Catatan Harian
Kebaikan
itu seindah namanya #1
Seperti pada sore itu, 16 februari 2015. Aku dan Mas
Faris mengantarkan emak dan bapak ke Ciputat. Menuju tempat tinggal sepupu yang
akan menikah dengan seorang gadis Jakarta. Rasanya berat hati untuk melanjutkan
perjalanan, ingin berlama-lama menikmati detik-detik akhir bersama emak dan
bapak. Sayangnya waktu tidak memungkinkan karena 17 Februari aku harus sudah
meninggalkan tanah air. Banyak hal yang harus dipersiapkan. Emak memeluk dan
menciumku, aku tahu rasanya rindu. Ternyata sulit dan tidak cukup diungkapkan
lewat bahasa. Karena tidak akan tercerna maknanya. Mas Faris membimbingku dan
kami pamit meningglakan keduanya. Hatiku campur, berkecamuk dan tekad menjadi
satu.
Kini aku tidak hanya sebagai seorang anak dan student
namun juga telah menjadi seorang istri. Segala puji hanya bagi Allah, emak
adalah orang yang paling bahagia hatinya. Dari dahulu belıau adalah sosok yang
tidak pernah membatasi keinginan dan mimpi-mimpi anak-anaknya. Jika itu baik
dan bermanfaat maka jalankanlah. "maafkan emak, karena hanya bisa
mendoakan."
Siang itu, empat hari menjelang hari -H- pernikahan.
Aku duduk termangu merapikan kamar. Emak masuk kamar dan dengan wajahnya yang
penuh gembira dan pandangan yang berat duduk di sisi kananku,
"kamu apa sudah beli baju pengantin buat ijab nduk?" Tiba-tiba pertanyaan yang aku takutkan itu muncul, dengan wajah bingung aku pura-pura menutupi keresahan yang ada pada wajah emak dan diriku sendiri.
"Hanifa dereng sempat cari Mak, nanti saja ya kita cari di toko pasar, pasti ada baju muslimah gamis bagus-bagus. emak tenang saja, in sha Allah." Jawabku sekuat tenaga meski aku sendiri tidak tahu akan memakai pakaian pengantin yang “bagaimana” untuk acara se “sakral” itu. Aku melihat semburat cahaya kesedihan dalam pandangan emak.
"Emak mohon maaf, karena tidak mampu membelikan baju pengantin, matersuwun ya Nduk, emak mohon maaf ndak bisa bantu apa-apa." aku diam tergugu...menahan hati. "Semuanya akan baik-baik saja in sha Allah."
"kamu apa sudah beli baju pengantin buat ijab nduk?" Tiba-tiba pertanyaan yang aku takutkan itu muncul, dengan wajah bingung aku pura-pura menutupi keresahan yang ada pada wajah emak dan diriku sendiri.
"Hanifa dereng sempat cari Mak, nanti saja ya kita cari di toko pasar, pasti ada baju muslimah gamis bagus-bagus. emak tenang saja, in sha Allah." Jawabku sekuat tenaga meski aku sendiri tidak tahu akan memakai pakaian pengantin yang “bagaimana” untuk acara se “sakral” itu. Aku melihat semburat cahaya kesedihan dalam pandangan emak.
"Emak mohon maaf, karena tidak mampu membelikan baju pengantin, matersuwun ya Nduk, emak mohon maaf ndak bisa bantu apa-apa." aku diam tergugu...menahan hati. "Semuanya akan baik-baik saja in sha Allah."
##
...Sepanjang perjalanan dari Ciputat
aku menyanyikan lagu untuk Mas Faris, mulai dari nashed,
qasidah rabana, sampai lagu masa kanak-kanakku. Hee...Mas Faris senyum-senyum
membiarkan aku menuntaskan semua isi hati. Bercerita apa saja, tentang masa
kanak-kanak, tentang studiku, tentang masa studi di kampus, keindahan kota
Ankara, keajaiban Istanbul, pesona kapadokia, petualangan-petualanganku dan
semua hal yang terjadi. Sesekali Mas Faris memandang dan menggodaku "OOO
yaaa...." dengan bibirnya yang juga menyenandungkan nashed-nashed
kesukaannku.
"Kok Mamas tahu itu nashed kesukannku."
"iya donk, kan aku tahu semua tentang kamu."
"dari mana mascim tahu?"
"emm dari mana yaaaa..." Jawab Mas Faris
dengan "yaaa" yang dipanjangkan.
"hihi...Mas Faris lucu." Dalam hatiku,
sembari menahan diri ingin tergelak.
Kalau aku lelah bercerita Mas Faris dengan segera
menyenandungkan tilawah. Bibirnya dengan renyah melantunkan ayat Allah.
