dakwatuna.com. Menjalani hari raya “berlebaran” memiliki
nilai tersendiri di setiap hati para umat Islam. Duduk di tengah bersama
keluarga dan menunaikan shalat idul adha secara berjamaah bersama orang-orang terdekat
adalah nikmat yang demikian besar. Namun tidak demikian dengan sebagian
lainnya, khususnya bagi para pelajar yang tengah menuntut ilmu di negeri
rantau. Betapa akan bertambah kali lipat nikmat syukur jika Allah memberi
kesempatan merayakan kedekatan secara spesial dengan bercakap secara langsung
bersama Allah sang Maha Pencipta di tanah suci-Nya, Baitullah. Meski demikian,
ada banyak cara bagaimana kami merayakan dan mensyukuri setiap detik hari raya,
melewati waktu meski harus menahan rindu pada keluarga dan tanah air.
***
“Jadilah seperti elang, kepak dan tatapnya tajam,
kuat, tinggi dan mencengkeram, menembus tingginya lorong-lorong di setiap penjuru
langit” (Sakura RT)
Matahari belum akan genap tenggelam. Bahkan hari masih panas dengan
sempurna. Saya terburu-buru meninggalkan ruang perpustakaan di lantai tiga yang
berliku tinggi tangganya. Sepi sekali, wajar saja besok sudah masuk lebaran
idul adha. “Jadi mana ada yang ke kampus.” Sesak betul rasanya menghitung berat
langkah dari gerbang depan mencapai gedung perpustakaan yang lokasinya lumayan
jauh. Jalanan sepi, hanya ada suara daun menguning yang berjatuhan dan duduk
rapi bersenda gurau di sekitar pepohonan. Jika tidak mengingat harus
mengembalikan dan meminjam buku tentu alangkah lebih baiknya memilih
menghabiskan waktu dengan mengetik cerpen, browsing atau membaca buku-buku
materi psikologi dı sudut ruang belajar di kamar asrama.
“iyi günler hocam.” “selamat siang guru.”
Sepasang suara menahan langkah kaki hujan
akhir musim panas. Segaris senyum wajah remaja berdiri tepat hanya berjarak 3
langkah di depan kelopak mata. Sejenak saya terdiam, mematung. “What...hocam?”
bisik-bisik tanya kecil suara dalam hati. Meski akhirnya semburat senyum saya
hadiahkan pada gadis remaja 20 tahunan yang rambutnya bergelombang berwarna pirang.
Seorang mahasiswi METU (Meadle East Technical University). “iyi günler.” Jawab
saya singkat dengan sepotong senyum sonbahar, senyum musim fall
terindah yang saya miliki siang itu.
Sepanjang jalan menekuni langkah otak saya tidak
berhenti berfikir, senyum-senyum sendiri. “Memang wajah dan penampilan saya
sudah mirip guru Turki? Apa barangkali sudah mirip wajah profesor Turki kali
yah sampai di kira hocam begitu, hoho.” Saya batuk-batuk kecil menghibur
jalanan yang sepi seorang diri disepanjang jalan menyusuri trotoar menuju
perpustakaan.
03 Oktober 2014, meski kata penanggalan dan teman-teman
maya di fesbuk itu hari kelahiran saya namun tetap saja hari itu saya harus
menghabiskan waktu ke perpustakaan seorang diri. Mengangkat kantong-kantong besar
berisi buku-buku dengan ketebalan sebesar dan seberat “gedebok pisang.” Melupakan dan
merelakan sejenak hingar bingar “Happy Milad” yang bertebaran di dinding
fesbuk dan whats up. Jazakallahulakum atas do,anya :)
***
Jum’at, 03 Oktober 2014.
Pukul 13.00 Turki, saya memutuskan untuk segera mengakhiri pencarian
buku-buku. Segera shalat di musola kampus dan bersiap untuk menuju ke sebuah
perkampungan yang berada di tepi kota Ankara. Temelli, sebuah perkampungan dengan
lahan perkebunan gandum yang luasnya berhektar-hektar. Perkampungan yang
memiliki mesjid di sisi lereng bukit dengan sisa-sisa reruntuhan rumah akibat bencana
bah yang masih terlihat jelas batu-bata reruntuhannya—rumah perkampungan rakyat
Turki masa lalu.
