"Bizimki
Ask Kalmis"
Meneladani sosok Ustadzah Wiwik
(Rahasia
Sang Ustadzah Mendidik Putra-putri)
#catatan
perjalanan bersama Ustadzah Wiwik (Dra. Hj. Wirianingsih, M.Si)
Matahari pagi menyingsing. Aku baru saja
menyapa senyum dan berceloteh gembira bersama gadis kecil Turkey berusia 1
tahun yang duduk disampingku,
gadis berambut keriting yang di kuncir dua, lucu sekali. Ia duduk manis bersamaku
di Yeni Adana Otobus. Sebuah bus jurusan Istanbul.
Malam tanggal 30 aku meluncur menuju
Istanbul tepat pukul 23:59 waktu Turki, Ankara. Itu sungguh hari yang padat
sekali. Setelah beberapa minggu lamanya berjibaku mempersiapkan Ujian Akhir
Semester, disertai beberapa agenda yang membersamainya. Puncaknya adalah hari
Jum'at (30 Mei 2014), tepat saat aku harus menghadapi ujian Human Learning
dengan materi yang sangat lumayan teramat tebal. Alhamdulillah tuntas! Semoga
baik in sha Allah. Serampung ujian bermandi hujan mencari ATM untuk beberapa
kebutuhan acara dan mengejar waktu untuk membantu memandu agenda kajian online
LKS MIT. Itu adalah kajian yang spesial 30 Mei 2014. Peserta kajian mencapai 30
peserta lebih. Ramai sekali. Masha Allah. Meski acara kajian di undur 2 jam
dari waktu yang ditentukan, karena kedatangan Ustadzah yang mengalami sedikit
kendala di bandara.
***
"Bizimki ask kalmis." Suara
kecil Aisu, sang gadis kecil berbisik disampingku. Aku menoleh tergelitik
mendengarkan suaranya. "Tekrar soyle canim." "Ayo coba diulang
lagi sayang." Aku memintanya untuk mengulang ucapan yang terdengar sangat manis
itu. Aisu tersenyum malu dengan hidungnya yang cantik berkilauan. "Bizimki
ask kalmis." Ucapnya sekali lagi. Aku tidak tahan untuk tidak memeluk dan
menyentuh ujung hidungnya dengan ujung jari telunjukku. Aisu semakin mendekat,
menyandarkan kepalanya dipundakku.
"Ozledim seni, ozledim seni, bir
nefes gibi, bir nefes gibi." Lamat-lamat aku dengar suaranya
bersenanandung. Sebuah lagu anak-anak Turki yang beberapa menit aku nyanyikan
untukknya. "Aku rindu padamu- aku rindu padamu, seperti sebuah nafas-seperti
sebuah nafas." "Biz yoldayken, beraber sarki soyledik." Ketika
dalam perjalanan kita telah bersenandung bersama." Meski baru beberapa
hitungan menit, tidak menduga Aisu mengingat dan mengulangnya dengan begitu
cepat. Hingga Bus berhenti di Otogar Esenler, Istanbul. Otogar terbesar. Kami
saling berpandangan dan aku peluk ia. "bizimki ask kalmis." Ulangnya
sekali lagi. "Telah tertinggal cinta di dalam diri kita." Masha
Allah. Bagaimana mungkin gadis kecil berusia 1 tahun mampu mengucapkan kalimat
seindah itu.
***
Pukul 06:30 Istanbul, aku turun dari bus.
Istanbul menyisakan sisa hujan semalam. Kakiku berlompatan menghindari jalanan aspal
yang pecah dan becek. Seperti instruksi dan pesan dari temanku, Lale. Ia akan
menjemputku sekitar pukul 08:30 dan memintaku menunggu di Masjid Otogar. Aku
segera menuju masjid serampung menyempatkan mencuci muka, bersih-bersih dan
berwudhu. Suara burung merpati kota memenuhi langit kota tua pusat peradaban
itu. Aku nyaris lupa dimana lokasi mesjid yang memang letaknya di sudut-bangunan
loket bus. Sembari menunggu menghabiskan waktu dengan tilawah, disertai mata
yang terkantuk-kantuk. Tak sadar tertidur sambil bersandar. Masjid masih sepi
sekali.
***
Sekitar pukul 09:30 temanku baru datang.
