Reminder

"Beri aku pelajaran TERSULIT, aku akan BELAJAR" Maryamah Karpov

Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya, dan yang membuka pendengaran dan penglihatannya

Dengan daya dan kekuatan dari-Nya, maka Maha Suci Allah, Sebaik-baik pencipta

(Tilawah Sajadah)

Monday, May 11, 2020

TENTANG MBAH KAKUNG TAMIM

MBAH KAKUNG TAMIM


Saya baru saja menyelesaikan tulisan dan mempostingnya di blog, satu jam sebelum meraih ponsel yang tergeletak di meja panjang. Dua panggilan tak terjawab dari Mas Faris via phonecall dan whatssup call terlihat di layar ponsel. Dengan segera hati saya menjadi gemetar, berbalik menelpon suami. Dan semuanya tidak lagi terbendung, dengan cepat suasana pagi itu berubah. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun…serasa bumi ini berguncang demi mendengar kabar ini.
***

Pertama kali mengenal sosok Bapak adalah saat suami resmi memboyong saya ke dalam keluarga besarnya, 5 hari setelah kami menikah, Februari 2015. Perkenalan yang meski sangat singkat ini menjadi semacam oase bagi saya bahwa Bapak adalah sosok yang dengan cepat membuat saya merasa akrab, menjadi bukan sebagai musafir asing yang singgah dan tiba-tiba hadir dalam keluarga besar suami. Banyak hal yang membuat saya dengan cepat merasa terkesan hingga hilanglah rasa canggung terhadap Bapak meski saat itu baru mengenal sosok Bapak.


Makanan Favorit

Setiap pagi hari tiba, kami sering melewati agenda sarapan bersama. Hal yang dengan cepat membuat saya merasa akrab adalah kami memiliki makanan favorit yang sama persis. Bapak menyukai olahan masakan Jawa; sayur tumis daun papaya, tumis kembang pepaya, tumis parai, sayur urap, singkong bakar dan rebus, ubi cilembu dan pisang rebus, serta buah pepaya. Selain juga gudeg sebagai menu favorit Bapak. Biasanya menu-menu ini saya dan Bapak yang paling begitu menikmatinya di meja makan. Makanan ini adalah apa yang biasa saya santap di kampung halaman. Kesukaan Bapak ini membuat saya menjadi merasa dekat dan melihat Bapak sebagai sosok yang bersederhana dalam hal makanan.

Ditengah-tengah menikmati sarapan, Bapak biasanya senang sekali mengajak bercerita dan menanyakan banyak hal tentang keadaan di kampung halaman. Menanyakan bagaimana kabar Bapak di Singkut, pekerjaan Emak dan Bapak di kampung halaman. Pekerjaan masyarakat di kampung halaman, dan semua hal tentang kampung halaman. Sebuah topik yang dengan cepat membuat saya merasa sudah sangat lama mengenal sosok Bapak.

Mutiara Kenangan

Bapak menyambut kedatangan menantunya ini dengan hati yang lapang. Bagaimana tidak, Bapak mengajak saya berkeliling rumah dan menunjukkan satu persatu setiap inci isi rumah. Bapak meminta saya mengikutinya lalu menunjukkan dan menjelaskan dengan detail. Mulai dari ruang perpustakaan, ruang komputer, lemari administrasi keluarga, ruang tengah, ruangan adik-adik, ruang khadimah, dapur, tempat mencuci piring, hingga saluran got di sisi ruang dapur, serta apa yang harus di lakukan bila saluran air itu pampat.

Bapak juga menunjukkan saklar mesin pompa air, bagaimana menghidupkan dan mematikan, menjelaskan bagaimana system kerja airnya serta apa yang harus dilakukan bila air tidak mengalir. Bapak menunjukkan kepada saya tata tertib keluarga yang diprint out dan di bingkai di dinding. Kata Bapak tata tertib keluarga itu dibuatnya sudah sangat lama sekali. Sejujurnya saya sangat terkesan dengan bagaimana cara Bapak menerima dan menyambut dengan tangan terbuka menantu yang bahkan baru dikenalnya ini.

