Reminder

"Beri aku pelajaran TERSULIT, aku akan BELAJAR" Maryamah Karpov

Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya, dan yang membuka pendengaran dan penglihatannya

Dengan daya dan kekuatan dari-Nya, maka Maha Suci Allah, Sebaik-baik pencipta

(Tilawah Sajadah)

Tuesday, March 10, 2015

Aramızda Aşk Kalmış #3 Karena Dakwah

Pukul 10:50 PM Ankara

Teman asrama Turki baru saja pamit dari kamar setengah jam yang lalu. Mengajakku berdiskusi tentang sistem pendidikan di tanah air. 

"Hanifa, teman-temanku telah mempresentasikan Jerman, Jepang, Kanada, Amerika dan masih banyak lagi negara hebat lainnya." Jelas Fulya dengan berbahasa Inggris yang fasih.

"Lalu..?" Tanyaku menggantung dengan mata yang tak lepas memperhatikan raut wajahnya yang bersemangat mempraktikkan Bahasa Inggris.

"Dan aku memilih Indonesia dalam hal ini." Lanjutnya. 

Aku tertarik mendengar penjelasan Fulya "Bolehkah aku tahu, apa yang menyebabkanmu memilih Indonesia?" Tanyaku kembali.

"Oleh sebab, aku menyukaimu. Engkau adalah cerminan Indonesia." Jawab Fulya dengan wajah berbinar.

Aku tertegun. Kepalaku mendadak berat. "Indonesia..." Aku menghela nafas, bergumam dalam hati. ini negeri paradoks. Meski aku pun, mencintainya.

Dan percakapan terus berlanjut, hingga larut. "Aku cinta Indonesia Hanifa, aku telah berjanji akan menghadiri pernikahanmu, namun aku tidak tahu jika takdir menjemput pernikahanmu lebih cepat dari yang aku duga." Fulya memandangku sendu.

Aku hening. Teringat betapa semangatnya ia beberapa bulan yang lalu ketika ıa menyatakan keinginannya bahwa suatu saat jika aku menikah ia akan datang.

Takdir! Kita tidak pernah tahu. Pun menyadarinya, bahkan ketika ia sudah diambang pintu rumah sekali pun. "Maafkan aku Fulya,"  ungkapku lirih dalam hati.

"Tapi aku janji." Suara Funda mengembang. "Suatu saat aku pasti akan mengunjungi negerimu, dari semua negara yang ada di dunia dan Indonesia adalah negeri yang paling menarik hatiku. Engkau membuatku jatuh cinta pada Indonesia." Jawabnya kemudian, sebelum akhirnya pamit dan berlalu setelah membuat perencanaan bahwa ia memintaku untuk hadir di kelasnya dan membantu mempresentasikan tentang Indonesia, dan aku menyetujuinya dengan senang hati. In sha Allah, tentu saja. "Of course why not! Jawabku sumringah.

##

Aku duduk menekuni leptop setelah menyempatkan mengecek grup wasap FLP Turki. Duduk dengan kepala terhuyung. Sudah memasuki hampir minggu ketiga tiba di Ankara dan keadaan tubuhku masih belum benar-benar pulih. Tragedi kejadian penundaan dan pengcancelan penerbangan dari International Airport Charles De Gaulle, Paris menuju Atarturk International Airport Istanbul, Turki. Nyaris 3 hari, aku terdampar di Paris. Memperjuangkan hak-hak kompensasi, visa Schengen, hingga permohonan transfer penerbangan dengan maskapai yang berbeda. Perjuangan yang bukan mudah dan sederhana. Tubuhku benar-benar berontak dalam kelelahan yang tiada terkira. Dan aku tidak lagi memperdulikan hal itu.

Segala puji hanya bagi Allah atas takdir hikmah pernikahan yang Allah karuniakan sebelum tanggal kepulanganku kembali ke Turki. Mas Faris Jihady, ialah suamiku yang mengontrol, mengupdate, menemani dan mengawal perjuanganku selama perjalanan dari tanah air hingga aku terdampar di Bandara Paris. Dan itu kami lakukan melalui pesawat telepon, guna memperjuangkan hak-hak, karena pada kenyataannya adalah bahwa aku satu-satunya penumpang yang berpasport kewarga negaraan Indonesia yang tidak berstatus negera bervisa Schengen. Itu perjuangan yang berat bagiku seorang diri. Menghadapi petugas Airport dan petugas kepolisian seorang diri hingga pada pukul 01:00 dini hari. Nyaris tiga malam...seorang diri penumpang berjilbab dan berbusana muslim khas Indonesia (baca. akhwat). Aku tidak memilki cukup tidur dan istirahat, memperjuangkan hak-hak yang memang sudah seharusnya menjadi hak passenger dalam keadaan genting seperti itu. Terlebih ini adalah negera Perancis, bukan negara muslim. Maka keselamatan adalah hak utama yang harus diperjuangkan disamping hak kenyamanan dan lain lain...