Perkampungan Temelli letaknya tidak jauh dari pusat kota Ankara, lebih
pasnya tidak cukup jauh dari asrama saya. Meski untuk sampai ke perkampungan
tersebut membutuhkan jarak dan waktu tempuh 1-2 jam perjalanan. Terlebih jika
harus menempuhnya dengan menggunakan kereta dan melanjutkan dengan bis kota, plus
waktu menunggu bis. Bisa cukup waktu untuk melepas penat dengan tidur
nyenyak beberapa menit.
Namun demi mengingat sebulan yang lalu saya
sudah berjanji akan merayakan hari raya Qurban di rumah keluarga angkat Turki —meski
sesungguhnya tugas perkuliahan sudah mulai cukup padat— baiklah, dengan gembira
ria sore itu saya memacu langkah menuju perkampungan ke rumah keluarga Turki
yang saya maksud bersama 3 orang adik tingkat. Kami menembus lorong-lorong
bawah tanah dengan mengendarai kereta dan melanjutkan perjalanan dengan bis
yang padat antri. Sempurna! Siang dengan matahari terik, namun hawa dingin
membuat kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Udara pancaroba pergantian musim
dari panas menuju dingin seperti ini membuat ketahanan tubuh sering ikut serta menggalau
sakit, sulit diajak beradaptasi.
***
Karena kelelahan perjalanan dan tertidur
selama di bis saya tidak menghiraukan handphone yang ternyata berdering
berkali-kali, panggilan dari keluarga yang akan kami kunjungi. Alhamdulillah, kami
sampai di Temelli pukul 17:30 Turki. Sepasang keluarga menyambut kedatangan
kami berempat, senyum keramahan dan hangat memancar dari wajah—wajah mereka.
Petang itu kami berpisah tinggal di rumah
masing-masing keluarga angkat kami. Saya dan satu orang adik tingkat tinggal di
rumah Anne Kismet (Seorang Ibu Turki), sementara dua orang lainnya tinggal di
rumah Baba hoca (seorang guru yang sudah pensiun), saudara dari Anne Kismet.
Rumah baba hoca tidak jauh dari rumah keluarga tempat saya tinggal. Hanya
membutuhkan waktu 5 menit untuk berjalan kaki ke rumah mereka.
Gelap turun perlahan mengintai lorong-lorong langit Turki. Saya menyempatkan ikut serta membantu baba Ghofur —suami Anne Kismet— yang tengah menggembalakan kambing-kambing di bukit, pada sebuah tanah lapang sisa panen perkebunan gandum. Rumput mulai mengering, sedikit-sedikit saja yang tumbuh di sela—sela rumput yang berwarna kuning kering, tidak hijau penuh seperti rumput di tanah air. Meski demikian anehnya kambing-kambing tetap bertubuh besar dan gemuk-gemuk penuh dagingnya.
Gelap turun perlahan mengintai lorong-lorong langit Turki. Saya menyempatkan ikut serta membantu baba Ghofur —suami Anne Kismet— yang tengah menggembalakan kambing-kambing di bukit, pada sebuah tanah lapang sisa panen perkebunan gandum. Rumput mulai mengering, sedikit-sedikit saja yang tumbuh di sela—sela rumput yang berwarna kuning kering, tidak hijau penuh seperti rumput di tanah air. Meski demikian anehnya kambing-kambing tetap bertubuh besar dan gemuk-gemuk penuh dagingnya.
Terlihat sekali baba Ghofur sangat terlatih
menghalau dan membuat kambing-kambing berbaris rapi memanjang dan menurut.
Sementara kami sibuk berjingkat-jingkat menghindari rumput duri yang menempel
di rok atau kaus kaki. Memperhatikan dan menebak nama-nama tumbuhan gulma yang
tidak kami jumpai di tanah air. Hingga gelap petang datang sempurna,
kambing-kambing sudah siap di dalam kandang. Beberapa dari mereka akan dipersembahkan
sebagai hewan Qurban. Baba Ghofur bilang pada kami, bahwa dua buah ekor kambing
akan dipotong untuk Qur’ban esok hari dan 2 ekor akan di potong untuk keluarga.