"Masha Allah." dalam hatiku, menyimaknya dengan gembira, berharap
kalau nanti ada yang lupa aku mau "skak" Mas Faris :p hihi...Meski
aku tidak menemukan tanda-tanda Mas Faris akan lupa. Suaranya dengan tenang
berpindah dari satu ayat ke ayat yang lain, surat ke surat yang lain dan
seterusnya. Kadang aku terkantuk di dalam mobil, membiarkan Mas Faris menyetir
mobil seorang diri.
"Eheem...Mas nyetir sendirian nih ceritanya." Dengan berdehem ringan Mas Faris menyentil hidungku, membangunkanku...
"Injeh Mascim, aku mboten tilem, cuma mimpi sebentaar mawon tadi." :p ...mataku ngantuuk sekali, tapi aku juga tahu Mas Faris pasti tidak kalah hebat kantuknya, aku tahu Mas Faris pasti lelah sekali. I love U Masku.
"Eheem...Mas nyetir sendirian nih ceritanya." Dengan berdehem ringan Mas Faris menyentil hidungku, membangunkanku...
"Injeh Mascim, aku mboten tilem, cuma mimpi sebentaar mawon tadi." :p ...mataku ngantuuk sekali, tapi aku juga tahu Mas Faris pasti tidak kalah hebat kantuknya, aku tahu Mas Faris pasti lelah sekali. I love U Masku.
Langit berarak semakin tinggi, Jakarta bertambah padat
dengan riuh arak-arakan mobil yang macet memenuhi lengkungan hari. Sementara
Mas Faris bercerita tentang banyak hal, aku menyimaknya dengan penuh suka cita.
Menata dengan penuh kerinduan yang meluruh di setiap sudut ruang jiwa. Dari
detik ke detik...
”Mascim kenapa kok banyak sekali tukang parkir hampir
disetiap tikungan jalan?” Aku menyempatkan bertanya pada Mas Faris. Heran
karena dalam satu hari bertemu puluhan tukang parkir hampir disetiap beberapa
meter perjalanan.
“Yaa, kalau ndak ada tukang parkir nanti kıta juga yang
repot ndak bisa nyebrang jalan, coba perhatikan, padat begitu.”
Aku manggut-manggut. “Mungkin itu salah satu cara
mereka cari rizki ya Mas?”
“Mascim kapan-kapan aku mau di ajak main ke
kampus-kampus TOP Ibu kota.”
"Hemm…" jawab Mas Faris dengan suara deheman yang panjang
dan tenang.
“Mascim
kenapa di Jakarta banyak sekali rumah yang pakai atap kardus? Kasihan sekali
mereka tidak punya rumah?”
“Mascim
apa setiap hari kita harus bertarung melawan padatnya arus kota Jakarta?”
Banyak sekali pertanyaan yang hinggap dikepalaku, teringat ciliwung yang menggenang gelap, langit ibu kota yang terik, gedung-gedung dewan perwakilan rakyat yang menjulang, kampus-kampus gagah besar ıbu kota, serta wajah-wajah tukang parkir yang memerah wajahnya akibat terbakar panas matahari, meski suara mereka dengan tegas menyiratkan “bahwa kami siap bertarung, menghadapi kerasnya ibu kota.”
”Kalau Mas sedang nyetir, kamu ndak boleh tidur ya,
temani Mas sampai kita tiba di rumah.” Kata Mas Faris kemudian.
Mobil kami menepi di sebuah masjid, dan waktu shalat Jum’at tiba…ah, entahlah satu hal penting yang aku yakini bahwa kebaikan itu selalu seperti namanya. Seperti semua kebaikan emak padaku, tidak berbalas dengan apa pun jua. Seperti kebaikan para tukang parkir, yang memanggang tubuhnya dan tanpa kita sadari telah mengajarkan arti kesabaran bertahan. Dan seperti kebaikan Mascim, yang telah membawaku untuk belajar, melihat dan merasakan tanah air lebih nyata dan dekat. Inilah jantungnya Indonesia, paradoksnya kota Jakarta.
Mobil kami menepi di sebuah masjid, dan waktu shalat Jum’at tiba…ah, entahlah satu hal penting yang aku yakini bahwa kebaikan itu selalu seperti namanya. Seperti semua kebaikan emak padaku, tidak berbalas dengan apa pun jua. Seperti kebaikan para tukang parkir, yang memanggang tubuhnya dan tanpa kita sadari telah mengajarkan arti kesabaran bertahan. Dan seperti kebaikan Mascim, yang telah membawaku untuk belajar, melihat dan merasakan tanah air lebih nyata dan dekat. Inilah jantungnya Indonesia, paradoksnya kota Jakarta.
Love Mamas every second of my breath
Sakura RT, di tulis di kota Ankara 13 Maret 2015
Foto was taken by cie
Foto was taken by cie
No comments:
Post a Comment