Sepatu Siapakah ini?
================
Hari masih berkabut pagi, harum rumput Puncak Bogor dengan baiknya masuk perlahan dari celah-celah kaca jendela yang setengah terbuka. Terlihat Mas Faris di luar sana bersenandung teduh di bawah sisa hujan, menikmati aroma embun rumput hijau dan pegunungan biru yang berbaris rapi di sisi lereng. Aku tengah berkemas, menyiapkan keperluan. Sementara televisi bersuara, menyala riang. Rasa pegal dikaki meminta menyempatkan duduk sejenak, kedua bola mataku melayangkan pandangan pada sebuah tayangan film yang membawa ingatan era kanak-kanak.
"Kamu nonton filem apa tuch?"
Tiba-tiba suara Mas Faris bersandar di sisi telinga.
"Hihi, ini filem zaman kanak-kanak Masku." Jawabku singkat.
"Filem begituan kok ditonton." Kata Mas Faris lagi.
"Bukan Mascim, tadi pas dinyalain yang muncul langsung film ini."
***
Siapakah yang tidak mengenal kisah putri malang pemilik sepatu nan indah ini? Sepatu yang kisahnya membuat anak-anak di pelosok desa terpencil pun berlomba-lomba untuk memilikinya. Diproduksilah beragam sepatu kaca dengan tujuan utama anak-anak sebagai konsumennya.
Sepatu kaca milik puteri Cinderella ini adalah satu fenomena dari sekian banyak kisah dongeng negeri khayangan yang demikian terlihat cantik dan menarik hati, film dongeng yang mampu mengajak anak-anak berimajnasi penuh, serta mendorong keinginan menjadi seperti mereka. Tidak kalah lagi dengan film Berbie yang berpakaian seperti putri ratu, mendorong anak-anak juga menginginkan menjadi seorang puteri.
Dalam kisah Putri Cinderella "mungkin" dalam tanda kutip, ingin menyampaikan kebaikan nilai bahwa kebaikan akan berbuah kebaikan. Kisah Putri Rapunzell, Puteri Salju dan masih banyak kisah-kisah puteri-puteri negeri dongeng lainnya. Namun, sayang sekali seiring anak-anak kita (anak didik, anak-anak tetangga, dan adik-adik kita) yang tumbuh menjadi dewasa, kenyataannya tidaklah mereka temukan sosok puteri impiannya itu dalam kehidupan nyata. Tokoh kebaikan itu ternyata semu. Tidaklah pernah ditemukan dalam buku-buku sejarah sekolah mau pun dalam peninggalan di ruang museum.
Kisah yang dikemas "seolah-olah" adalah sesuai untuk usia anak-anak ini, baik kita sadari mau pun tidak bukankah sebenarnya kurang tepat bahkan tidak layak menjadi konsumsi mata, dan fikiran anak-anak. Disana banyak kita temukan sisipan kisah-kisah "cinta pangeran dan sang puteri." Hampir kebanyakan rata-rata semua film negeri dongeng dengan "sasaran utama anak-anak" menyisipkan tentang "kenyataan yang sesungguhnya berbahaya" bagi pergaulan dan perkembangan anak-anak bukan? Tentu tidaklah kita menginginkan anak-anak tumbuh dengan sosok-sosok idola yang sungguh semu ini.
"Padahal kisah-kisah sesungguhnya memainkan peran yang demikian penting dalam membangun kesadaran akal dan intelektual anak. Bahkan menempati posisi pertama dalam metode pengembangan pemikiran anak yang efektif. Kisah-kisah Rasul adalah kisah-kisah nyata yang bersumber dengan referensi yang murni. Mengisahkan sejarah kehidupan mereka adalah sebaik-baik cara untuk menanamkan nilai-nilai utama ke dalam jiwa anak." (Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid).
#saatnyamenyeleksitontonananak-anakkita
Depok, 21022016
No comments:
Post a Comment