“Oh Masha Allah,” tentu saja saya terkejut mendengarnya. Itu jumlah yang sangat
banyak sekali, menurut ukuran saya.
***
Perkampungan Temelli gelap sempurna. Malam
Idul Adha dı tengah perkampungan yang jauh dari suara mobil-mobil kota Ankara
yang riuh padat. Ada yang kurang rasanya. Tidak ada suara takbir seperti di
tanah air. Biasa di Indonesia malam-malam seperti ini kampung-kampung akan
penuh suara takbir dari masjid-masjid dan musola tidak lupa pula suara petasan
dari anak-anak desa. Penuhlah malam itu kami menikmati channel tv yang
memutar siaran langsung prosesi aktivitas ibadah haji di tanah suci Mekkah.
Fikiranku jauh terbang melayang, membayangkan bagaimana rasanya turut serta
berada diantara milyaran manusia.
“Coba kalian perhatikan, mungkin ada terlihat
Jamaah Indonesia disana. Saya bisa mengenali wajah-wajah Indonesia dengan
baik.“ Suara Anne memulai percakapan dipenuhi wajah kegembiraan. Meminta kami
mengamati siaran langsung dan memastikan bahwa kami juga melihat jamaah haji
Indonesia dari channel itu.
“Jamaah Haji İndonesia betapa baiknya mereka.”
Suara Anne. Kami menyimak. “Dulu ketika berhaji saya mau duduk dan tidak
mendapat tempat, di sana banyak jamaah dari beberapa negara. Ada Afghanistan,
Arab dan banyak lainnya. Tapi mereka tidak membagikan tempat duduk bagi saya.
Namun ketika jamaah haji Indonesia melihat saya tidak mendapat tempat duduk
mereka berlomba-lomba memberikan dan berbagi tempat duduk di lantai, meski
mereka pun saling berhimpitan. Saya sungguh terharu sekali.” Saya menekuni
dengan teliti apa yang diucapkan oleh Anne. Mungkin itulah sebabnya mereka
menjadi demikian sayang pada kami, putra-putri Indonesia. Sungguh Allah Maha
Pemberi Rahmat dan kasih sayang.
Malam beranjak kian petang dalam sunyi musim
gugur. Tidak ada kanvas suara petikan deru mesin mobil. Di tambah kultur malam
lebaran di Turki tidak sama dengan di Indonesia. Tidak ada takbir ria
sebagaimana di tanah air. Benar-benar hening dan sunyi.
***
Sabtu, 04 Oktober 2014.
Pagi turun memenuhi perkampungan yang hening.
Kicau burung ladang gandum memenuhi langit hari kebesaran. Perkampungan mulai
penuh satu dua oleh geliat mobil-mobil para jamaah yang berdatangan guna
melaksanakan ibadah shalat Idul Adha di Masjid yang terletak di sisi lereng
bukit Temelli. Kebanyakan dari jamaah yang datang adalah warga Temelli yang
tengah pulang berlibur. Uniknya para
jamaah shalat adalah para kaum lelaki, sementara kaum perempuan melaksanakan
shalat di rumah masing-masing. Namun, karena kami menyampaikan bahwa di
Indonesia kami terbiasa shalat berjamaah di saat Idul Adha, baba Ghofur pun
menyetujui membawa kami shalat berjamaah dengan menyediakan tempat shalat
khusus bagi jamaah perempuan. Pagi itu kami shalat berjamaah Idul Adha bersama
beberapa jamaah perempuan keluarga Turki. Demikian keluarga ini menghormati
cara kami beribadah.
Dalam khutbah shalat İdul Adha terdapat pesan
penting yang diucapkan 3 kali berulang-ulang oleh sang imam pemberi khutbah. Pesan
yang membuat fikiran saya terbang teringat tanah air “Jika dalam suatu
negeri atau tempat banyak yang berkurban, maka tidak akan ada lagi perang.”