Aku tersenyum memandang wajahnya yang juga terlihat sangat kecapean sekali. Bersalaman
dan kami masih menyempatkan saling mencubit pipi, bercanda. Lalu kami bergegas
meninggalkan otogar meraih metro bawah tanah. tujuan kami adalah Findikzade. Di
dalam metro masih lengang. Tumben, bisikku dalam hati. Kami duduk, membicarakan
apa saja. Mulai dari kuliah, PR, tugas, wasap, novel, rencana libur summer,
tentang jodoh dan juga tentang hal-hal yang tidak begitu penting.
Pukul 10:00 kami sampai di halte
Findikzade, dengan tujuan utama adalah Otel Kaya, menemui seorang tamu penting,
yang beberapa minggu lalu membuat gundah bunga gembira hati-hati kami.
Bercampur!
Sesampai di hotel kami menuju lantai 3 dan
tepat di sebuah nomor kamar kami mengetuk pintu. Pintu dibuka...
"Assalamu'alaikum Ustadzah."
Sapaku pertama kali.
Sebuah senyum dalam jilbab berwarna hijau
itu muncul dari sisi pintu. "Alaikum salam" Jawab beliau. Masha
Allah. Dan pagi itu adalah pertemuan yang sangat spesial bagiku, kami saling
bersalaman dan berpelukan. Ustadzah Wiwik. Begitu kami memanggil nama beliau
untuk pertama kalinya. Sebuah panggilan yang mengingatkanku pada sosok Ustadazah
Yeni Ja'far.
***
Aku melihat cahaya cinta di mata Ustazdah,
Umi Wiwik. Begitu selanjutnya kami memanggil beliau. Sebuah pagi dengan menu tentang
pendidikan anak, ah menyenangkan sekali memulai sesuatu dengan yang teramat aku
gemari. Seperti sebuah kisah sambungan kajian kemaren petang "Qur'anic
Parenting" yang membuatku "harus mengkepo tuntas" tentang
beliau dan membaca catatan ilmu-ilmu beliau jauh-jauh hari sebelum kedatangan
beliau. Dan itu betul-betul membuatku jatuh cinta sebelum berjumpa. Panas
dingin dan “grogi” sekali rasanya. Mengingat kami mendapat tugas untuk menemani
dan menjamu beliau selama sehari di Istanbul.
Beliau duduk di atas kasur. Terlihat
sekali sisa kelelahan perjalanan yang belum tuntas. Kami duduk di sofa sebelah
beliau. “Bagaimana kota Ankara?” Tanya Ustadzah memulai perbincangan. Kami
berbincang tentang perbedaan kota Ankara dan kota Istanbul, tenangnya Kota
Ankara yang menggigit dengan panasnya aroma politik dan tentang riuh hingar
bingar kota Istanbul dengan segala pesonanya. Dua kota yang paradoks. Ustadzah
menyampaikan keinginan beliau mengunjungi kota Ankara. Sayang sekali waktu
tidak cukup.
Kami berbincang banyak hal. Mulai dari
tentang panasnya politik kota Ankara, tentang Erbakan, juga sampai tentang
aktifitas perkuliahan, hal kecil tentang model jilbab Turki dan juga tentang
psikologi, tentu saja aku sangat menikmati semua topik itu. Khususnya saat
Ustadzah memulai membicarakan tentang kajian psikologi, hatiku bertambah riang.
Karena itu kosentrasi studiku. Membicarakan tentang pendidikan anak dalam
keluarga, bagaimana menjadikan rumah adalah sekolah bagi anak.
“Bukankah Rasul juga telah mengajarkan,
bahwa Rumah adalah sekolah bagi anak-anak.” Kata Ustadzah. “Mengapa kita tidak
membuat targetan-targetan yang sama dengan membuat sekolah di rumah. Sama
seperti targetan-targetan yang seperti kita ingin capai di sekolah. Mengapa
kita tidak buat targetan berapa banyak bahasa asing yang harus dikuasai oleh
anak-anak kita.” Ustadzah mulai serius. Aku terkesan sekali. “Ya Allah, itu
cita-citaku, sungguh!” Dalam hatiku, meski tak berani sampaikan pada beliau, tentu saja malu...
Setelah berbincang beberapa menit dan
menanyakan apakah Ustadzah sudah sarapan, beliau sampaikan sarapan dengan
beberapa butir zeytin dan roti, aku jadi ingat diriku yang doyan sekali dengan
buah yang rasanya aneh itu. Kami turun ke lantai bawah, pagi itu Ustadzah
memakai baju gamis berwarna hijau, jilbab hijau dan memakai sejenis jaket
sederhana. Cukup hangat. Damai sekali memandang beliau, seperti tak ingin lepas
untuk ingin terus memeluknya. Sesampai di lobi kami langsung cek out dan
menitipkan koper, meski terjadi intrik kecil antara petugas hotel dan kami.
