Salju turun perlahan setelah beberapa menit yang lalu langit gelap dan hujan turum dengan derasnya. "Masha Allah." Gumamku dalam hati. Baru beberapa menit yang lalu hujan mengguyur kota Ankara, beberapa detik kemudian berganti dengan guyuran putih salju yang turun mengarak putih. Sementara aku masih berdiri menghadap jendela kamar apartemen, menatap lorong jalanan yang lengang. Tidak terlihat orang berlalu lalang. Gembira bercampur resah, pasalnya hari Rabu itu adalah kelas pertemuan untuk ujian analisis statistik. Cemas bagaimana mengangkut benda berat bernama leptop. Jalanan akan basah dan suhu minus akan sangat dingin di luar sana.
Bismillah! Aku menguatkan hati setelah mengirim pesan pada suami.
"Jadi bagaimana? Mau tetap berangkat ke kampus?" Tanya Mas Faris dari pesan yang ia kirimkan.
"Iya Masku, aku harus tetap berangkat ke kampus hari ini." Jawabku mantap, meski sebenarnya hatiku berdebar tidak karuan. Memikirkan beratnya perjalanan jauh yang harus aku tempuh dari rumah ke kampus, ditambah hujan salju yang turun dengan lebatnya.
Setelah bersiap sarapan, mengenakan pakaian dingin, kazak wol, kaus kaki, sarung tangan, syal dan padesu tahan air aku pamit berangkat meninggalkan rumah. Mencangking tas ransel yang berisi leptop. Lumayan padat dan berat. "Oh...kuatkanlah ya Rabb." Inı adalah perjalanan untuk yang kesekian kalinya ke kampus mencangking tas yang berisi leptop. Kandunganku sudah memasuki bulan ke enam, sehingga kesulitan mengangkat beban. Terlebih leptop yang sudah tidak mungkin untuk aku gendong di punggung.
Perjalanan yang tidak mudah di lewati di masa kehamilan ini. Perjalanan yang biasanya bisa aku tempuh hanya dengan maksimal 1 jam kini menjadi 2 jam perjalanan, mulai dari berjalan kaki menuju halte, menanti bus arah kızılay, pejalanan bis menuju kızılay, lalu melanjutkan berjalan kaki ke metro kereta, naik kereta, dan melanjutkan jalan kaki menuju kampus.
Hari itu, salju turun bertambah deras dan kuat, aku lupa membawa payung. Untunglah syal panjang yang tidak sengaja aku beli dari seorang nenek tua di tepi jalan beberapa minggu yang lalu mampu melindungi kepala dan hidungku dari tajamnya salju pagi itu. Lelah tubuh memang tiada terkatakan, aku tidak mampu berjalan dengan cepat karena mencangking beban leptop. Menyerah? Itu bukan pilihan terbaik. Menangis? Boleh saja, namun tidak ada pilihan selain melanjutkan perjalanan menuju kampus. Kufikir tidak akan ada bedanya jika meminta izin tidak berangkat ke kampus karena hujan salju ini, yang terpenting adalah aku masih sehat untuk melanjutkan perjalanan meski sudah lemah sekali fisikku. Dalam hati berulang kali mengingatkan kisah-kisah para shabiyah yang juga menempuh perjalanan hijrah dalam keadaan mengandung. Ya Rabb, ujianku ini tidaklah seberat para sahabat. Aku masıh bisa naik bis. Boleh berhenti dan menangis namun hanya untuk sejenak, bukan untuk berhenti dan berbalik ke belakang.
Alhasil setelah nyaris dua jam perjalanan, aku menangis di sisi gerbang Hukuk Fakultesi. Tempat biasa sang Paman Tua penjual roti simit. "Ya Allah, beratnya perjuangan ini. tidaklah Engkau memilihku untuk melewati ujian ini melainkan karena in sha Allah aku mampu melewatinya." Aku menyembunyikan suara tangisku di bawah hujan salju, sesegera mungkin menghapusnya dengan syal yang membalut kepalaku, bersembunyi di sisi gerbang Fakultas Hukum. Tidak pula berani mengabarkan ini pada Mas Faris, aku tidak mau membuatnya semakin mencemaskan keadaanku. Setelah tuntas tangisku, aku melanjutkan perjalanan menuju Fakultas, mampir di ruang makan umum mahasiswa di kampus. Melepaskan semua letih dan penat, menikmati sup hangat dan sepiring Fasulye becampur potongan daging sapi. Aku segera mengabarkan pada suami bahwa aku telah sampai dengan selamat. Alhamdulillah ya Allah.
Pukul 14:00 masuk ke dalam kelas. Hanya terdapat beberapa orang. Oh..ternyata karena hujan salju banyak yang tidak hadir hari itu. Kelas ujian analisis di pending pekan depan. "Masha Allah." Aku memandangi leptopku...
Salju turun hingga petang, kelas usai pukul 16:30 Turki. Serampung shalat ashar dan menanti shalat magrib aku duduk mematung di depan fakultas. Hoca berulangkali menanyakan apakah aku merasa berat membawa leptop ke kampus. "tentu saja leptop ini sangat berat." Dalam hatiku, meski aku akan membawanya dengan senang hati, jika memang harus belajar menggunakan leptop.
Aku pamit meninggalkan kampus, menikmati salju yang berbentuk bintang turun memenuhi langit kota Ankara. "Lihat Nak, indahnya langit yang dipenuhi salju, sungguh segala puji hanya bagi Mu Allah." Bisikku pada janin dalam rahimku.
"Sayang, kamu sudah dimana?" Handphoneku bergetar.
Aku membaca dan menyambut pesan itu dengan sepenuh cinta. Sembab mataku penuh haru dan kerinduan. Sebuah pesan dari separuh jiwaku, Suamiku Ust. Faris Jihady Hanifa, alhafidz. I love You Masku, terimakasih atas kasih sayang dan semua kebaikanmu padaku.
No comments:
Post a Comment