Bapak juga memberi saya sebuah tongkat dan meminta agar saya menyimpannya di dalam kamar. Sebagai alat berjaga-jaga bila ada hal-hal yang tidak di inginkan (cth maling, hewan dsb naudzubillah), agar tongkat itu sewaktu-waktu bisa saya pergunakan sebagai alat pelindung diri. Begitu detail, begitu rinci dan teliti.

4000 Judul Buku

Suatu hari kami sedang duduk bercengkerama di ruang tengah bersama Ibu, Tiba-tiba Bapak keluar dari kamar dan memanggil saya, “Ayo ikut Bapak ke Pustaka.” Suara Bapak yang terdengar lemah mengajak saya agar mengikutinya. Segera saya mengekor Bapak dari belakang. Bapak meminta saya berdiri dari satu rak buku ke rak buku lainnya, lalu menjelaskan satu persatu setiap detail isi rak ada buku apa saja.

Ada setidaknya kurang lebih 4000 judul buku di dalam perpustakaan rumah ini.  Bapak berharap ada yang bisa telaten meneruskan kebiasaan Bapak untuk merawat semua buku-buku ini. Bapak menunjukkan satu lemari khusus yang menyimpan buku-buku karya Bapak. Bapak bercerita bahwa Bapak dulu sangat aktif menulis, dan berharap anak-anak pun bisa menulis buku juga. Kerap beberapa kesempatan saya mengutarakan keinginan menulis buku, dengan seksama Bapak mendengarkan apa yang ada didalam kepala saya dan lalu menunjukkan bahwa saya bisa membaca buku ini dan ini yang ada di dalam lemari. Alangkah senangnya hati Bapak kala dilihatnya ada yang membaca di ruang pustaka.

Bapak meraih beberapa buku dan meminta saya untuk membawa ke kamar dan membacanya di sela-sela waktu, “menjadi dokter di rumah sendiri,” sebuah buku panduan bagaimana merawat bayi. Masa itu saya baru saja melahirkan Mbak Nana. Lagi-lagi saya terkesan dengan Bapak. Bapak tidak memaksa saya untuk membaca buku atau kitab tertentu. Melainkan pada hal yang saya butuhkan kala itu.

Bulan-bulan berikutnya pasca melahirkan Mbak Nana (semasa LDR panjang yang tak berkesudahan dengan suami) dalam banyak kesempatan saya menghabiskan waktu dengan menemani Bapak di ruang pustaka. Mengusir rasa kesedihan dan sepi yang kerap kali menghantui.

Setiap kali Bapak kedatangan tamu, mana kala saya tengah menyajikan teh untuk tamu-tamu Bapak, Bapak selalu dengan hati yang ringan memperkenalkan mantunya ini pada tamu-tamunya “ini isterinya Faris, baru melahirkan. Farisnya lagi kuliah di Saudi. Kalo Evi ini kuliahnya di Turki.” Ungkapan ini menghibur dan mengobati hati saya. Betapa Bapak sangat menghargai meski mantunya ini berasal dari latar belakang yang berbeda. Ringan saja lisan Bapak membesarkan hati setiap teman bicaranya. Bapak juga memperkenalkan siapa-siapa saja tamu-tamu pentingnya itu.

Kenangan dalam Perjalanan

Dalam banyak kesempatan sebelum akhirnya Bapak benar-benar bertambah berat sakitnya kami seringkali berada dalam satu mobil perjalanan. Satu perjalanan yang tidak bisa saya lupakan adalah perjalanan saat Bapak dengan hati yang ringan menemani perjalanan saya melakukan observasi lokasi penelitian di Sekolah Alam Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sebuah jarak yang tidak bisa dikatakan dekat dengan situasi yang macet parah, ditambah kondisi Bapak yang berjalan dengan di topang tongkat. Kalau bukan karena sosok Bapak yang ringan tangan itu tidaklah mungkin akan membawa takdir hingga demikian. Bapak turun dari mobil dan menunggu saya duduk di masjid sekolah, menanti saya menyelesaikan hajat wawancara dengan kepala sekolah serta melakukan serangkaian observasi penelitian. Tanpa merasa bosan atau minimal menunjukkan raut muka lelah Bapak menanti hingga usai.