***
Ustazah bermaksud mengunjungi beberapa
tempat hari itu, sehari setelah peristiwa Penaklukan Konstantinopel oleh Sultan
Al-Fatih II (29 Mei 1453). Dan hari itu kami bertugas menemani beliau. Tentu
saja itu hal yang sangat "beruntung." Sebuah kesyukuran bagi kami.
Belajar sehari bersama beliau dan aku sungguh belajar banyak hal. Meski sudah
sangat sering mendengar tentang perjuangan beliau dalam dakwah. Tapi dengan
mendengar, melihat dan menemani beliau itu membuatku mengenal dan merasakan
lebih dekat. Seperti apa beratnya "beban perjuangan ini."
Pagi itu kami memulai perjalanan menuju
Aya Sofia, kami menemani Ustadzah. Kami naik tramway menuju Aya Sofia.
"Mendidik anak itu dari sebelum ia lahir, kita biasakan mereka dengan
membacakan kisah-kisah Rasul, kisah para sahabat. Seperti apa kita ingin
membentuknya." Suara Ustazag yang tegas namun penuh kelembutan itu
memenuhi Tramway yang mulai padat. Aku duduk menyimak disisi kiri Ustdzah.
Beliau baru saja mengadakan perjalanan dari Kroassia, menjalankan tugas penting
negara.
Seorang muslimah dengan peran ganda, aku
menggaris bawahi dengan sangat pelan sekali. Memainkan peran tidak hanya
sebagai seorang ibu dari anak-anak beliau yang semuanya beliau didik menjadi
para penghafal Qur’an, beliau juga seorang aktivis politisi negara, juga
seorang da'i muslimah, seorang pemerhati pendidikan anak, seoarang yang hidup
bersama masyarakat sekaligus tugas utama beliau juga sebagai seorang istri dari
suami beliau. Bagaimana beliau bisa memfungsikan semua itu dalam satu tubuh,
dalam satu raga. Dalam waktu yang sehari hanya ada hitungan tidak lebih dari 24
jam saja.
"Jadi kita akan ke Aya Sofia dulu
ya." Suara Ustazah memecahkan lamunanku. Di ujung sana langit
Istanbul biru putih dengan segala binar bau harum udaranya. Hiruk pikuk manusia
mulai memadati jalanan yang penuh sesak. Kami berbalik arah karena Ustazah lupa
untuk menukar uang ke lira. Disepanjang perjalanan mencari ATM Ustadzah
mengisahkan tentang perjalanan beliau saat ke Kroassia, bagaimana kehidupan
disana, yang juga tidak jauh berbeda dengan Belgrade, negara yang pernah kami
kunjungi setahun yang Lalu. Ustadzah bilang di Kroassia merupakan negara dengan
Toleransi paling tinggi dibandingan dengan negara-negara Eropa lainnya. Kami
manggut-manggut sambil sesekali membumbui percakapan pagi itu dengan
mengisahkan kisah kami selama di Belgrade. Dan kulihat Ustdzah juga tersenyum,
menikmati suara-suara kami yang girang, riang gembira.
Serampung menukarkan uang kami menuju Aya
Sofia, antrian sangat panjang sekali. Kami turut mengantri panjang dalam lautan
ratusan manusia dari berbagai dunia. Turis mancanegara. Sesampai diloket aku
terpaksa harus memperpanjang kartu Musium, karena sudah kadarluarsa. Kami
putuskan agar Ustadzah dan Lale masuk terlebih dahulu ke musium. Khawatir
antrian semakin banyak dan penuh. Sekitar 15 menit aku mengantri dan melakukan
registrasi ulang. Sayang sekali hapeku sudah ngedrop sejak pagi, dan lupa
membeli carjer yang baru (kebetulan carjernya hilang).
Jadilah pagi itu aku berkeliling kehilangan
Lale dan Ustadzah. Berkeliling diantara ratusan manusia. Mencari dan berputar
beberapa kali, memastikan apakah aku salah lihat ataukah terlewatkan, kami
janjian akan bertemu di pintu utama sebelumnya. Karena belum bertemu dan sudah
berputar beberapa kali aku putuskan menunggu di pintu Cikis - Exit. Khawatir
terpisah. Dan ini adalah pintu satu-satunya jalan keluar Aya Sofia jadi in sha
ALlah pasti Ustadzah dan Lale akan lewat jalan ini. Aku menghabiskan waktu
menunggu sambil memotret keramaian, memperhatikan pengunjung yang beraneka
ragam, memperhatikan anak kecil yang berlari-lari mengejar kucing dan
memperhatikan pemandu wisata yang tengah sibuk memandu kliennya. Meski
sesungguhnya hatiku resah sekali.
***
"Evi," Sapa sebuah suara.
"Oh Ustadzah..." Ya Allah, aku baru saja seperti kehilangan sesuatu
yang sangat berharga. Ya Allah, sudah penuh rinduku meski hanya beberapa jam
terpisah. "Tadi kami juga mencarimu." Jawab Ustazah sambil tersenyum.
"Iya sampai kelantai 3 bolak-balik." Tambah Lale. Hatiku haru gembira
campur aduk rasanya. Tak ingin kejadian ini berulang lagi. Kami duduk bertiga
di beranda AYa Sofia, arah pintu keluar. Aku duduk disisi kiri Ustadzah. Seekor
kucing yang sedari tadi menemaniku datang dan dengan santai dan wajah tanpa
dosanya ia langsung duduk dipangkuan Ustadzah. Masha Allah. Itu indah sekali.
Bagaimana seekor kucing seperti tahu, bahwa yang akan memangkunya adalah
seorang "ibu" yang "berbeda."
Ustazah membelai kucing itu. Kami tersenyum
memandang kucing yang lucu. "Hati-hati Ustadzah bulunya." Aku
menambahkan suara. "Ndak papa, ibu sudah 10 putra-putrinya." Jawab
beliau sambil tertawa ringan. "Kamu suka kucing Vi?" Tanya ustdazah
Padaku. "Suka sekali Ustadzah." Jawabku, sambil memperhatikan hidung
bulat putih si kucing. "Hati hati sama rambut kucing ya." Jawab
Ustadzah. Kami berfoto bersama dan Ustdazah memangku sang kucing. Dari sana aku
menambahkan kosa kata penting tentang bab "mengasihi binatang."
***
Tepat siang pukul 13:00 kami menuju Sultan
Mahmet, Blue Mosque. Masha Allah disana kami menikmati suara adzan dan
menyempatkan berfoto. Di arah jalan masuk sebelum pintu gerbang Sultan Mahmet
Ustadzah mengajak kami bercanda. “Ayo kita berfoto sambil memandang langit ya.”
Kata Ustdzah Padaku. Aku dan Lale tertawa, riang. Tentu saja. Betapa ramah
sekali Ustdzah. Pribadi yang menyenangkan sekali. Kami bisa betah berlama-lama
dengan beliau. Ustadzah pandai sekali mengubah warna warni wajah kami, mulai
dari senyum, tertawa, menahan senyum, haru dan semua rasa. Seperti saat beliau bilang
"From Rusia with Love." Kami langsung tertawa seru mendengarnya. “Ibu
tiba-tiba teringat judul novel itu.” Kata beliau.
"Dan kali ini From Istanbul with Love Ustadzah." Kata kami riang. Ustazah tersenyum sambil mengingat tentang novel
karya Kang Abik, "Jadi kalau mau jadi penulis itu memang harus mampu
membuat pembaca percaya ya. Seperti debu-debu yang berterbangan yang
digambarkan di novel ayat-ayat cinta." Kata Ustadzah.
Ustadzah bizimki ask kalmis” Kataku
kemudian.
“Apa itu artinya?” tanya Ustadzah.
Aku kisahkan tentang makna kata-kata yang
disampaikan Aisu kecil itu pada Ustadzah. “telah tertinggal cinta dalam diri
kita.” Kami semua tertawa.
Ustadzah tersenyum, melihatnya damai
sekali. Kami menuju tempat berwudhu. Sesaat saat melewati tempat wudhu,
Ustadzah berhenti sejenak. Memperhatikan "Beginilah cara mereka belajar
dari sejarahnya, senang sekali melihat anak-anak Turki mengambil wudhu dan
menunaikan shalat." Aku diam menekuni setiap ucapan beliau. Melanjutkan
menuju tempat berwudhu perempuan, dan Ustadzah mengucapkan salam kepada
beberapa jamaah yang berdiri mengantri. “Mengesankan sekali.” Sungguh, dalam
hatiku.
***
Aku shalat berjamaah bersama Ustadzah,
seusai shalat mencium tangan dan memeluknya. Heu...rasanya terobati semua
rinduku pada emakku di kampung halaman nun jauh milyaran kilometer itu. Ini
sungguh hadiah dipenghujung semester tahun ini. Lepas semua penat rasanya saat
memeluk Ustadzah. Sembari duduk mendengarkan kultum dari petugas masjid, Ustazah
menunjukkan blog tempat beliau biasa menulis, “Ini blog ibu, biasanya ibu tulis
disini, ingin sekali banyak menulis.” Aku mengamati blog Ustadzah, sayang
sekali tidak bisa dibuka karena tidak ada jaringan internet. "kadang ibu
sempatkan menulis ditwitter, lintasan-lintasan ide dan fikiran."
Lalu Ustazah memegang kaki beliau.
#tears...Kaki Ustadzah yang sebelah kiri sebenarnya sedang sakit. Aku
melihatnya ketika beliau membalut kaki kirinya dengan sebuah kain panjang. Tapi
bagaimana beliau bisa menahan rasa sakit itu dan terus berjalan, bergerak,
tanpa berhenti, mengadakan perjalanan dari satu negera ke negara lain, memenuhi
undangan mengisi kajian Islam. Meyampaikan kebaikan dan cahaya Islam, dari satu
tempat ke tempat lain. Lalu merapikan rumah, memasak, ke kantor. Bahkan masih
sempat pula Ustadzah membawakan oleh-oleh untuk kami berupa sambal tempe dan
sambal kentang goreng. ...Itu sungguh pelajaran berharga yang aku tidak bisa
beli bila takdir tidak menjemputku sampai di tempat ini. Menghitung kemampuan
dan kekuatan diri yang rasanya kecil dan kerdil sekali ketika melihat beliau.
"Bagaimana Ustadzah bisa menahan sakit di kaki Ustadzah." Dalam hati,
*tears. Aku tahan hatiku.
"Bagaimana Ustazah, kita istrahat
dulu?" Tanya kami. Ustazah masih menikmati teduh masjid. Sementara aku
terus menanti dengan kegembiraan, ingin agar beliau terus mengisahkan tentang
apa saja.
Kami memutuskan untuk makan siang dahulu.
Lalu datang Dek Nabila dan Mbak Eno. Kami berlima siang itu. Di acara istrahat
makan siang itu, kami berbincang banyak hal, saling bertukar fikiran, Ustadzah
mengisahkan tentang perjuangan beliau saat-saat detik terakhir pengumpulan
tugas thesis akhir.
"Ya Allah merinding sekali
mendengarkannya." Tidak terbayang bagaimana seorang ibu berjuang di
detik-detik deadline akhir saat semua data beliau di komputer hilang termakan
virus. Berdesir darahku! Itu sungguh hal yang mengerikan sekali. Mendengarnya
saja aku merasa dunia seperti diperas-peras. Namun dengan kerja sama dengan
putra-putri beliau, dan akhirnya tugas pun tuntas. Tepat di detik jam akhir. Ya
Rabb...gemetar mendengar kisah itu.
Ustazah juga kisahkan tentang perjalanan
beliau yang panjang saat menanti dua panitia yang akan menjemput dlam sebuah
acara, beliau harus "menembus badai." Padahal saat itu beliau sudah
di puncak keletihan yang luar biasa. Sesampai tempat acara peserta telah
menanti selama 2 jam. Dan peserta kajian tidak ada yang beranjak, tetap menanti beliau dengan setia. Mendengarnya
berlinangan hatiku. Ya Allah, sedemikiankah ilmu beliau dirindukan oleh umat
ini.
Siang itu sungguh mengesankan. Ustadzah
banyak kisahkan tentang perjalanan beliau yang seperti tiada putusnya. “Kapan
Ibu istirahat?” Hatiku bertanya. Bagaimana Ustdzah mengkhususkan waktu buat
putra-putri beliau? Bukankah putra-putri Ustadzah yang aku ketahui dari membaca jumlahnya
10 orang? “Ya Allah...” Bagaimana bisa...beliau membangun semua itu. Segala
puji hanya bagi Mu ya Rabb..
Di acara makan siang itu kami memesan
beberapa makanan Turki dan menikmati bekal tempe goreng dan kentang goreng
buatan Ustadzah. Rasanya enak sekali. Bertambah-tambahlah obat rasa kangen kami
pada tanah air. “Besok kalau Libur dan jadi ke Jakarta, sempatkan main ke rumah
ya.” Kata Ustdzah kemudian. Siang itu aalah hari Istanbul yang Istimewa.