Kalimat ini menghentak lamunan saya yang larut mencoba memahami makna yang
disampaikan oleh sang pemberi khutbah, diulang sebanyak tiga kali. Mengingatkan
pada kisah masa kekhalifahan Umar, dimana tidak ada lagi rakyat yang berstatus
sebagi penerima zakat. “Jika dalam suatu negeri atau tempat banyak yang
berkurban, maka tidak akan ada lagi perang.” Demikian masyarakat Turki
meyakini kekuatan berkurban.
Serampung shalat, jamaah bersalaman dan duduk
membentuk lingkaran dengan tertib. Kemudian seorang petugas datang membagikan
kotak berisi permen, ini adalah bagian dari tradisi masyarakat Turki di saat
lebaran. Mereka biasa membagikan permen atau semacam manisan khas Turki kepada
sanak keluarga. Setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing.
Ternyata proses penyembelihan hewan Qur’ban
dilaksanakan di rumah, beberapa ekor di serahkan kepada petugas Qur’ban dan
beberapa ekor disembelih di rumah dan dibagikan kepada keluarga, para guru dan
imam, serta tetangga sebagai bentuk kasih penghormatan dan kasih sayang mereka.
Siang itu saya menyaksikan bagaimana masyarakat Turki berlomba-lomba memotong
hewan Qur’ban di rumah masing-masing. Mulai dari seekor kambing, dua ekor,
empat ekor hingga seekor kerbau di rumah mereka. Masha Allah. Sementara
anak-anak kecil berdatangan ke rumah, ramai sekali. Sang pemilik rumah
membagi-bagikan permen. Demikian unik sekali bagaimana cara mereka merayakan dan
memaknai lebaran İdul Adha.
Hingga malam hari ramai keluarga besar saling berkunjung. Desa menjadi
padat dan ramai. Makanan dan manisan baklava Turki menjadi menu utama. Kami
berkesempatan mengenalkan menu sup Indonesia, meski memasaknya dengan penuh
cemas, khawatir tidak sedap rasanya. İtu adalah malam yang penuh, tamu ramai
sekali. Kami membantu menyiapkan hidangan untuk keluarga yang saling
berdatangan. Saling berbagi kisah bagaimana berlebaran haji di tanah air yang
dipenuhi nuansa kesederhanaan. Terobati pulalah kerinduan kami pada tanah air. Hati
kami menjadi gembira. Teringat pula pada pesan sang gurunda İmam besar,
“Pergilah (merantau) dengan penuh keyakinan, niscaya akan engkau temui lima
kegunaan, yaitu ılmu pengetahuan, adab, pendapatan, menghilangkan kesedihan,
mengagungkan jiwa, dan persahabatan.” (Imam Syafi’i). Jadilah seperti elang,
kepak dan tatapnya tajam, kuat, tinggi dan mencengkeram, menembus tingginya
lorong-lorong di setiap penjuru langit.
Sakura Romawi Timur
Ankara, 07 Oktober 2014
4 comments:
Assalamu'alaikum kak Evi :*
Bisakah kau mengirimiku sebuah pesan singkat ke email ku di Portgasdaisa@gmail.com ini ?
Banyak sekali yang ingin aku pertanyakan kepadamu, tentunya tentang negara kekasihku Turki dan juga tentang semua tulisan-tulisanmu yang indah yang sllu membuatku ingin terus membacanya.
Semoga kau ada waktu untuk mengabariku dan titipkan salamku untuk Turki-Kekasihku :*
Love you kak :*
alaıkumsalamwrwb. Halo Dek Nur. terımaksıh sudah berkunjung dan menyempatkan membaca blog kk, semoga bermanfaat. semoga ruang inı bısa menjadı sarana berdıskusı :)
salam balık darı Turkı. dınantıkan segera dı turkı ya :)
Amiin~ aku jadi semakin mencintai Turki karena membaca tulisan2 ka Evi disini :'
Rasanya aku ikut terbawa dalam cerita-ceritanya :'
Do'akan selalu ya kak, semoga tahun depan adek bisa berangkat ke Turki terutama Ankara :' :*
Post a Comment