Reminder

"Beri aku pelajaran TERSULIT, aku akan BELAJAR" Maryamah Karpov

Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya, dan yang membuka pendengaran dan penglihatannya

Dengan daya dan kekuatan dari-Nya, maka Maha Suci Allah, Sebaik-baik pencipta

(Tilawah Sajadah)

Sunday, May 3, 2015

Yang hitam; Hanyalah warna kulit

Yang hitam; Hanyalah warna kulit
================


Lihatlah langit di ujung lorong sana,

Ternyata masih banyak tempat-tempat baru yang belum kita kunjungi,
masih banyak buku-buku yang belum kita baca,
dan masih banyak teman duduk yang belum kita kenal
(kata bijak)

Daun mapel hijau rimbun memenuhi pokok-pokok batang yang kekar. Aku suka sekali mengumpulkan daunnya yang kering berjatuhan lalu menyelipkan diantara buku-buku kampus. Menuliskan sesuatu pada permukaan daunnya, “Turki, Mei Spring 2015” dan semacanya. Meski sedikit rada kesal setiap kali mengingat daun mapel, pasalnya blog catatanku berubah akibat mengutak-atiknya beberapa pekan lalu, background daun mapel yang aku sukai itu hilang. Berubah template. Hoho… sudahlah.

Dua hari lalu aku menyempatkan sarapan dan ngobrol lebih panjang dengan seorang teman berkebangsaan Somalia, Fatimah namanya. Perawakannya besar dengan jilbab yang sangat besar dan longgar khas muslimah Somalia. Kalau berbicara suaranya tinggi sekali. Gadis yang baik hati dan rajin sekali menyapa setiap kali kami bertemu dipagi hari untuk menggosok gigi. Ia adalah mahasiswi tingkat S1.


Hari itu 1 Mei 2015, kebetulan adalah hari libur nasional, peringatan hari buruh nasional di Turki. Asrama terlihat lebih sepi karena sebagian besar para mahasiswa berangkat piknik. Aku sendiri memilih tetap di asrama, karena beberapa hari sebelumnya telah berkunjung ke Istanbul.

##

"Fatimah apakah kamu tidak berencana pergi kesuatu tempat hari ini?" Tanyaku pada Fatimah saat kami beriringan mengangkat tapsi hendak sarapan pagi.


"No, I will stay here today.” Jawabnya singkat sembari meraih sebungkus peynir, si keju putih berbentuk persegi panjang, mirip tahu warnanya. Dan rasanya sudah tentu asin.



"Oh okay, let's have breakfast together." Aku mengajaknya sarapan di meja yang sama. Menuju tempat duduk di sisi tengah, lebih dekat dengan TV asrama yang ukuran layarnya lebih lebar.

##

Singkat kata, percakapan di sela-sela sarapan kami berdua.

"Fatimah, aku tahu bahwa Somalia adalah negara yang masyarakatnya mayoritas muslim, adakah yang berasal dari agama lain?"


"No, a hundred percent." Jawabnya.


"A hundred percent? Really?" Saya mendongakkan wajah mendekat ke wajahnya.

"Yes, a hundred percent. Maybe there is another religion about 2 or 3 percent only."

"Apakah kamu juga menghafal Al-Qur'an sebagaimana anak-anak Somalia pada umumnya." Aku masih ingat dengan jelas, percakapan dengan seorang teman Tomer Somalia setahun yang lalu. Ngajinya indah, fasih tajwidnya, mirip cara membaca Al-Qur’an masyarakat muslim Indonesia pada umumnya. Dan ternyata benar, masyarakat Somalia pandai membaca Al-Qur’an. Para orang tua mewajibkan anak-anak Somalia untuk menghadiri madrasah-madrasah Qur’an.


"Yes, I memorized it." Jawab Fatimah singkat, membuyarkan lamunan ingatanku.

“Apakah anak-anak Somalia diwajibkan belajar Al-Qur'an sejak kecil?
“Yes. Semua anak-anak Somalia wajib belajar Al-Qur'an sejak kecil. Orang tua kami akan mengajarkan membaca Al-Qur'an sejak dini.“


"Pada usia berapa ibumu mengajarkan Al-Qur'an?" Tanyaku kembali.



"Pada usia 3 tahun, İbu telah mengajarkan Al-Qur'an. Yah, sejak lebih kecil dari itu tepatnya. Namun pada usia 3 tahun Ibuku mulai mengajarkan padaku untuk menyimaknya setiap malam, itu seperti sebuah kelas wajib."

“Bagaimana orang tuamu mengajarkan Al-Qur'an di usia sedini ıtu?” Aku ingin tahu.


"Ibuku menyediakan papan tulis di rumah, meja, buku, serta pena dan pensil. Setiap hari ia mengajariku membaca, meskipun aku belum mengerti apa-apa. Aku hanya melihat, memperhatikan dan mendengarkannya meski aku tidak tahu apa arti yang di ucapkkan oleh ıbu. Aku senang sekali mengingat masa itu. Ibuku melakukannya setiap hari. Hingga aku menjadi hafal sendiri.."



"...masha Allah." Aku teringat kembali dengan teman-teman Somalia semasa Tomer yang juga menceritakan hal yang sama.

"Apakah orang tuamu tidak mengirimkan ke sekolah umum?"


"Kami sekolah umum di pagi hari dan pada sore hari mengikuti kelas madrasah. Di madrasah kami belajar menulis Arab, belajar mengeja dan kemudian mendengarkan guru-guru kami membaca Al-Qur'an. Setelah mampu membaca dengan baik, tugas selanjutnya adalah menghafal Al-Qur'an di rumah untuk kemudian disetorkan pada keesokan harinya. Begıtu setiap hari, hingga kami bisa menyelesaikan hafalan perjuznya. Kau tahu Hanifa, Ibuku tidak akan mengizinkan kami masuk sekolah umum pemerintah sebelum menghafalkan beberapa juz dari Al-Qur’an. Dan semua orang tua kami seperti itu."



"Pada usia berapa kamu menyelesaikan hafalan."

"Pada umumnya anak-anak Somalia akan menyelesaikan hafalan pada usia di bawah 10 tahun. Aku termasuk yang lambat menyelesaikan tepatnya pada usiaku yang ke 11 tahun, haha. Aku senang sekali setiap mengenang masa kecil."


"Tidakkah kamu merasa bosan belajar Al-Qur'an dan menghafalkannya."


"Entahlah, kami para anak-anak selalu merasa bersemangat. Hanifa kau tahu, ketika itu aku merasa seperti sedang mengikuti sebuah kompetisi menghafal Al-Qur'an setiap hari. Aku selalu ingin menjadi nomor satu untuk menyetorkan hafalan pada guru madrasah. Semua anak-anak ingin menjadi yang paling baik di kelas. Setiap hari sebelum memulai belajar, guru-guru madrasah selalu bertanya "siapakah yang akan menjadi orang pertama menyelesaikan hafalan Al-Qur'an di kelas ini?" Haha, aku selalu bersemangat sekali ingin menunjukkan pada guru madrasah bahwa aku akan menyelesaikan lebih dahulu.”

"Haha, itu pasti hal yang menyenangkan sekali.” Aku ikut tergelak gembira menyimaknya mengisahkan masa kecil.


Kami larut dalam percakapan dan tawa. Membayangkan ramainya anak-anak berlomba ingin menjadi yang nomor satu menuntaskan hafalan.



“Bagaimana dengan anak yang tidak mau menghafal Al-Qur’an?” Aku penasaran.



“Semua anak-anak bersemangat untuk pergi ke madrasah. Orang tuaku selalu bilang, bahwa kalau sudah menghafal Al-Qur’an aku bisa menguasai ilmu apa saja yang aku mau. Aku jadi semangat untuk menghafal. Masa ıtu manis sekali.”



“Apakah orang tuamu juga menghafal Al-Qur’an?”



“Iya para orang tua kami juga berjuang menghafal Al-Qur'an. Aku suka sekali pada ayahku. Ia memiliki hafalan yang sangat kuat. Haha, aku tak sekuat ayahku. Hafalanku beberapa banyak yang hilang, karena tak rajin mengulang.”



“Ketika kecil, sehari berapa halaman engkau menghafal?”

“Aku terbiasa menghafal satu setengah halaman. Sekarang aku berusaha untuk menghafal dan mengulangnya kembali 4-5 halaman setiap harinya. Kata ayahku, bila aku tak menghafalnya dengan sangat kuat dalam ingatan, maka hafalanku akan mudah hilang.”


“Fatimah, berapa jumlah anak pada umumnya dalam keluarga Somalia.” Entah topik dari mana tiba-tiba aku menanyakan ini.


“Rata-rata kami memiliki keluarga yang besar. Tetanggaku jumlah anaknya ada yang sepuluh hingga 18. Tetapi aku hanya empat bersaudara.”

“Haa…masha Allah lebih dari sepuluh? Lalu bagaimana dengan keluarga yang memiliki kesulitan ekonomi, apakah mereka juga memiliki banyak anak?” Tanyaku penasaran.
“Iya tentu saja, masyarakat Somalia senang memiliki anak—anak yang banyak.”
“Adakah mereka khawatir dengan keadaan anak-anak mereka oleh sebab keadaan yang miskin?”
“Tidak, mereka yakin pada Allah. Tidak takut dengan keadaan yang miskin, meski anak mereka banyak sekali. Aku memiliki tetangga yang miskin, dan memliki 12 orang anak.”


“Apakah anak-anak mereka juga menghafal Al-Qur’an?”

“Iya, mereka akan sangat bangga anak-anak mereka berangkat ke madrasah dan menghafal Al-Qur’an. Mereka juga bisa belajar dengan gratis di madrasah. Itu menyenangkan sekali.”
"Masha Allah." Aku menggumam dalam tasbih. Sementara dari sisi jendela asrama terlihat bunga lavender berayun tenang menyebarkan harum aromanya.


“Fatimah terimakasih telah berbagi denganku hari ini.” Kataku kemudian, ketika menyadari piring-piring sarapan kami telah kosong.

“Oh no Hanifa, aku yang harus berterima kasih, hari ini kau telah mengajakku bertamasya mengenang masa kecil yang sungguh manis. Hatiku gembira bisa menceritakannya padamu.”


Somalia! Bangsa yang berkulit hitam namun hatinya penuh cahaya-cahaya.


Sakura RT, Çankaya, 3 Mei 2015 
Keterangan foto: sumber foto gugel.

2 comments:

Anonymous said...

selalu sarat makna seperti yang sudah*sudah. Terima kasih mba Evi dan Fatimah (salam kenal dari Fatimah di Bursa)

Evi Marlina said...

makasih dek Izza sudah berkunjung ke Ankara ya ^_^