Ustadzah, kami semua mencintaimu. we love you...
***
Serampung makan siang, kami menuju Topkapi
Palace, yang terletak tepat di sisi Aya Sofia. Di dalam Topkapi itulah kami
banyak sekali berbincang, bercerita apa saja. Ibu yang menyenangkan. Betapa
riang hati kami bersama Ustdzah. Menyusuri Istana Topkapi, Ustadzah juga bilang
bahwa dulu beliau juga sempat kemari bersama Alm. Ustadzah Yoyoh.
“Masa kehancuran turki Utsmani adalah
ketika pemimpin digelapkan dengan harta, tahta dan wanita.” Mereka hidup
bermewah-mewah dan berlebihan. Bagaimana Islam yang kokoh bisa dipukul mundur
dan mengalami kehancuran secara drastis. Itu karena pemimpin yang lalai.” Kata
Ustdazah.
Rasanya perjalanan kami siang itu penuh
sekali dengan “ruh” menekuni setiap beliau menyampaikan sesuatu, rasanya tidak
ada yang ingin kami lewatkan. Meski masih juga Ustadzah sempatkan untuk bergurau.
“Ibu dulu pernah dibelikan baju oleh
Bapak.” Kata Ibu sambil memandang bajuku. “Seperti baju Evi.” Tapi itu dulu,
sekarang bajunya sudah tidak muat, badan ibu sudah besar.” Kata Ibu sambil
tertawa ringan.
“kami juga besok badannya akan besar
Ustadzah.” Kataku pada Ustdazah.
Ustadzah tersenyum.
Matahari terus naik...namun juga tidak
panas. Ustadzah mengajak kami bertadabbur menikmati laut Marmara dari sudut
sebuah alun-alun Topkapi palace. Ya Allah, ibu mana yang mau menyenangkan
hati-hati kami yang riweh ini hingga sedemikian. Seusai menikmati laut kami
berkeliling menikmati beberapa pedang peninggalan Rasul. Sambil berjalan
Ustadzah kisahkan tentang peristiwa Arab Spring, dan masyarakat Arab yang
dihujani uang oleh rajanya untuk mewujudkan keinginan sang Raja. Segala cara
dilakukan. Mengerikan sekali. Meski kenyataannya negara itu tetap tidak
mengalami kemajuan sepesat Turki. Mendengarkan kisah itu aku seperti teringat
sesuatu.
***
Seusai di Topkapi, Istanbul Pecah. Ratusan
gelombang iring-iringan manusia berteriak takbir. Peserta demo damai Peringatan
peristiwa “tragedi marmara” sedang berlangsung. Ratusan bendera Palestina
memenuhi langit Istanbul sore itu. Lengkap sudah rasanya “ruh” dan “ghirah”
kami sore itu. Sayang sekali aku terpisah dengan Ustadzah beberapa menit. Syukurlah
kami segera bertemu. Berencana mengadakan perjalanan ke Bhosporus. Mentadabburi
peristiwa besar masa kesultanan Al-Fatih. Namun karena demo yang sedemikian
besar, jalanan menjadi macet. Sehingga kami putuskan menuju alun-alun Istanbul
University.
Di sepanjang perjalanan dalam Tramway,
Ustadzah mengisahkan pada kami tentang Siti Khadijah dengan segala sifat keibuan
dan kedermawanan, juga Aisyah dengan segala kecerdasan namun ia tidak pandai memasak
dan tidak pula Allah karuniakan anak. Namun namanya mulia di sepanjang
kehidupan. Dikenang...Ustadzah bilang pada kami “Bagaimana kita bisa memadukan
dua hal ini dalam kehidupan kita.” Kata Ustadzah...sementara hatiku gemetaran.
“Ustazah biar aku tuliskan kisah Ustadzah.” Kataku kemudian. Entah ide dari
mana itu. Ustadzah diam sesaat, lalu memandang dan memegang pipi kiriku dengan
tangan kanannya. #kelak aku akan jadi ibu yang hebat seperti Ustadzah, in sha Allah. Do’ku dalam
hati.
Di sepanjang tram way itu Ustadzah banyak
sampaikan rahasia-rahasia, “Berceritalah pada anak-anak kalian kelak. Bangun
alam fikiran mereka dengan kisah-kisah teladan, kisah-kisah terbaik,
kisah-kisah Rasul. Kalian bisa bentuk anak kalian seperti apa yang kalian mau.