Mengumpulkan Perca Kenangan

Ruang perpustakaan dan perjalanan di dalam mobil dalam beberapa kesempatan, menjadi saksi yang mengukir lembaran perca kenangan. Banyak sekali Bapak bercerita tentang lembaran kisah anak-anak Bapak di masa kecil. Khususnya yang lebih banyak Bapak ceritakan adalah cerita tentang Mas Faris. Mungkin karena saya isterinya. Bapak bercerita bahwa anak Bapak yang paling mewarisi dalam hal cinta membaca adalah suami “Faris itu yang paling mewarisi Bapak, paling kuat bacaannya.” Sehingga dari cerita Bapak inilah saya banyak mengenal sosok suami. Bapak juga bercerita dengan detail apa yang membuatnya pertamakali terinspirasi hingga akhirnya berkeliling dari satu tempat ke tempat lain mencari pesantren dan bertekad kuat agar anak-anak Bapak menjadi hafidzh Qur`an. Hingga akhirnya dilepas dan dikirimlah Mas Faris kecil yang saat itu baru berusia 6 tahun untuk merantau dan menghafal Qur`an di Kudus, Jawa Tengah. Itulah Bapak dengan visinya yang melampaui zaman.

Yang Dirindukan di Waktu Subuh


Ada waktu khas yang kemudian beberapa tahun terakhir perlahan tak terdengar lagi. Suara parau di waktu menjelang subuh. Selama masa tinggal di rumah Ibu sebelum dan pasca melahirkan, saya selalu terkenang dan merindukan suara khas Bapak saat membangunkan anak-anak di waktu menjelang subuh tiba, meski adik-adik tak lagi kanak-kanak. Dengan tongkatnya yang khas Bapak akan mengetuk tiap pintu kamar adik-adik dan memanggil namanya satu persatu.

Suara Bapak di pagi buta selalu membuat hati saya merasa tenang sebab itulah suara yang saya rekam sebagai penanda lewatnya malam-malam yang mencekam pada fase babyblues. Setiap kali mendengar suara Bapak di waktu fajar, dan itu berarti pagi telah tiba. Tenggelam dan sirnalah masa malam panjang yang penuh sedih dan letih kala menyusui Mbak Nana yang tak berjeda. Bangkit pula harapan agar waktu malam segera usai dan berharap keesokan harinya waktu menjadi lebih singkat agar segera bisa bertemu suami. Suara Bapak seolah menyalakan harapan, bahwa masih ada pagi yang akan mengusir fase babyblues yang amat mengganggu ini.

Namun takdir membawa cerita yang berbeda, hingga pada akhirnya Bapak harus berulang kali jatuh sakit dan harus keluar masuk rumah sakit. Hingga berakhir pulalah Bapak berbaring di kursi atau di kamar tidur. Bapak tak lagi mampu menopang tubuhnya untuk beraktifitas meski sebatas menikmati jalanan pagi. Hingga perlahan Bapak tidak lagi bisa banyak bercerita sebagaimana dahulu. Bapak lebih banyak duduk dan menyimak rutin mengikuti berita dari kanal stasiun TV.

Merasa Kehilangan

Bapak tak lagi banyak bisa beraktifitas fisik, namun demikian terasa senanglah hatinya kala saya bercerita ngalor ngidul tentang apa-apa saja. Bapak menyimak semua apa yang saya ceritakan dengan seksama. Saya bercerita apa saja meski bukan topik yang berbobot, mulai dari tanaman-tanaman apa saja yang masih tumbuh di rumah belakang; mulai dari belimbing wuluh, tanaman pagar, cemara hingga pohon katuk yang masih utuh.

Pernah suatu hari saat tengah duduk di sisi Bapak yang terbaring lemah di kursi perpus saya bercerita dengan merasa agak kesal sebab di depan rumah belakang sangat becek dan lembap setiap kali usai hujan deras, “Evi rasanya pengen plester yang halaman depan Pak, supaya ndak becek banget kalau hujan. Nyamuknya juga banyak banget.” Bapak meski dengan suaranya yang terdengar lemah memberikan saran tanpa menggurui “di tutup pake kerikil aja, biar ada jalan buat resapan air. Nanti klo di plester semua bisa ngurangi resapan air ke tanah.” Ya Allah Bapak, saya tidak menyangka akan mendapat saran yang demikian indah ini. Saran yang memperhatikan hak-hak lingkungan; tanah dan tumbuhan. Bukan hanya sekedar kepentingan dan ego manusia yang sementara.

Namun dari hari ke hari frekuensi cerita Bapak semakin berkurang. Sesekali saat main ke rumah Ibu, saya dan suami biasanya ke perpus dan sejenak menemani Bapak yang terbaring lemah. Sejenak menemani Bapak dengan kebiasaan yang sama, mengajak Bapak bercerita ngalor ngidul, juga menyampaikan cita-cita melahirkan buku ini dan itu. Bapak meski sudah bertambah lemah suaranya, masih juga diresponnya dengan memberikan masukan buku-buku apa saja yang bisa saya pakai sebagai referensi.

Ya Allah, begitu banyak ilmu yang tersemat dalam sosok Bapak. Ada rasa kesedihan yang menggumpal dalam dada ini saat menghadapi kenyataan bahwa Bapak pada akhirnya berpulang di waktu yang tiada terduga. Merasa sangat sedih sebab belum maksimal diri ini mereguk  ilmu dan keteladanan yang melekat pada Bapak. Merasa ada begitu banyak ilmu dan pemikiran Bapak yang semestinya bisa lebih banyak saya gali dan tulis namun terlewat begitu saja. Bapak maafkanlah dan ampunilah kami yang belum mampu berbakti selama ini.

Menuju Hari Perpisahan

Saya tidak menyangka bahwa malam itu akan menjadi hari berkumpul terakhir kalinya dengan Bapak di rumah Ibu. Hari itu, Ahad 3 Mei 2020 Ibu mengumpulkan kami semua untuk menggelar acara buka puasa bersama di rumah. Selama bulan Ramadan di masa pandemi ini keluarga Bapak membuat serangkaian acara Ramadan di rumah, termasuk salat Tarawih. Hari Ahad, Ibu mengundang anak cucu dan mantu semua untuk berkumpul dan berbuka puasa bersama. Kami berkumpul ramai di rumah Ibu, saya pun duduk bersantap dan akhirnya berpindah mengambil posisi tidak jauh persis di sebelah kursi dimana Bapak biasa duduk disana saat menyimak berita televisi.

Beberapa kali entah apa sebab saya senang sekali memperhatikan Bapak, senang melihat Bapak yang pada waktu petang itu tampak menikmati semangkuk sup dengan sangat lahap. Cukup lama saya berkali-kali memperhatikan Bapak dan memandangnya lekat, “alhamdulillah, masha Allah selera makan Bapak bagus.” Bisik hati kecil saya, meski tak pernah menduga bahwa itulah pandangan saya untuk yang terakhir kalinya kepada Bapak.
Hingga datanglah kabar berita di malam hari bahwa Bapak kembali harus masuk ke ruang UGD hari Rabu malam Kamis. Tak lama berselang, pagi harinya tiba pula berita yang membuat lisan ini tergugu kelu. Bumi bak berguncang dan waktu pagi yang panjang tak lagi bersemu mekar. Pagi pukul 07.56 WIB pada hari Ramadan ke 14 bahwa Allah telah mengambil Bapak yang saya kagumi dalam diam pada usia yang ke 64 tahun.

Innalillahi wainna ilaihi rajiuun.

Ya Allah…Bapak maafkanlah saya yang belum mampu berbakti ini. Maafkanlah diri yang belum mampu berkhidmat pada Bapak ya Rabb. Semoga Allah menempatkan Bapak di surga-Nya yang tertinggi, tempat keabadian yang tak ada rasa sakit, beban berat dan rasa lelah lagi. Semoga Allah ridha mempertemukan kami kelak padamu wahai Bapak umat ini, Mbah Kakung dari anak-anak kami. Aamiin. Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu anhu.

Evi Marlina (anak mantu no 2)
Depok, Senin 11 Mei 2020.

Foto: Dokumen Pribadi Evi Marlina

No comments: