MBAH KAKUNG
TAMIM
Saya baru saja menyelesaikan
tulisan dan mempostingnya di blog, satu jam sebelum meraih ponsel yang
tergeletak di meja panjang. Dua panggilan tak terjawab dari Mas Faris via
phonecall dan whatssup call terlihat di layar ponsel. Dengan segera hati saya
menjadi gemetar, berbalik menelpon suami. Dan semuanya tidak lagi terbendung,
dengan cepat suasana pagi itu berubah. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun…serasa
bumi ini berguncang demi mendengar kabar ini.
***
Pertama kali mengenal sosok
Bapak adalah saat suami resmi memboyong saya ke dalam keluarga besarnya, 5 hari
setelah kami menikah, Februari 2015. Perkenalan yang meski sangat singkat ini
menjadi semacam oase bagi saya bahwa Bapak adalah sosok yang dengan cepat membuat
saya merasa akrab, menjadi bukan sebagai musafir asing yang singgah dan
tiba-tiba hadir dalam keluarga besar suami. Banyak hal yang membuat saya dengan
cepat merasa terkesan hingga hilanglah rasa canggung terhadap Bapak meski saat
itu baru mengenal sosok Bapak.
Makanan Favorit
Setiap pagi hari tiba, kami
sering melewati agenda sarapan bersama. Hal yang dengan cepat membuat saya
merasa akrab adalah kami memiliki makanan favorit yang sama persis. Bapak
menyukai olahan masakan Jawa; sayur tumis daun papaya, tumis kembang pepaya, tumis
parai, sayur urap, singkong bakar dan rebus, ubi cilembu dan pisang rebus,
serta buah pepaya. Selain juga gudeg sebagai menu favorit Bapak. Biasanya menu-menu
ini saya dan Bapak yang paling begitu menikmatinya di meja makan. Makanan ini adalah
apa yang biasa saya santap di kampung halaman. Kesukaan Bapak ini membuat saya
menjadi merasa dekat dan melihat Bapak sebagai sosok yang bersederhana dalam
hal makanan.
Ditengah-tengah menikmati
sarapan, Bapak biasanya senang sekali mengajak bercerita dan menanyakan banyak
hal tentang keadaan di kampung halaman. Menanyakan bagaimana kabar Bapak di Singkut,
pekerjaan Emak dan Bapak di kampung halaman. Pekerjaan masyarakat di kampung halaman,
dan semua hal tentang kampung halaman. Sebuah topik yang dengan cepat membuat
saya merasa sudah sangat lama mengenal sosok Bapak.
Mutiara Kenangan
Bapak menyambut kedatangan
menantunya ini dengan hati yang lapang. Bagaimana tidak, Bapak mengajak saya
berkeliling rumah dan menunjukkan satu persatu setiap inci isi rumah. Bapak
meminta saya mengikutinya lalu menunjukkan dan menjelaskan dengan detail. Mulai
dari ruang perpustakaan, ruang komputer, lemari administrasi keluarga, ruang
tengah, ruangan adik-adik, ruang khadimah, dapur, tempat mencuci piring, hingga
saluran got di sisi ruang dapur, serta apa yang harus di lakukan bila saluran
air itu pampat.
Bapak juga menunjukkan saklar
mesin pompa air, bagaimana menghidupkan dan mematikan, menjelaskan bagaimana system
kerja airnya serta apa yang harus dilakukan bila air tidak mengalir. Bapak
menunjukkan kepada saya tata tertib keluarga yang diprint out dan di bingkai di
dinding. Kata Bapak tata tertib keluarga itu dibuatnya sudah sangat lama
sekali. Sejujurnya saya sangat terkesan dengan bagaimana cara Bapak menerima
dan menyambut dengan tangan terbuka menantu yang bahkan baru dikenalnya ini.
Bapak juga memberi saya sebuah
tongkat dan meminta agar saya menyimpannya di dalam kamar. Sebagai alat
berjaga-jaga bila ada hal-hal yang tidak di inginkan (cth maling, hewan dsb
naudzubillah), agar tongkat itu sewaktu-waktu bisa saya pergunakan sebagai alat
pelindung diri. Begitu detail, begitu rinci dan teliti.
4000 Judul Buku
Suatu hari kami sedang duduk
bercengkerama di ruang tengah bersama Ibu, Tiba-tiba Bapak keluar dari kamar
dan memanggil saya, “Ayo ikut Bapak ke Pustaka.” Suara Bapak yang terdengar lemah
mengajak saya agar mengikutinya. Segera saya mengekor Bapak dari belakang.
Bapak meminta saya berdiri dari satu rak buku ke rak buku lainnya, lalu menjelaskan
satu persatu setiap detail isi rak ada buku apa saja.
Ada setidaknya kurang lebih 4000
judul buku di dalam perpustakaan rumah ini. Bapak berharap ada yang bisa telaten
meneruskan kebiasaan Bapak untuk merawat semua buku-buku ini. Bapak menunjukkan
satu lemari khusus yang menyimpan buku-buku karya Bapak. Bapak bercerita bahwa
Bapak dulu sangat aktif menulis, dan berharap anak-anak pun bisa menulis buku
juga. Kerap beberapa kesempatan saya mengutarakan keinginan menulis buku,
dengan seksama Bapak mendengarkan apa yang ada didalam kepala saya dan lalu
menunjukkan bahwa saya bisa membaca buku ini dan ini yang ada di dalam lemari.
Alangkah senangnya hati Bapak kala dilihatnya ada yang membaca di ruang
pustaka.
Bapak meraih beberapa buku dan
meminta saya untuk membawa ke kamar dan membacanya di sela-sela waktu, “menjadi
dokter di rumah sendiri,” sebuah buku panduan bagaimana merawat bayi. Masa itu
saya baru saja melahirkan Mbak Nana. Lagi-lagi saya terkesan dengan Bapak.
Bapak tidak memaksa saya untuk membaca buku atau kitab tertentu. Melainkan pada
hal yang saya butuhkan kala itu.
Bulan-bulan berikutnya pasca
melahirkan Mbak Nana (semasa LDR panjang yang tak berkesudahan dengan suami) dalam
banyak kesempatan saya menghabiskan waktu dengan menemani Bapak di ruang
pustaka. Mengusir rasa kesedihan dan sepi yang kerap kali menghantui.
Setiap kali Bapak kedatangan
tamu, mana kala saya tengah menyajikan teh untuk tamu-tamu Bapak, Bapak selalu
dengan hati yang ringan memperkenalkan mantunya ini pada tamu-tamunya “ini
isterinya Faris, baru melahirkan. Farisnya lagi kuliah di Saudi. Kalo Evi ini
kuliahnya di Turki.” Ungkapan ini menghibur dan mengobati hati saya. Betapa
Bapak sangat menghargai meski mantunya ini berasal dari latar belakang yang
berbeda. Ringan saja lisan Bapak membesarkan hati setiap teman bicaranya. Bapak
juga memperkenalkan siapa-siapa saja tamu-tamu pentingnya itu.
Kenangan dalam Perjalanan
Dalam banyak kesempatan sebelum
akhirnya Bapak benar-benar bertambah berat sakitnya kami seringkali berada
dalam satu mobil perjalanan. Satu perjalanan yang tidak bisa saya lupakan
adalah perjalanan saat Bapak dengan hati yang ringan menemani perjalanan saya
melakukan observasi lokasi penelitian di Sekolah Alam Jagakarsa, Jakarta
Selatan. Sebuah jarak yang tidak bisa dikatakan dekat dengan situasi yang macet
parah, ditambah kondisi Bapak yang berjalan dengan di topang tongkat. Kalau
bukan karena sosok Bapak yang ringan tangan itu tidaklah mungkin akan membawa
takdir hingga demikian. Bapak turun dari mobil dan menunggu saya duduk di
masjid sekolah, menanti saya menyelesaikan hajat wawancara dengan kepala
sekolah serta melakukan serangkaian observasi penelitian. Tanpa merasa bosan
atau minimal menunjukkan raut muka lelah Bapak menanti hingga usai.
Mengumpulkan Perca Kenangan
Ruang perpustakaan dan
perjalanan di dalam mobil dalam beberapa kesempatan, menjadi saksi yang mengukir
lembaran perca kenangan. Banyak sekali Bapak bercerita tentang lembaran kisah
anak-anak Bapak di masa kecil. Khususnya yang lebih banyak Bapak ceritakan
adalah cerita tentang Mas Faris. Mungkin karena saya isterinya. Bapak bercerita
bahwa anak Bapak yang paling mewarisi dalam hal cinta membaca adalah suami “Faris
itu yang paling mewarisi Bapak, paling kuat bacaannya.” Sehingga dari cerita
Bapak inilah saya banyak mengenal sosok suami. Bapak juga bercerita dengan
detail apa yang membuatnya pertamakali terinspirasi hingga akhirnya berkeliling
dari satu tempat ke tempat lain mencari pesantren dan bertekad kuat agar anak-anak
Bapak menjadi hafidzh Qur`an. Hingga akhirnya dilepas dan dikirimlah Mas Faris
kecil yang saat itu baru berusia 6 tahun untuk merantau dan menghafal Qur`an di
Kudus, Jawa Tengah. Itulah Bapak dengan visinya yang melampaui zaman.
Yang Dirindukan di Waktu Subuh
Ada waktu khas yang kemudian beberapa
tahun terakhir perlahan tak terdengar lagi. Suara parau di waktu menjelang
subuh. Selama masa tinggal di rumah Ibu sebelum dan pasca melahirkan, saya
selalu terkenang dan merindukan suara khas Bapak saat membangunkan anak-anak di
waktu menjelang subuh tiba, meski adik-adik tak lagi kanak-kanak. Dengan
tongkatnya yang khas Bapak akan mengetuk tiap pintu kamar adik-adik dan
memanggil namanya satu persatu.
Suara Bapak di pagi buta selalu
membuat hati saya merasa tenang sebab itulah suara yang saya rekam sebagai
penanda lewatnya malam-malam yang mencekam pada fase babyblues. Setiap kali
mendengar suara Bapak di waktu fajar, dan itu berarti pagi telah tiba.
Tenggelam dan sirnalah masa malam panjang yang penuh sedih dan letih kala
menyusui Mbak Nana yang tak berjeda. Bangkit pula harapan agar waktu malam segera
usai dan berharap keesokan harinya waktu menjadi lebih singkat agar segera bisa
bertemu suami. Suara Bapak seolah menyalakan harapan, bahwa masih ada pagi yang
akan mengusir fase babyblues yang amat mengganggu ini.
Namun takdir membawa cerita
yang berbeda, hingga pada akhirnya Bapak harus berulang kali jatuh sakit dan
harus keluar masuk rumah sakit. Hingga berakhir pulalah Bapak berbaring di
kursi atau di kamar tidur. Bapak tak lagi mampu menopang tubuhnya untuk
beraktifitas meski sebatas menikmati jalanan pagi. Hingga perlahan Bapak tidak
lagi bisa banyak bercerita sebagaimana dahulu. Bapak lebih banyak duduk dan menyimak
rutin mengikuti berita dari kanal stasiun TV.
Merasa Kehilangan
Bapak tak lagi banyak bisa
beraktifitas fisik, namun demikian terasa senanglah hatinya kala saya bercerita
ngalor ngidul tentang apa-apa saja. Bapak menyimak semua apa yang saya
ceritakan dengan seksama. Saya bercerita apa saja meski bukan topik yang
berbobot, mulai dari tanaman-tanaman apa saja yang masih tumbuh di rumah
belakang; mulai dari belimbing wuluh, tanaman pagar, cemara hingga pohon katuk
yang masih utuh.
Pernah suatu hari saat tengah
duduk di sisi Bapak yang terbaring lemah di kursi perpus saya bercerita dengan
merasa agak kesal sebab di depan rumah belakang sangat becek dan lembap setiap
kali usai hujan deras, “Evi rasanya pengen plester yang halaman depan Pak, supaya
ndak becek banget kalau hujan. Nyamuknya juga banyak banget.” Bapak meski
dengan suaranya yang terdengar lemah memberikan saran tanpa menggurui “di tutup
pake kerikil aja, biar ada jalan buat resapan air. Nanti klo di plester semua
bisa ngurangi resapan air ke tanah.” Ya Allah Bapak, saya tidak menyangka akan
mendapat saran yang demikian indah ini. Saran yang memperhatikan hak-hak lingkungan;
tanah dan tumbuhan. Bukan hanya sekedar kepentingan dan ego manusia yang
sementara.
Namun dari hari ke hari frekuensi
cerita Bapak semakin berkurang. Sesekali saat main ke rumah Ibu, saya dan suami
biasanya ke perpus dan sejenak menemani Bapak yang terbaring lemah. Sejenak menemani
Bapak dengan kebiasaan yang sama, mengajak Bapak bercerita ngalor ngidul, juga menyampaikan
cita-cita melahirkan buku ini dan itu. Bapak meski sudah bertambah lemah
suaranya, masih juga diresponnya dengan memberikan masukan buku-buku apa saja
yang bisa saya pakai sebagai referensi.
Ya Allah, begitu banyak ilmu
yang tersemat dalam sosok Bapak. Ada rasa kesedihan yang menggumpal dalam dada
ini saat menghadapi kenyataan bahwa Bapak pada akhirnya berpulang di waktu yang
tiada terduga. Merasa sangat sedih sebab belum maksimal diri ini mereguk ilmu dan keteladanan yang melekat pada Bapak.
Merasa ada begitu banyak ilmu dan pemikiran Bapak yang semestinya bisa lebih banyak
saya gali dan tulis namun terlewat begitu saja. Bapak maafkanlah dan ampunilah
kami yang belum mampu berbakti selama ini.
Menuju Hari Perpisahan
Saya tidak menyangka bahwa malam
itu akan menjadi hari berkumpul terakhir kalinya dengan Bapak di rumah Ibu. Hari
itu, Ahad 3 Mei 2020 Ibu mengumpulkan kami semua untuk menggelar acara buka
puasa bersama di rumah. Selama bulan Ramadan di masa pandemi ini keluarga Bapak
membuat serangkaian acara Ramadan di rumah, termasuk salat Tarawih. Hari Ahad,
Ibu mengundang anak cucu dan mantu semua untuk berkumpul dan berbuka puasa
bersama. Kami berkumpul ramai di rumah Ibu, saya pun duduk bersantap dan
akhirnya berpindah mengambil posisi tidak jauh persis di sebelah kursi dimana
Bapak biasa duduk disana saat menyimak berita televisi.
Beberapa kali entah apa sebab saya
senang sekali memperhatikan Bapak, senang melihat Bapak yang pada waktu petang
itu tampak menikmati semangkuk sup dengan sangat lahap. Cukup lama saya berkali-kali
memperhatikan Bapak dan memandangnya lekat, “alhamdulillah, masha Allah selera
makan Bapak bagus.” Bisik hati kecil saya, meski tak pernah menduga bahwa
itulah pandangan saya untuk yang terakhir kalinya kepada Bapak.
Hingga datanglah kabar berita di
malam hari bahwa Bapak kembali harus masuk ke ruang UGD hari Rabu malam Kamis. Tak
lama berselang, pagi harinya tiba pula berita yang membuat lisan ini tergugu kelu.
Bumi bak berguncang dan waktu pagi yang panjang tak lagi bersemu mekar. Pagi
pukul 07.56 WIB pada hari Ramadan ke 14 bahwa Allah telah mengambil Bapak yang
saya kagumi dalam diam pada usia yang ke 64 tahun.
Innalillahi wainna ilaihi
rajiuun.
Ya Allah…Bapak maafkanlah saya
yang belum mampu berbakti ini. Maafkanlah diri yang belum mampu berkhidmat pada
Bapak ya Rabb. Semoga Allah menempatkan Bapak di surga-Nya yang tertinggi,
tempat keabadian yang tak ada rasa sakit, beban berat dan rasa lelah lagi. Semoga
Allah ridha mempertemukan kami kelak padamu wahai Bapak umat ini, Mbah Kakung
dari anak-anak kami. Aamiin. Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu anhu.
Evi Marlina (anak mantu no 2)
Depok, Senin 11 Mei 2020.
No comments:
Post a Comment