Hampir setiap detik, menit, jam dan waktu Mas Faris menelponku, memastikan keadaan, dan menanyakan setiap detik perkembangan keadaanku, menanyakan apakah aku sudah makan, bagaimana hak penginapan, memperjuangakan visa dan mengupayakan berbagai solusi alternatif. Ya Rabb, segala puji hanya bagi Mu, aku benar-benar tidak merasa berjuang seorang diri meski kami berada di belahan bumi yang berbeda. Sungguh meski usia pernikahan kami belum genap dalam hitungan 10 jari tangan, bab ujian dan perjalanan jauh yang melelahkan ini membuat kami menjadi begitu dekat, semakin mengenal dan mencintai lebih dekat dan aku semakin yakin bahwa ın sha Allah "engkaulah kekasih dunia dan akhiratku Masku." 

Dalam kelelahan dan kepenatan berfikir di Boarding Area, malam itu aku menangis. Shalat di beranda ruang tunggu. Orang-orang memandangku aneh, karena memang tidak ada mushola di bandara sehebat itu. Meski aku menyembunyikan tangis dari Mas Faris. Takut membuatnya mencemaskan keadaan. Memasrahkan pada Allah atas takdir yang Allah titipkan dan amanahkan kepadaku, atas penundaan penerbangan hingga pengcancelan. Aku terduduk kelu, memeluk mushaf dan membacanya dengan tertatih di koridor ruang tunggu penumpang. Fikiranku jauh terbang tinggi, duduk bersandar di sisi kiri suamiku. Menyimaknya bermurajaah dengan teduh dan sesekali mendendangkan beberapa lagu Maher Zain atas permintaanku.

##

"Sayangku, Allah mempertemukan pernikahan kita karena dakwah." Desir suara Mas Faris bersama angin menembus hatiku, siang ditengah terik panasnya kota Jakarta kami mondar-mandir mengantar undangan dua hari menjelang hari H agenda "ngunduh mantu" di rumah Ibu (baca. Ustadzah H. Dra. Wirianingsih, M.Si). Kami mengitari kota Jakarta dari sejak pagi hingga larut malam. 

"Maka ini adalah gambaran perjalanan pernikahan yang akan kita tapaki kedepan." Suara Mas Faris disela-sela menyetir mobil terdengar samar di telingaku.

"Allah pertemukan kita karena dakwah, mungkin waktu kita kelak akan banyak tercurah untuk dakwah." Meski lirih aku menangkap ketegasan, kelembutan dan ketulusan didalamnya. 

"Seperti gambaran pernikahan kita, yang lebih banyak tercurah diperjalanan. Semoga Allah kekalkan pernikahan kita dengan keberkahan hingga akhirat kelak." 

Aku duduk menunduk dengan bibir bergetar di sisi kiri Mas Faris. Kepalaku terasa berat, mengingat hanya dalam hitungan hari kurang dari lima jari kami akan berpisah. Yah, usia pernikahan kami baru bertunas. Saat Mas Faris melepas keberangkatan menuju tanah tempatku menuntut ilmu. 9 hari usia pernikahan. Dan aku harus kembali ke negeriku, melanjutkan perjuangan untuk belajar!

"In sha Allah, engkau adalah istriku yang kuat, sayangku." Pesan Mas Faris, aku tergugu dalam milyaran kata yang bisu. Menahan suara tangis yang menggumpal. Mas Faris melepas keberangkatan. Bandara Soekarno Hatta, menghilang hingga ujung penglihatan. Dan tangisku pun pecah... 

Mas Faris I love You. 
In sha Allah everything is okay here..

^_^

Ankara, 10 Maret 2015
(Kepada Suamiku, kekasih dunia dan akhiratku)




No comments: