bibit beringin dari tangannya dan menancapkannya berang ke dalam tanah “Ke bumi Sultan PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL.” Jawabku dengan kesal. Sementara angin mengibarkan jilbab putihku. Berayun-ayun.

Foto : Bunga mangkok di sepan kelas itu, kini masih subur...



@Bersambung pada catatan harianku...

No comments: