Pasar busuk dan bauk penguk apa lagi
di musim Ramadhan adalah besar kemungkinan mual dan “menggerahkan” bagi
sebagian high lifestyle class. Oke itu wajar dan boleh, saya juga dulu pernah begitu.
Merasa jijik dan gengsi untuk memasuki kawasan pasar tradsional super jorok di
sudut Kota Jambi itu. Selain bauknya penguk luar biasa di tambah akan banyak
sekali peminta-minta berjubelan di sana. Ah…alangkah buruknya hatiku.
Pasar Tradisional Angso Duo Jambi,
adalah pasar tempat hati belajar, melihat anak-anak usia 5-12 tahun jualan
kantong asoy seharga 500 rupiah, padahal mereka masih sangat kecil untuk
menghadapi itu semua, melihat nenek tua berambut putih bungkuk mengumpulkan
cabai busuk di pilih-pilih yang bagus dan di jual kembali, melihat kakek tua
nan bungkuk menarik gerobak besar berisi berkarung-karung beras, jalannya
miring-miring, ototnya keluar-keluar, dan keringatnya, banjir basah. Pun melihat
pengemis tua duduk di sudut comberan di samping tong sampah besar yang tak
kalah busuk baunya, melihat ibuk tua jualan bedak-bedak yang bisa jadi sudah
berapa umur bedaknya (kadaluarsa) duduk terkantuk-kantuk menanti pembeli, juga
ada laki-laki muda yang memotong-motong daging sapi dan terpaksa rela terkena
comberan yang menggenang di sampingnya, mengabaikan rambutnya pun badannya
sendiri. Di sana juga bisa melihat yang orang bilang si kaki buntung
merayap-rayap di atas tanah basah yang anyir bauknya, mengais belas kasih dari
pengunjung yang juga tak kalah sengit.
Di sana tidak hanya cerita tentang
orang kelas bawah, tidak hanya cerita tentang bau busuknya comberan angso duo,
tidak juga hanya tentang kakek tua bungkuk yang terhuyung-huyung menarik
gerobak. Di sana tempat hati banyak belajar hal-hal yang “menderus air mata” bagaimana
melmbutkan hati yang keras dan jiwa yang kasar. inilah kehidupan yang
sesungguhnya. Dari sana diriku, secara pribadi belajar bagaimana menghargai
hidup, bagaimana menghargai hidup, dan bagaimana “bentuk dari syukur” itu
sendiri.
Evi Marlina
19 Ramadhan 1433 H
No comments:
Post a Comment