Kalian bisa bentuk ia jadi Thomas Edison, kalian bisa bentuk jadi siapa saja.
Jadi seperti Salahuddin Al-ayyubi, jadi seperti Ali bin Abi Thalib. Kalian bisa
bentuk mereka dari kecil, dari semenjak dalam kandungan. Bacakan kisah-kisah
terbaik untuk anak-anak kalian kelak.” Kami diam dan terus menekuni. Tramway
terus melaju. Rasanya di dalam tramway yang padat segala bau pengap keringat
manusia itu hilang. Hanya ada siraman entah apa yang tiba-tiba membuat hatiku
seperti tengah menari-nari di hamparan taman yang bunganya penuh kupu-kupu dan
air yang sejuk.
“Kalian ingat bagaimana kisah Salahuddin
Al-Ayyubi membangkitkan pasukannya, yang sudah putus harapan. Ratusan tahun
mereka berperang. Dan mencapai titik jenuh. Tidak berdaya. Solahuddin tidak
memaksa mereka untuk berperang. Yang ia lakukan apa, hanyalah membacakan
kisah-kisah perjuangan Rasul setiap hari. Ia bacakan dengan penuh ketekunan.
Dan dari sanalah pasukan kaum Muslim bangkit sehingga mampu menaklukkan
Yerussalem, meluluh lantakkan tentara salib. Itulah sebabnya ia adalah pemimpin
muslim yang paling dicintai, dibenci, dan sekaligus ditakuti oleh tentara salib
yang merupakan gabungan pasukan pilihan dari seluruh benua Eropa.”
Dan trem way terus melaju...
Sementara bergetar-getar hati kami dibuat
oleh suara Ustadzah. “Kalian bisa bentuk anak-anak kalian seperti apa kalian
mau. Dan sampaikan cita-cita kalian pada anak-anak kalian.” Suara Ustadzah
berdengung ditelingaku. Matahari masuk kecelah kaca tremway. Untuk yang kedua
kalinya, “Ustadzah, we love you.”
***
Sekitar 30 menit kami menghabiskan waktu
menikmati gerbang kebesaran Universitas tertua di Turki, Istanbul University.
Kami menyempatkn berfoto dengan mengibarkan bendera Palestina. Ustadzah
terlihat sekali sudah sangat letih. Tidak tega melihat beliau. Tapi tidak sedikit
pun beliau bilang berhenti, kecuali hanya untuk istirahat sekedarnya. Kami
terus berjalan, menyusuri Istanbul yang semakin gelap dan padat. Mengambil
keputusan membatalkan mengarungi Bhosporus, karena hari sudah semakin gelap.
Dan malam itu Ustdzah harus sudah pulang ke Indonesia. **Tears...rasanya aku
tidak mau berpisah dengan beliau, ingin terus disisinya, menyerap sebanyak ilmu
yang aku mampu.
Kami sampai di hotel menjelang magrib.
Beristirahat di lobi dan bercerita tentang perjalanan kami seharian ini.
Ustadzah menyusun baju, aku membantu memasukkan kantong-kantong dan kotak-kotak
kantong agar Ustadzh tidak kerepotan dengan hal-hal kecil. “Setelah ini ibu
harus terbang ke Palembang, karena ada kunjungan kerja.” Kata Ustadzah. Ya
Rabb...belum usai lelah dan masih harus memenuhi tugas kenegaraan. Aku tarik kunci
seleting penutup koper. Dengan sejuta tanya yang memenuhi otakku. “Bukankah
Allah ciptakan ibu dari tulang rusuk kiri kaum adam, tapi kekuatannya melebihi
dari tulang rusuk sebelah kiri itu sendiri ya Allah.” Seribu kata yang hanya
berani kubisikkan dalam hati.
Serampung
semua. Kami bersiap-siap, Lale, Mbak Retno dan Dek Nabila pamit pulang terlebih
dahulu, karena mengejar jam malam tutup asrama. Mereka saling bersalaman dan
berpelukan dengan Ustadzah. Betapa sayang sekali kami semua pada beliau.
Aku
menemani Ustadzah menuju bandara. Sementara bapak pegawai KJRI yang menyetir
mobil. Disepanjang perjalanan menuju bandara Ustadzah menyampaikan banyak hal,
beliau menyampaikan tentang kisah Dek Bashir, yang sangat cemerlang. Masha
Allah betapa sayangnya Ustadzah dengan putra-putrinya. “kalau Bapak bagaimana
Ustadzah?” Tanyaku pada beliau. Ustadzah mengisahkan tentang cita-cita Bapak
“Bapak bercita-cita merampungkan tahfidznya sebelum berpulang.”
“Dan
apakah ketika anak-anak kita telah menjadi penghafal Qur’an, sudah tuntaskah
tugas kita sampai disitu?” Kata Ustazah kembali.
“tidak,
tugas kita masih sangat panjang.”
Kata
Bapak kepada putra-putri “Kalian adalah para penghafal AL-Qur’an, bagaimana keberadaan
kalian itu bisa dirasakan manfaatnya bagi banyak orang itu adalah tugas kalian
selanjutnya.” Itu pesan Bapak kepada anak-anak. Masih panjang tugas orang tua.
Aku
hanya bisa diam dan bertasbih disepanjang mobil. “Kalau masih lama di Turki,
hafalkan Al-Qur’an dan perdalam untuk mengkaji ilmu agama. Banyak kisah para
akhwat yang juga berjuang menghafal Al-Qur’an.” Itu sungguh pesan yang sangat
berharga. Persis sekali pesan Ustdzah Yeni padaku. Aku sungguh tidak ingin
berpisah denganmu Ustadzah. Dalam hatiku...
***
Sesampai di
Bandara, kami sholat dan bersih-bersih. Disaat itu Ustadzah kembali memegang
kaki beliau yang sebelah kiri. Menyaksikannya aku sungguh pilu. Bagaimana
Ustazah mampu berjalan sejauh ini. Beliau membalut kaki beliau. Aku pegang kaki
Ustadzah yang sebelah kanan, sekedar ingin meringankan beliau. “yang kanan ini
alhamdulillah tidak apa-apa.” Ingin sekali aku ringankan semampuku. Ingin
sekali menangis rasanya. Syukurlah suara jerit bayi seorang pengunjung yang
tengah shalat mengalihkan fikiran kami. Ustazah kenapa bisa aku jatuh hati pada
Ustadzah. Sejak kapan? Sepertinya baru hari ini saja aku bertemu. Pun demikian
aku mengenal Ustadzah juga saat tanpa sengaja membaca kisah beliau, 2 tahun
yang lalu.
***
Seusai shalat dan
proses cek in yang dibantu oleh petugas KJRI, itu waktu berpisah. Sudah pukul
22:30 Turki. Ustadzah memintaku untuk segera ke Otogar, karena aku harus pulang
ke Ankara malam itu. Berat sekali meninggalkan beliau “Pulanglah, ibu khawatir
kamu ketinggalan metro. Apalagi harus mencari jalan menuju metro dan mencari
ATM, ini bawa untuk bekal jaga-jaga dijalan, kalau nanti tidak menemukan ATM.”
Kata Ustadzah sambil menyerahkan beberapa lira padaku. Ya Allah, Ustazah...ndak
Ustadzah. Aku berusaha menolak. Tapi Ustazah memaksaku menerimanya. Dengan perasaan
tidak enak aku simpan lembaran itu baik-baik. Semoga suatu saat Ustazah kembali
berkunjung ke Turki, do’aku dalam hati.
***
Dan itu adalah
pukul terakhir menemani Ustadzah. Kami berpelukan. Aku peluk Ustazah dengan
hati yang penuh. Berdo’a agar aku bisa meneladani ketangguhan beliau. Berdo’a
agar aku bisa belajar lebih banyak lagi dari beliau...aku pamit malam itu. “Fi
amanillah.” Kata Ustazah. Meski Ustazah yang akan mengadakan perjalanan lebih
panjang dan lebih jauh dariku.
”Ustadzah
Bizimki Ask Kalmis.” Ucapku dalam hati.
Terimakasih
ilmu dan cintanya...
“Telah
tertinggal cinta didalam hati-hati kami.”
Metro
kota membawaku, semakin menjauhi Bandara terbesar Istanbul.
Sampai
jumpa Ustadzah...
Sakura RT, Ankara 02 Haziran (Juni) 2014
(pukul 13:47 Turki) di sebuah ruang belajar...
3 comments:
huaaa, pengen ketemu juga, ane cuma kenal lewat majalah aj. hiks, baru sempat tengok blog evi lg... :)
acaaan. welcome to my home :)
Assalamu'alaikum mba evi.. bahagia sekali bisa membaca tulisan2 mba..:')
semoga mba dan keluarga diberkahi Allah selalu..
Post a Comment